BIDANG Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura menyampaikan peringatan keras kepada Sekolah Dasar (SD) di Kota Jayapura, Papua yang masih menerima tes membaca, menulis, dan berhitung (calistung) saat menerima murid baru.
Kepala Bidang PAUD Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura Cliford Korwa membenarkan bahwa masih ada SD di Kota Jayapura yang menggunakan tes calistung saat menerima murid baru.
Menurutnya, itu tidak dibenarkan karena di PAUD atau TK anak-anak tidak diajarkan calistung, karena filosofinya PAUD dan TK adalah tempat bermain dan taman bermain bagi anak dengan penekanan pendidikan karakter.
“Ya, masih ada SD yang melakukan tes, kali ini kami panggil panitia penerimaan siswa baru sekolah bersangkutan untuk mempertanggungjawabkan aturan yang mereka terapkan,” kata Korwa di Jayapura, Jumat, 15 Maret 2019.
Korwa menyebutkan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 69 Ayat 5 disebutkan bahwa penerimaan peserta didik kela 1 SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis dan berhitung, atau bentuk tes lain.
Kemudian dalam Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada TK, SD, SMP, SMA, dan SMK tercantum bahwa persyaratan usia merupakan satu-satunya syarat calon peserta didik kelas 1 SD. Syarat tersebut adalah berusia tujuh tahun atau paling rendah enam tahun pada 1 Juli tahun berjalan.
“Direktur PAUD melarang keras tes calistung dilakukan pada anak saat masuk SD tapi kenapa kok masih ada yang melakukan tes, menurut saya, ternyata guru di SD itu dia mau yang enaknya saja, dia berpikir bahwa anak TK itu sudah tahu baca tulis dan berhitung,” katanya.
Korwa menyarankan agar orang tua memasukan anaknya ke PAUD saat berumur 4 tahun sehingga ketika keluar TK sudah berumur menjelang 7 tahun dan waktu yang pas untuk mendaftar ke SD.
Setelah sampai di SD, pengelola sekolah tidak boleh menolak mereka jadi murid karena tidak bisa calistung.
“Tidak boleh tes calistung karena itu hak anak sebagai warga negara Indonesia dan hak anak sebagai anak TK yang harus melanjutkan ke SD,” ujarnya.
Menurutnya, pada usia PAUD otak manusia di bawah enam tahun lagi tersusun dengan apa yang dilihat dan dirasakan. Saat berada di TK otaknya sedang dalam proses.
Karena itu dengan melakukan tes terhadap anak termask kekerasan, karena pada saat pembelajaran di PAUD dalam kriteria penilaian, anak belajar bermain sambil belajar mengenal huruf dan angka dengan alat-alat permainan.
“Jadi, kalau anak dipaksa ikut tes, saya rasa itu sama saja dengan melanggar hak asasi manusia, khusus untuk anak yang bersangkutan, masa kita paksa anak untuk memeras otaknya untuk berpikir, walaupun hanya tes warna, misalnya, kenal warna ini tidak, tapi itu tidak boleh, yang penting tidak melakukan tes kepada anak, apapun bentuknya,” katanya.
Korwa menegaskan, justru tugas SD mengajarkan calistung kepada anak, mulai kelas satu hingga kelas tiga. Tugas guru di SD bisa menyingkronkan materi pembelajaran yang ada di PAUD dan SD sehingga anak bisa terima.
“Syarat untuk masuk SD sesuai usia, akte kelahiran, kalau di PAUD sesuai dengan data pokok pendidikan nomor induk siswa,” ujarnya.
Korwa mengatakan, jika masih ada SD yang tahun ini menerima murid dengan melakukan tes calistung maka ia akan membentuk tim khusus.
“Kami akan proses sekolah tersebut sampai PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara), karena kami bicara tentang hak anak sesuai undang-undang, karena kami sudah melakukan sosialisasi dan juga memberikan teguran lisan,” ujarnya.
Kepala SDN 1 Hamadi Jayapura Ni Ketut Kabeningsih menjelaskan sekolah wajib menerima anak yang telah berusia 7 sampai 12 tahun. Sedangkan usia di bawah 7 tahun harus dengan surat keterangan tentang tes IQ.
“Selain itu penerimaan siswa baru berdasarkan sistem zonasi, kalau penerimaan siswa baru di sekolah kami tidak ada tes calistung, yang penting usia, kalau di bawa usia yang kami tentukan 7-12 tahun, tapi anak sudah mampu itu kami bisa akomodir,” katanya.
Menurut Kabeningsih, tidak dilakukannya tes calistung pada calon murid di SDN 1 Hamadi Jayapura karena tidak diwajibkan sesuai undang-undang. Selain itu juga berpengaruh terhadap perkembangan otak anak.
“Setiap kali penerimaan siswa baru kami menerima tiga kelas atau 85 sampai 90 murid baru. ini sesuai standar pelayanan minimal khususnya rombongan belajar, karena untuk SD satu rombongan belajar 28 sampai 32 murid,” katanya.
Menurut Kabeningsing, anak-anak diajarkan dengan pelajaran calistung saat duduk di bangku kelas 1, 2, dan 3. Pendekatannya belajar sambil bermain dan mengenal gambar.
Orang tua murid di Jayapura, Ribka mengaku selama di TK anaknya tidak diajarka calistung. Paling hanya mengenal huruf dan angka. Anaknya baru diajarkan calistung ketika duduk di bangku SD.
Ia meminta pemerintah daerah, khususnya Dinas Pendidikan untuk tegas menindak SD yang menerima murid melalui tes calistung. (*)
Editor : Syofiardi