Papua No.1 News Portal | Jubi
Nouméa, Jubi – Sekelompok pemimpin dari seluruh penjuru Pasifik, yang tergabung dalam Pacific Elders Voice, telah mendesak Presiden Prancis untuk menghormati keinginan pemimpin-pemimpin adat di Kaledonia Baru yang telah mendukung penundaan pelaksanaan referendum kemerdekaan yang ketiga akibat lonjakan kematian terkait Covid-19 di wilayah itu.
“Menurut pemahaman kami referendum ketiga yang diatur di bawah Kesepakatan Nouméa, dijadwalkan untuk 12 Desember mendatang, itu tidak didukung oleh masyarakat pribumi Kaledonia Baru,” menurut Pacific Elders Voice dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Presiden Prancis, Emmanuel Macron.
“Kami mengakui kekhawatiran mereka ini, karena kami di seluruh Pasifik, di Mikronesia, Polinesia, dan Melanesia, telah menghadapi tragedi yang serupa dengan kematian orang-orang kami, isolasi dan karantina wilayah, serta kemunduran perekonomian negara-negara kami.”
“Kami mengakui dan memahami keprihatinan saudara dan saudari kami di Kaledonia Baru, dan keinginan mereka agar referendum ketiga ditunda sampai semua upacara berkabung diadakan, dan selama periode berkabungnya secara tradisional.”
Kesepakatan Nouméa pada 1998 telah mengizinkan pelaksanaan tiga referendum untuk menentukan apakah Kaledonia Baru menjadi negara berdaulat dari Prancis. Suara pro-kemerdekaan kalah dalam dua referendum sebelumnya yang diadakan pada 2018 dan 2020. Pada Oktober tahun ini sisi pro-kemerdekaan, FLNKS, telah mendesak pemerintah Prancis untuk menunda referendum terakhir ini, dari Desember ke akhir tahun 2022, namun permintaan yang dianggap masuk akal itu telah diabaikan.
Para anggota kelompok ini mengenang kembali kunjungan Presiden Macron ke Ouvéa, di Kaledonia Baru pada tahun 2018, ketika dia berdiri bersama orang-orang Kanak untuk mengenang kembali tragedi dan kesedihan yang besar, dan kata-kata bijaknya saat itu, bahwa ‘kita sudah tidak lagi dalam masa penguasaan, tetapi dalam masa pilihan, dan tanggung jawab bersama’.
“Kami mendesak Presiden Macron untuk membuka diri terhadap suara para pemimpin masyarakat Kanak, dan menunjukkan pengakuan dan rasa hormat atas keinginan mereka. Kami memohon ini agar situasi tidak berubah menjadi kekerasan dan kesempatan dialog masih tetap dibuka.“
Kelompok Pacific Elders Voice sendiri terdiri dari mantan Presiden Republik Kepulauan Marshall, Hilda Heine, mantan Presiden Palau, Tommy Remengesau Jr., mantan Presiden Kiribati, Anote Tong, mantan Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sopoaga, mantan Sekretaris Jenderal Pasifik Sekretariat Forum Kepulauan (PIF), Dame Meg Taylor, dan mantan Anggota Kongres AS dan Presiden dari Universitas Guam, Robert Underwood.
Kelompok ini sering dilihat sebagai pemimpin, dalam memberikan panduan, saran, dan masukan dalam hal tantangan dan peluang saat ini dan masa depan yang dihadapi Pasifik. (Pacific Elders Voice/PACNEWS)
Editor: Kristianto Galuwo