Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh: Pares L. Wenda
Pemilu serentak 17 April 2019 menjadi catatan sejarah tersendiri dalam pembangunan demokrasi di Indonesia. Mengapa dikatakan menjadi catatan sejarah? Mekanisme pelaksanaannya sama, tapi kali ini pemilihan dilakukan secara serentak.
Pertama, presiden dipilih bersamaan dengan calon wakil rakyat; Kedua, waktu yang biasanya dibutuhkan dari lima menit lazimnya mejadi 11 menit, bahkan bisa lebih dari itu, karena pemilih dilaksanakan setiap warga negara yang normal dan mereka yang berkebutuhan khusus.
Mereka yang mempunyai kebutuhan khusus bisa membuat pemilihan agak lama dari waktu normal. Namun mereka yang normal pun bisa membuat lambat karena kacakapan orang dalam menentukan pilihannya agak berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya.
Spesimen kertas suara tidak menggunakan foto dan diikuti oleh 16 partai yang menjadi kontestan pemilu.
Sebelas menit adalah waktu normal dan menjadi catatan yang wajib diperhatikan oleh KPU. Jika waktu normal ini dimanfaatkan setiap orang, dipastikan surat undangan di tiap TPS yang berjumlah 300 lebih itu, menjadi mubazir. Para pendukung pun tidak semuanya akan menyalurkan hak pilihnya.
Di sinilah tantangan KPU untuk menyiasatinya agar partisipan dapat menyalurkan hak pilihnya secara merata dan baik.
Karena itu, KPPS diharapkan dapat membuka TPS pada pukul 7 pagi dan menutupnya pukul 5 sore. Ini bertujuan untuk memenuhi seluruh hak suara pemilih, sehingga dalam waktu 11 jam dimaksimalkan untuk menyalurkan hak pilih masyarakat.
Masyarakat yang menggunakan undangan dan KTP bisa datang untuk memilih. Jika tidak demikian, golput (golongan putih) tidak hanya terjadi karena masyarakat tidak punya minat pemilih, tetapi bisa jadi karena sistem dan waktu yang tidak diatur dengan baik oleh penyelenggara.
Konteks Papua
Pelaksanaannya di Papua akan berlangsung melalui dua mekanisme. Pertama, pemilih di kota adalah pemilih profesional yang akan menggunakan kotak suara dan datang ke bilik suara, baik di kabupaten/kota di pesisir pantai utara dan selatan Papua, maupun wilayah pegunungan;
Kedua, wilayah pegunungan di distrik dan kampung akan menggunakan sistem noken. Mereka yang menggunakan sistem noken akan menggunakan waktu lebih sedikit daripada pemilih profesional di kota-kota besar di Papua.
Namun, sistem noken akan mengorbankan rakyatnya karena hak pilihnya kebanyakan ditentukan oleh kepala suku, orang kuat, dan orang berpengaruh.
Dari sisi biaya penyelenggaraan sistem noken tidak memproduksi kotak suara dan bilik suara. Pemilihan presiden, DPD, DPR RI, dan DPR Papua lebih banyak akan ditentukan oleh penyelenggara, dalam hal ini KPPS, KPU, dan pemerintah daerah (diduga lazim terjadi di seantero Papua). Namun, masyarakat pemilih akan lebih berkonsentrasi pada pemilihan DPRD kabupaten/kota se-Papua.
Ada tiga masyarakat pemilih di Papua. Hal ini dilihat dari pengalaman pemilihan kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Pertama masyarakat pemilih aktif adalah mereka yang menjadi keluarga politisi dan mereka yang memang mempunyai kesadaran kolektif dalam membangun demokrasi di Indonesia;
Kedua, masyarakat yang tidak mau sibuk dengan urusan politik dan tidak mau ke TPS untuk menyalurkan hak pilihnya walaupun mereka adalah warga negara Indonesia yang sah (golongan masyarakat ini adalah masyarakat pendatang dan sebagian masyarakat Papua);
Ketiga, masyarakat asli Papua yang berkonsentrasi sebagai pejuang kemerdekaan Papua. Mereka ini sama sekali tidak akan menyalurkan hak pilihnya, karena beda ideologi. Kelompok ini pilihannya jelas Papua merdeka di dalam referendum, apalagi mereka yang ada di luar negeri.
Dari ketiga masyarakat ini, maka dipastikan di Papua partisipasi pemilih akan sangat rendah dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia.
Kalau demikian bagaimana menyiasatinya? Mesin 16 partai harus dikerahkan untuk mendorong keluarga, teman, handai taulan didorong untuk terlibat dalam menyukseskan dan menyalurkan hak pilihnya. Jika tidak demikian, maka partisipasi warga pemilih di seluruh Papua diduga kuat akan menurun. Semua energi dan biaya yang dikeluarkan pemerintah menjadi kurang produktif.
Money politic dan pengerahan massa adalah budaya politik
Money politic biasa terjadi di dunia politik di negara-negara berkembang di dunia. Mengapa hal itu bisa terjadi? Politik dilihat sebagai tempat meraup uang oleh karena terjepit masalah ekonomi dan keuangan keluarga–mereka yang menjadi penyelenggara di satu sisi membutuhkan uang dan mereka yang menjadi calon membutuhkan suara.
Bagaimana mengatasi hal ini? Komunikasi politik para caleg perlu dibangun dengan baik, misalnya, komunikasi dengan para penyelenggara dan juga masa pemilih. Pengerahan massa pemilih dapat terjadi bukan saja dilakukan para caleg melainkan juga peluang untuk itu ada dari sisi sistem penyelenggaraan pemilu itu sendiri.
Hal ini akan berbuntut pada banyaknya kertas suara yang tersisa akibat partisipasi pemilih yang rendah, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, sehingga yang bisa dilakukan panwas menurut hemat saya adalah menjaga agar tidak terjadi konflik di TPS.
Kalau disandingkan dengan waktu 11 menit setiap orang menggunakan bilik suara di TPS, kecil kemungkinan pengerahan/mobilisasi massa akan terjadi, tetapi kecil kemungkinan tidak akan terjadi?
Waktu 11 menit di setiap bilik suara memang menjadi masalah serius karena banyak yang bisa golput atau mereka yang datang tetapi tidak bisa memilih–yang ini mungkin bisa terjadi konflik karena hak politik mereka tidak tersalurkan. Ini justru punya potensi konflik besar antara penyelenggara dan massa pemilih.
Artinya pengerahan massa yang banyak sekalipun tidak bermanfaat, money politic sekalipun tidak bermanfaat apa-apa. Jadi, apa yang bisa dibuat KPU sebagai penyelenggara dan Bawaslu?
Yang bisa dilakukan menurut saya adalah agar Bawaslu tidak melihat pengerahan massa dan money politic yang lazim terjadi, tetapi potensi konflik terbesar adalah ketika hak pillih seseorang tdk terasurkan dengan penggunaan waktu 11 menit setiap orang di bilik pencoplosan suara. Agar tidak terjadi konflik antara pemilih dan KPPS, maka waktu pembukaan TPS dipercepat dan ditutup cepat pula.
Terlepas dari apa yang disampaikan di atas, konklusinya adalah hanya orang-orang pilihan Tuhan melalui suara rakyat yang akan menduduki kursi empuk, tetapi panas di pundak mereka, diletakkan tanggung jawab untuk melayani masyarakat. Namun di sisi lain mereka mengabdi bagi negeri Indonesia dan secara khusus di Papua. (*)
Penulis adalah pemerhati sosial-politik di Papua, tinggal di Jayapura
Editor: Timo Marthen