Satu dekade pertambangan bauksit dan logging, Pulau Rennell korban

Dampak dari perusahaan logging dan pertambangan bauksit di Pulau Rennell. - Zahiyd Namo

Papua No.1 News Portal | Jubi

 

Oleh Mike Puia di Rennell Barat

Read More

Mungkin tidak ada satupun tempat lainnya di kawasan Pasifik dimana kerusakan akibat industri ekstraktif tampak jelas seperti Pulau Rennell.

Pulau itu, sebuah titik kecil di Pasifik Selatan yang luas, terletak di ujung selatan Kepulauan Solomon, dan adalah rumah bagi beberapa ribu orang. Dan kedua ujung pulau itu sangat berbeda.

Di satu sisi terdapat Rennell Timur yang masih belum tersentuh, sebuah situs warisan dunia UNESCO, yang menunjukkan Rennell yang masih alami. Namun dalam satu dekade terakhir, Rennell Barat telah mengalami kerusakan akibat tiga hal: penebangan hutan, pertambangan bauksit, dan tumpahan minyak mentah dari sebuah kapal curah, yang disewa oleh perusahaan pertambangan tadi, kandas di terumbu karang.

Perusahaan pembalakan kayu tiba di pulau itu sekitar 10 tahun yang lalu. Citra satelit menunjukkan hilangnya tutupan hutan di bagian barat pulau dan jalan-jalan yang dibangun untuk mengeluarkan bahan kayu.

Penduduk Rennell Barat, seperti Ajilon Nasiu, mengatakan bahwa sejak aktivitas penebangan hutan dan penambangan dimulai di sana, lingkungan telah berubah.

“Burung dan hewan di sini sudah pindah, mungkin ke Rennell Timur. Kami tidak lagi mendengarkan suara burung di pagi hari,” tutur Nasiu, mantan ketua parlemen nasional di Honiara. Dia telah mengamati kegiatan penebangan dan pertambangan dengan cermat sejak mereka tiba di pulau itu. “Masalah yang kami alami adalah karena pemilik-pemilik tanah itu tidak bersatu untuk melindungi hutan dan tanah kami atau untuk melawan perusahaan-perusahaan.”

Pertambangan menyusul tidak lama setelah kegiatan penebangan pohon dimulai, dimana izin sewa yang diberikan mencakup sebagian besar daerah Rennell Barat dan diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang mengincar tanah kaya bauksit. Bijih bauksit merupakan sumber utama aluminium.

Pemilik-pemilik tanah dan beberapa pejabat memperkirakan bahwa, sejak tahun 2014, hingga 50% dari tanah yang kaya bauksit di Rennell Barat telah diekspor.

Meski pemerintah Kepulauan Solomon memberikan berbagai pengecualian pajak kepada perusahaan-perusahaan pertambangan yang beroperasi di Rennell, mereka masih menyumbang ke kas pemerintah. Gubernur Bank Sentral Kepulauan Solomon mengatakan bahwa meskipun dibebaskan dari pajak ekspor, Bintang Mining Company, salah satu operator utama di pulau itu, menyumbangkan SBD $142 juta (AS $17,8 juta) pada 2020 dan SBD $131 juta (AS $16,4 juta) pada 2019.

Usaha-usaha di Rennell Barat berkembang pesat selama puncak aktivitas logging dan pertambangan. Anak-anak bisa membeli ponsel, toko-toko dibuka, dan orang-orang punya uang untuk dibelanjakan.

Tetapi bahkan pejabat pemerintah saat ini dan sebelumnya telah mengakui bahwa cara pemerintah-pemerintah sebelumnya dalam menangani proses pembebasan lahan dan pemberian sewa untuk industri pertambangan bauksit itu tidak mematuhi peraturan pertambangan dan telah merugikan masyarakat.

Mantan Perdana Menteri Rick Houenipwela mengungkapkan kepada SIBC tahun lalu bahwa: “Sayangnya, Kepulauan Solomon tidak mendapat keuntungan apa-apa dari operasi pertambangan Rennell.”

Amos Tuhaika, dari Desa Avatai, mengatakan kepada Guardian bahwa hutan, kebun, dan laut mereka telah dihancurkan oleh perusahaan-perusahaan ekstraktif tadi. “Kami mengandalkan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan polisi untuk melindungi kami, tetapi mereka mengecewakan kami,” kisahnya.

Orang-orang di Rennell Barat mengatakan bahwa kedatangan industri pertambangan dan logging juga telah mengubah tatanan kehidupan sosial masyarakat lokal. Toko-toko yang menjual alkohol bermunculan di desa-desa dekat kamp perusahaan.

Di Desa Lavagu, Rosemary Tingi’ia menerangkan bahwa keluarga-keluarga telah hancur akibat dampak dari pekerja perusahaan tambang asing, dimana mereka jadinya punya anak dari pekerja-pekerja tambang asing. Sementara beberapa laki-laki tampaknya adalah pasangan yang peduli dan menyediakan penghidupan bagi anak-anak mereka, lebih sering pengalaman mereka jauh lebih buruk. Seringkali perempuan dibayar untuk seks, terkadang hanya dengan makanan dan tempat tinggal, dan ketika pekerjaan para pekerja tambang selesai, mereka kembali ke negara asal mereka, meninggalkan perempuan-perempuan yang masih muda untuk mengurus diri mereka sendiri dan anak-anak mereka.

Ada stigma yang dalam dan rasa malu di Kepulauan Solomon bagi perempuan dan anak-anak mereka yang berada dalam situasi seperti ini. Anak-anak tidak memiliki posisi tradisional yang jelas dalam masyarakat di mana tanah diturunkan secara patrilineal, dan para perempuan sulit diterima kembali oleh keluarga adat mereka atau untuk menemukan pasangan lain lagi ke depannya.

“Anak-anak ini sekarang tidak memiliki sosok ayah, tanpa rumah atau rekening bank,” jelas Tingi’ia.

Dan kemudian, pada Februari 2019, Pulau Rennell menjadi lokasi bencana buatan manusia yang paling serius dalam sejarah negara itu. Selang serang Siklon Tropis Oma, sebuah kapal curah bernama MV Solomon Trader yang membawa 700 ton minyak, kandas di terumbu Kongobainiu.

Kapal tersebut, yang disewa oleh perusahaan pertambangan Bintan Mining Solomon Islands, telah berusaha memuat bauksit dari tambang terdekat di pulau itu. Kecelakaan itu menyebabkan 300 ton minyak tumpah ke teluk yang masih murni.

Warna air pun berubah menjadi hitam, orang-orang lokal berkata mereka terpaksa minum air hujan karena sumber air segar mereka terkontaminasi dan, karena tidak dapat menangkap ikan, bergantung pada pengiriman makanan dari Honiara, 250 km jauhnya. Di Desa Avatai, setiap ayam mati seminggu setelah tumpahan minyak terjadi dan anak-anak menderita infeksi kulit dan mata.

Pemilik kapal, King Trader, dan perusahaan asuransinya dari Korea Selatan, P&I Club, meminta maaf atas tumpahan itu pada Maret 2019, menggambarkan keadaan itu “sama sekali tidak dapat diterima.” Dalam sebuah pernyataan, perusahaan menekankan bahwa “meskipun masalah pertanggungjawaban belum ditentukan… kami menyatakan penyesalan yang mendalam.” Pernyataan itu mengatakan mereka “sangat sadar akan kerusakan lingkungan” dan bekerja secepat mungkin untuk mengendalikan dampak tumpahan.

Menurut laporan pakar-pakar lingkungan lokal dan internasional tentang tumpahan tersebut, yang diberikan kepada pemerintah Kepulauan Solomon pada 2019 dan dibocorkan ke ABC, kejadian itu menyebabkan hilangnya lebih dari 10.000 meter persegi terumbu karang dan lebih dari 4.000 meter persegi habitat di perairan laguna, dan kerugian yang mencapai AU $ 50 juta. Laporan itu mengatakan bisa memakan waktu hingga 130 tahun untuk memulihkan lokasinya.

Lima bulan setelah itu, tumpahan kedua semakin merusak teluk itu, ketika diperkirakan 5.000 ton bauksit masuk ke air laut saat sedang dimuat ke tongkang, mengubah warna teluk menjadi merah.

“Ini seperti adegan dari film Exodus,” kata seorang sumber di Rennel kepada Guardian saat itu.

Anggota Parlemen dari dapil Provinsi Rennell-Bellona, Dr. Tautai Agikimu’a Kaitu’u, percaya bahwa pemilik-pemilik tanah di Rennell Barat tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan dari SDA di tanah mereka.

“Logging dan pertambangan di Rennell Barat, terutama pertambangan, telah menyebabkan banyak masalah bagi masyarakat dan lingkungan kami … Situasi di Rennell Barat sehubungan dengan aktivitas-aktivitas ini itu sangat mengenaskan,” jelasnya. (The Guardian)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply