Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Oleh Felix Degei
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tahun 2019 adalah tahun politik bagi bangsa Indonesia. Pemilihan umum (pemilu) kali ini lebih unik karena pertama kali dalam sejarah bangsa Indonesia melakukan pemilihan secara serentak.
Sesuai namanya pemilihan akan dilaksanakan secara bersamaan antara pemilihan presiden dan wakil presiden serta wakil rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 dan DPD.
Sesuai jadwal resmi yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) pemilu serentak dilangsungkan pada 17 April 2019.
Guna mencari prestise dan elektabilitas setiap pasangan calon (paslon), baik calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres), maupun calon legislatif (caleg) telah dan sedang memperkenalkan diri dengan berbagai cara. Salah satu cara yang sangat sering dilakukan dalam pesta demokrasi di Indonesia adalah penyampaian visi dan misi kepada masyarakat atau lazim disebut kampanye. Kampanye secara resmi sesuai jadwal KPU RI dimulai pada 23 September 2018 sampai 13 April 2019.
Secara praktis proses kampanye untuk capres dan cawapres telah dikemas dalam bentuk debat yang terdiri dari lima kali. Menariknya setiap debat memiliki topik yang berbeda. Debat pertama tentang Hukum, HAM, Korupsi dan Terorisme (17 Januari 2019); kedua, Energi dan Pangan, Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup (Minggu, 17 Februari 2019); ketiga, Pendidikan, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sosial dan Budaya (Minggu, 17 Maret 2019); keempat, Ideologi, Pemerintahan, Pertahanan dan Keamanan serta Hubungan Internasional (Sabtu, 30 Maret 2019), dan kelima tentang Ekonomi, Kesejahteraan Sosial, Keuangan dan Investasi (April, 2019).
Kampanye untuk para caleg juga marak dilaksanakan dengan berbagai cara. Sekitar tiga bulan lamanya sejak akhir September 2019, secara resmi para caleg memperkenalkan diri, dengan visi dan misi yang hendak mereka wujudkan, jika terpilih sebagai wakil rakyat selama lima tahun ke depan.
Proses perkenalan mereka terhadap publik dilakukan dengan cara memasang baliho, spanduk, pamflet ,dan berbagai atribut kampanye lainnya, baik melalui media massa, maupun memajangnya di jalan raya dan tempat-tempat umum.
Tentu melihat dan membaca sepintas, orang bisa berkesimpulan bahwa mereka adalah capres, cawapres, dan caleg yang pantas dan layak menduduki jabatan sebagai pimpinan dan wakil rakyat selama lima tahun. Alasannya tentu karena dengan membaca dan memahami setiap kata indah dan bermakna yang dimuat pada aksesoris kampanye mereka. Kata-kata yang dimuat menyangkut pangakuan terhadap diri pribadi si calon. Padahal, idealnya penilaian itu biasanya datang dari orang lain atas semua yang telah lakukannya.
Berikut ini adalah beberapa contoh pengakuan diri yang lazim pada setiap atribut kampanye. Misalnya, ada yang mengaku dirinya peduli dan prorakyat, pejuang keadilan, beriman, anti-KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), amanah, pintar, tegas, dan berbagai pengakuan lainnya. Tentu itu semuanya hanya bertujuan untuk mencari simpati dari warga.
Selain pangakuan diri, di sana juga terlihat berbagai janji, yang katanya, akan realisasikan jika kelak terpilih jadi presiden, wakil presiden, ataupun wakil rakyat selama lima tahun ke depan. Akumulasi rentetan janji mereka itulah yang selanjutnya dipahami sebagai visi dan misi yang hendak mereka wujudkan.
Janji adalah utang, maka sebaiknya ada yang mencatatnya untuk menjadikan bahan protes setelah mereka terpilih. Tetapi hal demikian dipahami sebagai lagu lama yang hanya diputar kembali untuk mencari prestise dan elektabilitas pribadi, partai, dan golongan.
Beberapa contoh dari janji-janji yang lazim terlihat. Misalnya ada yang berjanji akan memperhatikan dan memperjuangkan nasib rakyat, memberantas KKN, memperjuangkan aspirasi rakyat kecil, membangun bangsa dan negara tanpa diskriminasi, dan masih banyak lagi janji yang menggugah hati masyarakat.
Kendati terlihat pengakuan diri mereka yang baik dengan janji-janji yang gemilang, masyarakat hendaknya bijak dalam menentukan pilihan. Kebijaksanaan dari warga harus ditunjukkan setelah merenungkan kembali pengalaman hidup (pemilu sebelumnya). Sebagian besar dari calon adalah para pemimpin di masa sebelumnya (incumbent) seperti capres nomor urut 1 Ir. Joko Widodo (Presiden RI periode 2014-2019). Capres nomor urut 2 dan para caleg juga pernah menjabat pada jabatan lain sebelumnya. Kinerja mereka selama itu harus dijadikan sebagai tolok ukur dalam menentukan pilihan.
Ingat pengalaman adalah guru yang baik bagi setiap orang. Setiap kita tentu memiliki pengalaman yang berbeda-beda tentang figur (para calon) yang sedang mencari sensasi. Jangan terbuai dengan euforia penyebaran berbagai isu yang tidak jelas kebenarannya alias hoaks. Pilihan kita akan sangat berdampak pada roda pembanguan negara dan daerah selama lima tahun mendatang.
Ada dua pertanyaan yang harus direnungkan kembali sebelum memasuki TPS (Tempat Pemungutan Suara). Pertama, apakah memang benar para paslon (capres, cawapres, caleg) selamai ini hidup sesuai dengan pengakuan diri yang ditulis dalam alat peraga kampanye?; kedua, apakah janji-janji mereka yang gemilang itu memang benar dan terlihat dalam keseharian hidup mereka selama ini?
Kedua pertanyaan refleksi singkat di atas adalah hal yang sangat penting untuk menentukan nasib hidup Anda dan saya selama lima tahun ke depan. Ingat proses pemilihan kita di balik meja TPS hanya sekitar satu menit. Jika kita salah memilih, maka penyesalan yang akan menaungi kita lima tahun ke depan.
Untuk merawat nasib hidup kita selama lima tahun kelak, maka kita harus menentukan pilihan kita dengan mengacu pada asas pemilu yang tertuang dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2003. Undang-undang tersebut mengatur tentang enam asas: langsung, umum, bebas, rahasisa (luber) dan jujur dan adil (jurdil).
Inti dari keenam asas di atas adalah setiap orang yang telah masuk nama dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) berkewajiban untuk menentukan pilihannya secara langsung, umum tanpa ada paksaan dari orang lain alias bebas. Namun, tetap menjunjung tinggi nurani, sehingga menjaga kerahasiaan untuk bertindak jujur dan adil pada pilihan.
Selanjutnya kita juga harus memiliki pandangan bahwa siapa saja yang maju dan mencalonkan diri adalah keterwakilan dari kita. Karena sesungguhnya kita semua memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk memilih dan dipilih. Tekad dan harapan yang hendak kita miliki adalah mereka yang mencalonkan diri akan memperjuangkan hak dan kewajiban kita bersama (primus inter pares).
Untuk mengakhiri tulisan ini, penulis hendak menekankan bahwa kedaulatan sepenuhnya ada di tangan rakyat. Ingat ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’ (Vox Populi Vox Dei). “Demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,” ujar Abraham Lincoln, Presiden ke-16 Amerika Serikat. (*)
Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Asli Tanah Papua yang sedang Kuliah pada Jurusan Master of Education di The University of Adelaide Australia Selatan