Papua No. 1 News Portal | Jubi
Kaum kepala batu Digul bikin sekolah tandingan menyaingi sekolah bikinan pemerintah kolonial
Jayapura, Jubi – Ada banyak kaum interniran yang turut memboyong anak istrinya saat dibuang ke kamp konsentrasi Digul. Karena itu pemerintah Hindia Belanda membangun fasilitas sekolah bagi anak anak orang buangan itu. Walau dengan tingkatan paling minimal.
Ada sekolah formal bagi anak-anak para tahanan politik di Boven Digul. Di samping itu, kelompok tahanan tertentu juga diberikan izin mendirikan dan mengelola sekolah mereka sendiri.
Sekolah formal versi pemerintah kolonial berdiri sejak November 1927 di kampung A diberi bnama Standaardschool. Sekolah ini punya 200 murid. Dapat subsidi f 2000 pertahun. Ada empat tenaga pengajar semuanya mantan murid Kweekschool namun belum lulus. Ada juga seorang guru perempuan.
Kepala sekolahnya adalah seorang Tapol dari Sumatera Barat bernama Soetan Said Ali. Dia dikenal sebagai kepala sekolah yang profesional dan disiplin.
Masa belajar di Standaardschool berlangsung tujuh tahun. Waktu belajar mulai pukul 07.00 sampai pukul 13.00. pembelajaran berlangsung Senin sampai Sabtu, dengan waktu istirahat dua kali. Mata pelajaran yang diajarkan di sekolah ini sama dengan sekolah setingkat Hollandsch Inlandsche School (HIS)
Pada 1930 sekolah ini ganti nama jadi Standaardschool met Nederlandsch dengan menggunakan bahasa pengantar dalam Belanda. Sekolah dilengkapi perpustakaan yang punya koleksi 700 buku.
Standaardschool diperuntukkan bagi murid- murid bumiputera dari kalangan rendah; petani dan buruh. Anak-anak bumiputera dari keluarga tokoh terkemuka dan orang terhormat akan dimasukkan ke sekolah dasar kelas satu (de scholen der eerste klasse)
Pengajaran di sekolah setingkat SD itu, bertujuan agar anak -anak orang buangan itu mampu membaca, menulis, mengenal huruf Latin, berhitung, dan kadang-kadang menggambar. Pelajaran diberikan paling sedikit dalam waktu tiga jam sehari. Jika pelajaran agama akan diberikan, maka waktunya harus diperpanjang
Pelajaran sejarah Indonesia diberikan secara terbatas. Berkisar pada beberapa kerajaan besar saja. Pelajaran sejarah yang diberikan adalah sejarah dunia. Buku-bukunya menggunakan bahasa Belanda. Sekolah tidak memungut biaya dari muridnya.
Meski begitu, sekolah itu tidak berpengaruh kepada penduduk lokal. Karena sekolah hanya menerima murid dari anak anak para tahanan politik belaka.
Setelah 1929, banyak anak kaum naturalisten yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial, ditarik ke luar dari sekolah pemerintah. Sebagai gantinya, kaum kepala batu di mata Belanda ini bikin sekolah bernama Malay-English School (MES) yang memakai standar Eropa. Dari segi sarana, MES sangat memprihatinkan.
Pelajarannya terdiri atas ilmu bumi dunia, fisika, kosmografi, biologi, matematika, bahasa Melayu, dan bahasa Inggris. Buku-buku dibawa dari Jawa; kecuali untuk pelajaran bahasa Inggris yang menggunakan buku Royal Science Readers I-VI dan Elementary Grammar. Semuanya dipesan dari Inggris. Demikian disarikan dari riset Langgeng Sulistyo Budi dalam “Bersekolah di Tanah Pengasingan: Boven Digul, 1927-1943” (Arsip Nasional Republik Indonesia, 2017)
Aktivitas belajar mengajar di MES, diawasi ketat oleh pemerintah kolonial. Tidak jarang ada guru yang ditahan karena dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban. Alasan penahanan macam -macam. Bukan hanya soal materi pelajaran. Seorang guru dapat ditahan apabila mengajar lebih dari tiga orang.
Oleh pemerintah kolonial, guru -guru di sekolah ini dianggap memiliki tingkat intelektualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan para tahanan yang lain. Salah duanya Hatta dan Syahrir. Mereka dianggap punya pengetahuan yang lebih baik. Khususnya Hatta, memiliki akses yang lebih baik terhadap informasi dan ilmu pengetahuan. Hatta dan Syahrir bisa membawa dan mendapatkan buku-buku maupun majalah, sehingga mereka memiliki murid di rumah masing-masing. Hatta dan Syahrir dianggap berbahaya, karena mengajar para tahanan untuk bersikap kritis. Akibatnya, keduanya dipindahkan ke tempat pengasingan yang lain, yaitu Banda Neira.
Sekolah ini berumur pendek. Sempat digerebek polisi dan ditutup. Aktivitas belajar mengajar pun diselenggarakan secara gerilya; pindah-pindah di rumah-rumah penghuni kamp. Sekolah itu akhirnya dikenal dengan nama “Tiga Keluarga”
Disebut begitu, karena dalam praktik pengajaran sehari-hari, hanya ada empat orang yang hadir pada setiap pelajaran, yaitu satu guru dan anak-anak dari tiga keluarga.
Di mata Belanda sekolah model begini diklaim liar. Tapi di mata para tahanan politik yang kepala batu ini, menganggap sekolah yang mereka dirikan itu adalah upaya untuk menyelamatkan anak-anak mereka dari pendidikan sekolah formal yang dianggap terlalu berorientasi pada kepentingan kolonial. Hatta menyebut tujuan sekolah pemerintah adalah agar anak-anak di kemudian hari menjadi hamba Ratu Belanda dan pandai menyanyikan lagu kebangsaan Belanda. (*)
Editor: Angela Flassy