Papua No. 1 News Portal | Jubi
Kiriman sampah warga ke Pantai C’Beery, Kampung Enggros, Kota Jayapura yang tak terkendali berdampak serius kepada pendapatan ikan dan kerang nelayan.
Sampah organik maupun nonorganik sisa produksi dari aktivitas manusia yang tidak terpakai menjadi permasalah lingkungan dan kesehatan. Itu disebabkan ulah dari masyarakat yang membuang sampah sembarangan.
Seiring bertambahnya jumlah penduduk di Kota Jayapura yang hampir mencapai setengah juta jiwa membuat sampah sulit dikendalikan. Hal ini tentu berdampak kepada kesejahteraan masyarakat.
Seperti yang dialami warga di Kampung Enggros, Ani Merauje, 64 tahun. Merauje menceritakan, saat masih usia Sekolah Dasar, laut dan hutan mangrove di Teluk Youtefa tampak bersih dan indah dipandang mata.
“Sekarang ini laut kami rusak karena sampah yang begitu banyak yang merugikan kami,” ujar Merauje kepada Jubi di Pantai C’Beery, Kampung Enggros, Kamis, 26 September 2019.
Sampah-sampah tersebut membuat hasil tangkapan ikan dan kerang nelayan diperairan Teluk Youtefa menjadi berkurang.
“Kalau dulu saya cari kerang bisa dapat 1-2 dua karung, sekarang ini sudah susah cari kerang, bagaimana mau dapat kerang banyak kalau laut dan hutan mangrove yang biasanya kami cari kerang banyak sampah,” ujarnya.
Sejahtera adalah impian bagi setiap orang, khususnya warga di Kampung Enggros dan Tobati. Untuk mencapai impian tersebut, manusia melakukan berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan masing-masing.
“Saya jualan kerang dari usia Sekolah Dasar, saat itu saya ikut orangtua saya cari kerang, hasilnya untuk dimakan dan dijual ke pasar, dulunya kalau habis semua saya bisa dapat sampai Rp1 juta, kalau sekarang ini paling banyak Rp300 ribu, semua harus disyukuri,” katanya.
Dikatakan Merauje, sebelum laut di Teluk Youtefa tercemar sampah, warga kampung biasa menjadikan laut sebagai garam untuk bumbu masakan, sebagai alat untuk mencuci pakaian, dan mencuci beras sebelum dibasuh dengan air tawar.
“Kenapa laut kami seperti ini, tercemar dengan sampah, jadi laut kami sekarang rusak, laut kami ini dulunya terlalu indah, bapak-bapak yang pergi buang jaring bukan ikan yang didapat tapi sampah, mama-mama pergi ke hutan bakau pergi ambil kerang, tapi yang kami dapat hanya tumpukan sampah,” katanya.
Menurut Marauje, sejak Pasar Youtefa ada, sampah tidak terurus baik. Sampah-sampah langsung bermuara ke Teluk Youtefa sehingga mencemari lingkungan laut dan sekitarnya.
“Kalau boleh, pemerintah melihat sampah yang sudah tercemar di Kampung Enggros dan Tobati ini, bagi perempuan Enggros dan Tobati, laut dan hutan bakau adalah mall untuk menghasilkan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga kami sehari-hari,” katanya.
Ibu empat anak ini berharap masyarakat semakin sadar membuang sampah, karena sangat berdampak buruk khususnya kepada perekonomian masyarakat yang mendiami pesisir pantai.
“Sampah tidak selamanya menjadi masalah masyarakat, bahkan sampah dapat menjadi pemersatu warga, bergerak bersama mengatasi masalah sampah yang pada akhirnya sampah dapat ditangani dengan baik oleh warga,” ujarnya.
Bila masyarakat mengerti dan memahami tentang sampah, dikatakan Merauje, baik dari sisi masalah dan manfaat sehingga warga dapat melakukan atau bersikap terhadap sampah yang ada di sekeliling mereka.
“Sampah yang kita pandang sebagai barang yang tidak bernilai malah menjadi barang yang memiliki nilai ekonomi, lingkungan hidup yang baik, bersih, dan sehat,” ujarnya.
Senada dengan Merauje, warga Kampung Enggros lainnya, Ricky Hababuk, yang sehari-harinya bekerja sebagai nelayan mengaku tercemarnya laut akibat sampah sangat mengganggu hasil tangkapan ikan.
“Bukan lagi ikan yang kami dapat tapi sampah, ini sangat ironis, dulu kami menjaring enak, tidak sibuk dengan sampah, tolong masyarakat jangan lagi buang sampah sembarangan supaya kami di laut ini tidak kena dampak dari sampah-sampah itu,” katanya.
Menurut Hababuk, keberadaan sampah di laut selama ini sangat mengganggu aktivitas para nelayan yang sedang melaut. Selain menghambat laju kapal dan perahu, sampah juga mengganggu proses penjaringan ikan.
“Sebelum sampah-sampah mencemari laut Teluk Youtefa, hasil tangkapan ikan sangat banyak, saat keluar melaut tidak harus keluar teluk, di dalam teluk ikan tersedia, kalau dijual saya bisa dapat Rp1 juta dalam sehari, tapi sekarang ini cuma dapat paling banyak Rp200 ribu,” ujarnya.
Berdasarkan pengalaman Hababuk, sampah di laut mulai dirasakan keberadaanya sejak 1990-2000 dan masih berlangsung hingga saat ini. Meski ada petugas kebersihan di laut, tetap saja sampah masih ada.
Dari tahun ke tahun, sampah semakin banyak. Berbeda saat dia baru menjadi seorang nelayan sejak usia Sekolah Dasar, air terlihat jernih dan sampah hampir tidak ada. Namun, kinoi air menjadi keruh akibat sampah.
“Saya berharap masyarakat yang tinggal di kampung juga jangan buang sampah sembarangan sehingga tidak selalu menyalahkan warga yang tinggal di kota,” katanya.
Menurut Hababuk, keberadaan sampah khususnya plastik yang sulit hancur mengakibatkan tingkat kesehatan biota laut menurun, yang berakibat pada hasil tangkapan nelayan ikut menyusut.
“Di tengah laut maupun di hutan bakau, jelas banyak sekali sampah-sampah dari darat, ketika sampai muara dia (sampah) lari ke pesisir,” katanya. (*)
Editor: Syofiardi