Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Nabire, Jubi – Juru bicara Komisioner Tinggi HAM PBB menyesalkan penangkapan lebih dari 500 orang di Indonesia pada 1 Desember lalu dan meminta pemerintah menjamin agar aparat keamanan menahan diri saat mengatur demonstrasi.
Komisi HAM PBB mengeluarkan pernyataan khusus Jumat, (7/12/2018) menyikapi ratusan penangkapan terhadap mahasiswa/i Papua dan warga Indonesia yang bersolidaritas pada aksi peringatan Manifesto kemerdekaan West Papua 1 Desember.
"Kami menyesalkan penangkapan lebih dari 500 orang dalam demonstrasi damai yang diselenggarakan untuk memeringati Hari Nasional rakyat West Papua di beberapa lokasi di Indonesia pada 1 dan 2 Desember," demikian keterangan Ravina Shamdasani, Juru bicara Komisi HAM, di Jenewa, Swiss, Jumat (7/12/2018).
Komisioner HAM PBB mengatakan lembaganya itu mendapat laporan menyangkut aparat keamanan yang menggagalkan aksi damai peringatan 1 Desember di kota-kota seperti Jakarta, Maluku Utara, Merauke dan menghalangi kegiatan ibadah penutupan yang dilakukan oleh mahasiswa/i asli Papua di Sulawesi.
PBB juga mendapat laporan mengkhawatirkan terkait penangkapan ratusan mahasiswa/i di Surabaya dimana kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan dilakukan aparat kemanan saat aksi damai berlangsung.
"Kami terima laporan mengkhawatirkan soal penggunaan kekuatan berlebihan dan kekerasan oleh aparat keamanan saat protes damai ketika kelompok massa meneriaki massa aksi Papua dengan kata-kata anti Papua. Aparat juga melakukan penggeledahan ke asrama-asrama mahasiswa (di Rusunawa, Waena, Jayapura–ed). Semua ini berujung ke ratusan penngkapan dan yang kemudian dibebaskan tanpa tuntutan," lanjut Shamdasani.
Komisioner HAM menyadari kompleksnya situasi di Papua, namun keberatan oleh tindakan keras terhadap demo damai dan bertambahnya laporan terkait penggunaan kekuatan berlebih oleh aparat keamanan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang dan pelecehan di Papua, termasuk pelecehan dan ancaman terhadap pengacara yang menangani kasus-kasus ini.
"Tindakan-tindakan ini dapat dikategorikan sebagai cara-cara menghambat penggunaan hak yang sah atas kebebasan berasosiasi dan berkumpul secara damai, serta kebebasan berekspresi, yang berpotensi melecehkan hak-hak fundamental ini terhadap populasi yang lebih luas," lanjutnya sembari mengingatkan bahwa lembaga dan meknisme HAM PBB telah berulang kali mengangkat persoalan situasi HAM di Papua beberapa tahun terakhir.
PBB meminta pemerintahan Indonesia menjamin agar aparat keamanan menahan diri saat menangani demo damai, dan menghormati sepenuhnya hak berkumpul secara damai serta kebebasan berekspresi bagi semua masyarakat.
Lembaga itu juga mengingatkan pesan pada kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB Februari lalu, bahwa pembangunan tentu saja membawa akses terhadap barang-barang dan jasa fundamental untuk perbaikan kahidupan masyarakat. Namun jika masyarakat tidak bisa buka suara dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan maka hasil pembangunan tidak akan menyejahterakan mereka.
"Kami mendesak agar Pemerintah bertindak konstruktif menjawab keluhan yang disuarakan di Papua sesuai kewajiban HAM internasional Indonesia dan komitmen politik yang dibuat pada Human Rights Council Universal Periodic Review,” ujarnya.
PBB berjanji perkembangan situasi ini akan mereka ikuti dan pantau.
Terkait penangkapan massal tersebut, pemerintah RI dalam hal ini Presiden Joko Widodo, sampai saat ini tidak mengeluarkan pernyataan dan respons apapun.
Menurut Kepala Sekretariat Kantor Koordinasi ULMWP di Papua Markus Haluk, dilansir tirto.id (2/12), presiden Jokowi dituding terus menerapkan politik rasialis terhadap orang asli Papua. Menurutnya di tangan Jokowi Papua menjadi ladang pembungkaman ruang demokrasi, penangkapan, penahanan, pembubaran paksa, penembakan, dan pembunuhan.
Pada masa rezim (Jokowi) ini, sejak 2015 telah menangkap dan menahan 7.000 orang lebih. Secara khusus pada peristiwa rakyat Papua memperingati 57 tahun kemerdekaan Papua telah melakukan pembungkaman ruang gerak dan kebebasan rakyat Papua,” ujar Markus.
Padahal, lanjutnya, Indonesia sudah meratifikasi perjanjian multilateral Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights.
“Indonesia juga dipandang sebagai negara demokrasi namun bangsa Papua menilai negara ini belum merdeka dan dewasa. Negara ini masih mempraktikkan politik rasialis bagi bangsa Papua,” tegasnya.
Pada sidang Dewan HAM PBB sesi ke-38, 18 Juni lalu Komisioner Tinggi HAM Zeid Ra'ad Al Hussein, dalam pidato situasi HAM dunia menyatakan bahwa dirinya merasa khawatir dengan sejumlah fakta.
“Bahwa meski pihak berwenang telah melakukan berbagai upaya positif dalam banyak hal, undangan yang dikirimkan Pemerintah kepada kantor saya untuk mengunjungi Papua yang diberikan dalam kunjungan saya pada Februari lalu masih belum ditindaklanjuti,” katanya. (*)