Selamat jalan Ferry Marisan, aktivis HAM dan seniman Papua

Ferry Marisan, aktivis HAM dan seniman Papua - Jubi/Dok.
Ferry Marisan, aktivis HAM dan seniman Papua – Jubi/Dok.

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Lengkingan suaranya memang mirip mendiang seniman musik tradisional Papua Arnold C Ap. Kemampuannya memetik gitar dan melodi khas Papua membuat simpatisan grup Mambesak kembali mengingat sosok Arnold C Ap saat Ferry Marisan membawakan dan menyanyikan lagu.

Read More

”Seolah-olah sosok Arnold Ap lahir kembali dalam diri seorang Marisan,” kenang Aloysius Renwarin saat dihubungi Jubi, Sabtu (6/7/2019) pagi.

Ferry Marisan punya dua cara mengadvokasi kasus-kasus Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua, pertama lewat laporan-laporannya dan kedua lewat lagu-lagu.

“Saat Marisan bersama Black Paradise menyanyikan lagu lagu Mambesak pada 2000 di depan museum Uncen, membuat warga Abepura tersentuh dan menangis,” kata Renwarin mantan rekan kerja dan juga mantan Direktur Elsham Papua.

Pagi ini Sabtu (6/7/2019) lonceng Gereja Kristen Injili (GKI) Lembah Yordan Emereuw Organda, Padangbulan, Abepura dibunyikan karena kepergiannya. Ferry Marisan yang tercatat sebagai anggota jemaat gereja itu. Ferry Marisan adalah anggota Badan Pengawas Keuangan Gereja (BPKG) GKI Lembah Yordan.

Langkahnya sebagai human rights defender dikenal saat mendiang Fery Marisan menjadi salah satu koordinator aksi demo pertama di Tanah Papua pada saat masa orde baru, tepatnya di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) pada Agustus 1995.

“Demo itu melibatkan sebanyak 800 mahasiswa se Kota Jayapura. Ini demo pertama sejak 1969 di Kota Jayapura,”kata Aloysius Renwarin mengenang rekan sekerjanya itu.

Lelaki kelahiran kampung Noribo, pulau Numfor 1971 bersama rekan seangkatannya Yohanes Rumere dan almarhum Obed Rumere, kemudian bergabung dengan Irian Jaya Peace and Justice. Lembaga tersebut kemudian menjadi Elsham Papua pada 1998.

“Demo itu dilakukan untuk merespon laporan Uskup Herman Muninghoff yang telah memberikan laporan pelanggaran HAM berat kasus Bela dan Alama di sekitar areal kerja PT Freeport Indonesia,” kata Renwarin.

Alumni SMA Oikumene, Manokwari itu melanjutkan studinya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Cenderawasih (Uncen) jurusan antropologi, kemudian menikah dengan Pendeta Yembise. Selama hidupnya, ia pernah mendapat ancaman pembunuhan, tepatnya usai mengikuti pelatihan HAM di Geneva. Swiss.

“Ferry pernah diancam dan mau dibunuh gara gara memberikan keterangan bahwa untuk membawa kasus HAM ke PBB butuh proses dan mekanisme yang sangat panjang. Pendapat itu langsung mendapat respon negatif sehingga mendapat ancaman,” kata Renwarin.

Mendiang Ferry Marisan tercatat pernah menjabat Direktur Elhsam Papua. Selain itu ia aktif menulis lagu dan kampanye lingkungan bersama Grup Musiknya Beyuser. Bersama grup Beyuser pernah tampil di Sydney Australia menampilkan musik-musik dari grup Mambesak.

Ferry Marisan memang sudah lama menderita penyakit gula, sehingga komplikasinya bisa ke mana-mana bisa ke paru-paru maupun hati. “Sudah satu bulan lebih mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Abepura,” kata dr. Trayanus Yembise yang juga ipar Marisan saat dihubungi Jubi,Sabtu (6/7/2019) pagi melalui telepon selular.

Dia menambahkan almarhum meninggal Sabtu (6/7/2019) subuh dan jenazahnya di semayamkan di rumah duka keluarga Pdt.Yembise di kompleks Sekolah Tinggi Thelogia (STT) IS. Kijne, jalan Trikora Abepura.

“Saya juga belum mengetahui rencana pemakaman nanti saya beritahukan lebih lanjut,”kata Yembise.(*)

Editor: Angela Flassy

Related posts

Leave a Reply