Papua No. 1 News Portal | Jubi
SD Negeri Inpres Angkasapura di Kota Jayapura memiliki tradisi menganjurkan siswa baru untuk menggunakan seragam bekas ‘warisan’ kakak mereka. Upaya sekolah untuk meringankan beban orang tua dari biaya pendidikan anak.
Setiap putranya melanjutkan pendidikan ke sekolah yang lebih tinggi, orangtua biasanya terasa berat menanggung biaya. Hal ini juga terjadi di SD (Sekolah Dasar).
Memang biaya masuk SD hanya untuk sekolah swasta yang cukup besar karena biaya masuk, biaya pembangunan, dan biaya bulanan mesti ditanggung orangtua siswa. Sedangkan untuk SD negeri pemerintah telah menggratiskan biaya masuk, biaya pembangunan, dan biaya bulanan.
Hanya saja orangtua masih tetap membeli seragam dari sepatu hingga topi dan tas sekolah beserta alat-tulis. Ini terkadang juga terasa berat bagi orangtua, terlebih bagi orangtua yang ekonominya pas-pasan.
Meski dengan kondisi seperti itu biasanya pihak sekolah tetap mewajibkan siswanya membeli seragam baru di sekolah. Terlebih untuk seragam khas sekolah seperti baju batik dan seragam olahraga.
Nah, di Kota Jayapura ternyata ada SD negeri yang selama ini justru sangat meringankan beban orangtua siswa baru. Pihak sekolah menganjurkan siswa baru memakai seragam ‘warisan’ kakaknya, termasuk pakaian olahraga dan batik. Yang penting sama, meski sudah kusam. Sekolah itu adalah SD Negeri Inpres Angkasapura.
“Kalau orangtua punya pakaian olahraga, baju batik, dan seragam sekolah merah-putih bekas pakai dari kakaknya, ya bisa dipakai, kami tidak memberatkan orangtua dengan mengharuskan membeli seragam sekolah yang baru,” kata Murjana, Kepala SDN Inpres Angkasapura, ketika ditemui Jubi, Sabtu, 13 Juli 2019.
Tahun ini SDN Inpres Angkasapura sudah menerima 32 siswa baru dari anak-anak yang berdomisili di wilayah Angkasa sesuai kartu keluarga. Setiap tahun penerimaan siswa dua lokal rata-rata 28 anak.
Sesuai aturan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura, sekolah tidak boleh melakukan pungutan uang saat pendaftaran siswa baru.
Sekolah memang menjual pakaian seragam, tapi hanya pakaian olahraga Rp15 ribu sepasang dan baju batik Rp120 ribu. Tapi orangtua siswa membeli melalui Komite Sekolah
“Tapi di sekolah kami banyak siswa baru yang memakai pakaian bekas milik kakaknya, tentu ini membantu orangtua meringankan beban biaya pendidikan,” katanya.
Kebijakan memakai baju bekas tersebut, katanya Murjana, berjalan lancar dan tidak mengganggu mutu pendidikan dan pelayanan sekolah.
“Malah kebanyakan orangtua memilih SD Angkasa untuk sekolah anaknya karena kakaknya dulu juga lulusan SDN Angkasa, sebab biaya masuk gratis dan pembelian seragam sekolah tidak membebani orangtua,” ujarnya.
SD Negeri Inpres Angkasa Jayapura berlantai dua dengan 10 ruang kelas dan perpustakaan. Bangunan sekolah bagus, kecuali yang perlu diperbaiki pagar dan tangga sekolah.
Sedangkan buku paket pelajaran lengkap yang disediakan melalui dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), namun belum cukup untuk melengkapi per siswa.
“Namun bisa digunakan untuk belajar, sedangkan untuk buku-buku latihan soal, orangtua beli sendiri di Gramedia,” katanya.
Supaya proses belajar-mengajar berjalan lancar, kepala sekolah ikut mengajar sebagai guru kelas. Murjana memberikan apreasiasi kepada guru honor yang sudah memberikan pelayanan terbaik yang tidak mengecewakan orangtua siswa.
“Harapan saya, anak-anak yang belajar di SDN Inpres Angkasa ini bisa membangun negara,” katanya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura, Fachrudin Pasolo menegaskan tidak dibolehkan ada pungutan dalam penerimaan siswa negeri, kecuali untuk biaya yang bersifat personal.
“Kalau dari sekolah menyediakan paket seragam olahraga dan pakaian batik itu pengaturannya dari sekolah masing-masing yang disediakan koperasi dengan pembayaran melalu Komite Sekolah, Dinas Pendidikan tidak mengatur karena sekolah yang tahu, seperti kesepakatan sekolah dengan orangtua,” ujarnya.
Menurut Fachrudin, dana BOS yang disalurkan ke sekolah SD dan SMP di Kota Jayapura digunakan untuk membayar tenaga SDM honorer, belanja peralatan seperti buku dan alat tulis, biaya telepon, air, jasa, serta penerimaan peserta didik baru.
“Dana BOS per tahun untuk SD Rp800 ribu per siswa, SMP Rp1 juta per siswa, dan SLB Rp2 juta per siswa, setiap sekolah diberikan sesuai jumlah siswa, tidak diberikan kepada siswa tetapi untuk kebutuhan pelayanan di sekolah,” ujarnya.
Setiap tahun Pemkot Jayapura menyalurkan dana BOS secara fluktuatif sekitar Rp36 miliar untuk SD dan SMP, baik negeri maupun swasta. Namun ternyata tidak semua sekolah mendapat dana BOS, karena dari 106 SD baru 96 sekolah yang menerima dan 10 sekolah belum.
“Karena sekolah yang belum menerima Data Pokok Pendidikan-nya belum terbaca di server nasional,” ujarnya.
Fachrudin menegaskan tidak ada uang sekolah di SD dan SMP. Sesuai Permendikbud tentang pakaian seragam peserta didik, pakaian tersebut tidak boleh dijual di sekolah. Karena itu pembelian seragam khas sekolah seperti baju olahraga dan batik melalui komite.
Terkait biaya masuk sekolah yang cukup tinggi di sekolah swasta, Fachrudin berjanji akan membicarakan dengan sekolah yayasan (swasta) supaya pungutan tidak terlalu besar.
“Memang biasanya dari yayasan menyampaikan, pembebanan biaya itu dikembalikan kepada pelayanan siswa, tapi saya mau sampaikan yang wajar-wajar saja agar jangan sampai ada orientasi profit, tapi semata-mata untuk meningkatkan pelayanan,” katanya. (*)
Editor: Syofiardi