Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Neles Tebay
Kita dikagetkan dengan berita kematian 67 anak Papua karena serangan campak dan gizi buruk di kabupaten Asmat. Masalah kesehatan di Asmat mendapatkan perhatian secara nasional berkat pemberitaan media cetak, elektronik, dan sosial.
Kematian anak-anak Papua di Asmat bukanlah satu-satunya kasus kesehatan di tanah Papua. Juga bukan kasus pertama. Kasus kematian anak Papua dalam jumlah besar sudah terjadi banyak kali di berbagai kampung, terutama di kampung-kampung terisolir.
Diberitakan juga wabah campak dan gizi buruk sedang merenggut nyawa anak-anak Papua di Distrik Okbibab, Pegunungan Bintang. Sebanyak 23 balita telah meninggal karena campak dan kekurangan gizi. Sebuah tim dari pemerintah daerah sedang menuju ke lokasi untuk mengecek kebenaran berita ini dan kalau benar terjadi maka akan dilakukan tindakan pengobatan (Tribunnews.com, 21/1-2018).
Masih segar dalam ingatan kita bahwa April-Juli 2017, sebanyak 50 anak Papua meninggal di Distrik Tigi Barat, Deiyai, dan Juli-Oktober 2017, sebanyak 35 anak Papua meninggal di kampung Yigi, Distrik Inikgal, Nduga. Maka tahun 2017 hingga Januari 2018, paling kurang 175 anak Papua (Asmat, Pegunungan Bintang, Deiyai dan Nduga) meninggal dunia.
Kasus-kasus di atas memperlihatkan bahwa anak-anak Papua rentan terhadap serangan campak dan gizi buruk. Sehingga kematian dalam jumlah besar dapat saja terjadi pada anak-anak Papua, kapan saja, di semua kampung di Provinsi Papua dan Papua Barat. Pertanyaan pokok adalah: Bagaimana menyelamatkan anak-anak Papua?
Masalah lama
Satu hal yang mengherankan kita adalah kematian anak-anak Papua dalam jumlah yang banyak ini terjadi di Tanah Papua yang kaya akan SDA-nya. Seharusnya kasus-kasus ini terjadi di daerah-daerah miskin, bukan di Bumi Cenderawasih ini. Tetapi itulah ironinya. Sekalipun hidup di atas tanah yang kaya, anak-anak Papua ini menderita hingga meninggal karena gizi buruk. Anak-anak Papua meninggal bagaikan tikus mati di lumbung padi.
“Mereka yang terlalui sebagai anak Papua harus kembali kepada Sang Pencipta tanpa bisa mencicipi kekayaan alam Papua yang menjadi rebutan jutaan pasang mata,” tulis dokter Sonny Fadli, dokter TSR PMI Kota Surabaya, Jawa Timur (kompasiana.com, 19/1). Ia mengakui, gizi buruk merupakan produk akhir dari kegagalan berbagai sektor seperti politik, ekonomi, budaya, pendidikan, dan kesehatan.
Kematian anak Papua dalam jumlah besar bukan masalah baru. Masalah ini sudah berlangsung lama. Banyak anak Papua meningal dunia dalam kesunyian, tanpa peduli dari orang lain, dan tanpa publisitas. Tidak ada media yang memberitakan kematian mereka, sekalipun dalam jumlah banyak.
Dokter Sonny yang pernah bertugas sebagai dokter PTT di Mamberamo Raya, mengakui, “banyak anak Papua meregang nyawa satu per satu di dalam (ke)sunyi(an)”.
Ia menemukan, mama-mama Papua di daerah-daerah terisolir belum menguasai tentang hygiene, bagaimana memberikan nutrisi bagi ibu hamil untuk menopang janin, dan bagaimana memberikan asupan makanan yang baik bagi bayi. Sehingga “Bayi mungil yang mestinya tumbuh dengan baik harus meregang nyawa akibat penyakit yang preventable,” tulisnya.
Pemberdayaan orang Papua
Kematian anak-anak Papua merupakan masalah kemanusiaan. Masalah ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Masalah kemanusiaan ini mesti diseriusi semua pihak, terutama oleh orang Papua sendiri. Kalau tidak ditangani secara serius, orang Papua akan punah karena masalah kesehatan.
Setiap kali terjadi kasus kesehatan (seperti di Asmat), banyak pihak menuding kekurangan dokter umum, dokter spesialis, perawat dan tenaga kesehatan lainnya sebagai penyebabnya. Alasan lain, PUSKESMAS jauh dari pemukiman penduduk, tidak ada perawatnya, dan tidak tersedianya obat-obatan. Tambah lagi, biaya transportasi yang mahal, terisolirnya kampung yang didiami orang Papua, sehingga sulit diberikan pelayanan kesehatan. Selain itu, sejumlah pihak menunjuk orang Papua sendiri sebagai penyebab kematian balita Papua karena rendahnya kesadaran orang Papua di kampung dalam hal hidup sehat, lingkungan kehidupannya yang kotor, dll. Inilah alasan-alasan klasik yang biasa disebutkan berbagai pihak.
Kita tidak menyangkal faktor-faktor penyebab klasik ini. Tetapi, perlu disadari, fakfor-faktor penyebab ini selalu dan biasa diulang terus sejak Papua berintegrasi ke dalam Indonesia tahun 1963 hingga kini. Kekurangan tenaga kesehatan, keganasan alam Papua, mahalnya biaya transportasi, rendahnya kesadaran orang Papua, selalu dijadikan penyebab kematian anak-anak Papua. Mungkin hal-hal yang sama akan terus digunakan sebagai alasan kematian anak-anak Papua di masa mendatang. Di hadapan semua faktor penyebab ini, kita seakan-akan tidak bisa berbuat apa-apa, selain menyerah dan menerima faktor-faktor ini.
Saya menantang dan mengajak semua pihak untuk mencari solusi-solusi alternatif. Tenaga kesehatan dapat diadakan, entah berapa pun jumlahnya dan dari manapun asalnya. Alam Papua sulit ditaklukkan dan menuntut biaya yang mahal, tetapi tidak akan menghalangi perwujudan niat baik. Orang Papua yang terus-menerus dijadikan faktor penyebabnya juga bisa berubah dan berkembang karena mereka adalah manusia ciptaan Tuhan. Orang Papua dapat berkembang menjadi subyek (aktor) yang menyelamatkan anak-anaknya.
Orang Papua kini ditantang untuk secara mandiri terlibat dalam upaya penanggulangan masalah kesehatan dan memajukan hidup sehat. Orang Papua mesti percaya pada dirinya bahwa dia dapat mencegah masalah kesehatan dan memajukan hidup sehat. Orang Papua mesti menemukan solusi-solusi alternatif yang tepat-guna, sehingga tidak selalu tergantung pada dokter, perawat, atau pihak-pihak lain dari luar. Orang Papua mesti memperlihatkan kemampuannya untuk memelihara kesehatannya sendiri, biarpun tidak ada dokter dan mantri.
Perhatian Pemerintah Pusat dan daerah perlu difokuskan pada pemberdayaan orang Papua di kampung-kampung. Pertanyaannya: Bagaimana memberdayakan orang Papua yang hidup di kampung-kampung agar mereka sendiri secara mandiri berperan dalam menyelamatkan anak-anaknya? Apa yang perlu dilakukan untuk memberdayakan orang Papua di sektor kesehatan? Siapa-siapa yang dapat berperan sebagai fasilitator dalam proses pemberdayaan orang kampung? Orang Papua perlu diberikan pelatihan-pelatihan, dan diajak mencarikan solusi secara bersama. Gereja-gereja mesti berperan aktif dalam mendampingi orang Papua dan mengupayakan pelatihan-pelatihan kesehatan bagi mereka. Apabila orang Papua sudah diberdayakan, maka mereka sendiri dapat menangani masalah di kampung dan memajukan hidup sehat di kampung, meskipun tidak ada tenaga kesehatan.
Pemerintah sebagai fasilitator
Pemerintah tidak boleh memandang dirinya atau dipandang sebagai satu-satunya institusi yang bertanggung jawab atas urusan kesehatan di Tanah Papua. Pemerintah bukan merupakan satu-satunya pemangku kepentingan (stakeholder), melainkan salah satu di antara banyak pemangku kepentingan yang lain. Maka, tidak benar kalau sektor kesehatan dipandang sebagai urusan pemerintah saja, baik pemerintah pusat, provinsi dan pemerintah kabupaten. Ada pemangku kepentingan lain selain pemerintah, seperti pihak swasta (perusahan-perusahan yang mengeksploitasi kekayaan alam Papua), lembaga keagamaan, lembaga gereja, lembaga adat, dan kelompok-kelompok seperti kelompok perempuan dan pemuda. Semua pemangku kepentingan, pertama-tama dan terutama orang Papua, perlu dilibatkan dalam mengurus kesehatan dan memajukan hidup sehat di tanah Papua.
Melimpahkan semua urusan kesehatan hanya pada Pemerintah sama dengan melepaskan tanggung jawab dari semua pemangku kepentingan yang lain. Pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan semua pemangku kepentingan yang lain dapat terlibat dalam menangani masalah kesehatan dan memajukan hidup sehat.
Dialog sektoral
Semua pemangku kepentingan dapat dipertemukan dalam dialog sektoral yang membahas tentang kesehatan untuk menyelamatkan anak-anak Papua. Dialog sektor kesehatan melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat, terutama orang Papua. Dialog sektor kesehatan perlu dilaksanakan secara teratur di setiap kabupaten. Dialog sektoral ini diadakan bukan untuk saling menuduh, menuding, dan mempersalahkan satu sama lain, melainkan untuk secara bersama mengidentifikasi dan menganalisa masalah, serta menetapkan solusi secara bersama. Dalam dialog sektoral ini, mereka dapat membagikan tugas dan peranan dari masing-masing pemangku kepentingan untuk menangani masalah kesehatan dan memajukan hidup sehat. Dialog sektoral memungkinkan orang Papua menjadi aktor pembaharu dalam menyelamatkan anak-anak Papua.
Apabila dialog sektoral tentang kesehatan tidak dilakukan oleh pemerintah daerah di setiap kabupaten di tanah Papua, maka itu adalah tanda yang menyatakan bahwa pemerintah tidak ingin melibatkan pemangku-pemangku kepentingan lain, termasuk orang Papua, dalam mengurus masalah kesehatan dan memajukan hidup sehat. Akibatnya, anak-anak Papua akan terus dibiarkan mati dalam kesunyian di seluruh tanah Papua. Alasan-alasan klasik akan terus dipakai. Semoga hal ini tidak terjadi! (*)
Penulis adalah dosen STF Fajar Timur dan Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP)