Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Terkadang semua pihak menilai dalam pertandingan sepak bola di Indonesia bebas dari teriakan rasis. Tapi ternyata tak seindah ucapan di bibir dengan kenyataan di lapangan khususnya saat bertanding maupun berlatih dalam ujicoba lapangan. Apalagi kompetisi di tengah si pengadil lapangan mengeluarkan keputusan kontroversial membuat emosi pemain meledak-ledak.
Mantan pelatih kepala Persipura M Raja Isa pernah mengatakan agar anak anak Persipura bermain hati-hati karena dalam sepak bola Indonesia si pengadil lapangan memberikan keputusan kontroversial. Hal ini lanjut pelatih yang pernah kena bogem mentah di lapangan menambahkan bisa membuat emosi pemain meningkat dan hilang konsentrasi mereka dalam bermain.
“Meski kita selalu berdoa tapi gangguan seringkali terjadi mulai dari melawan tim tuan rumah, penonton dan wasit,”katanya kepada Jubi.co.id kala itu.
Bahkan dia menambahkan teriakan rasis pun tak lepas pula dari mulut mereka yang menyaksikan saat berlatih maupun bertanding.
Keluhan pelatih asal negeri jiran ini pernah pula dikatakan kepada Koran Tempo edisi 22 Desember 2007. “Anak anak tidak bisa berkonsentrasi karena dipanggil monyet,”katanya saat Persipura mengalami pengalaman buruk saat bertandang di Balikpapan dan Jepara.
Baca juga : Rasisme pendukung PSIS Semarang, suporter Persipura: Tidak terpuji
Ketum Persipura: Kalau ada rasisme dan provokasi, PSSI harus tegas
Proporsi rasisme, diskriminasi, xenofobia, dan toleransi di AS dan Indonesia
Dia mengatakan di dua kota tersebut, pemain-pemain Persipura mendapatkan teror bernada rasisme dari penonton yang membuat konsentrasi mereka berantakan.
Lain pula dengan pelatih Persipura asal Brasil Jacksen F Tiago mengakui kalau ungkapan penghinaan terhadap pemain dan pelatih Persipura harus selalu dibalas dengan kemenangan dan dukungan doa dari semua masyarakat di tanah Papua.
Kemenangan Persipura atas Sriwijaya FC di Stadion Jakabaring membuat Jacksen F Tiago berjingkrak-jingkrak saat Nelson Alom mencetak gol kemenangan kedua dari jarak jauh. Padahal saat itu tim berjuluk Mutiara Hitam bermain di tengah tekanan dan teriakan rasisme.
Menanggapi kisruhnya terakan rasis di sepak bola Indonesia, tak ketinggalan seorang Aremania dari Depok mengirim surat pembaca ke Tabloid Bola edisi Selasa, 15-22 Desember 2009 berjudul, Maaf untuk Persipura.
Salam olahraga.
Setelah membaca banyak liputan di media cetak tentang pertandingan antara Arema melawan Persipura. Saya sebagai pendukung Aremania menyesalkan mengapa pertandingan itu diwarnai teriakan-teriakan bernada rasial yang dilontarkan penonton di Stadion Kanjuruhan Malang. Meski tidak jelas apakah yang melakukan teriakan itu Aremania murni atau sekadar oknum, sebagai warga Arema saya sungguh prihatin. Apalagi selama ini sebagai Aremania kita memiliki prinsip bahwa suara hati perjuangan dan panggilan jiwa kami hanya untuk Arema. Saya ingin prinsip itu jangan sampai dirusak secuil oknum yang ingin Aremania menjadi musuh publik di Indonesia. Kita harus tunjukan bahwa Aremania cinta damai serta harus bisa memberi contoh. Walau kita berbeda warna, tetap bersaudara.
Kepada seluruh anggota tim Persipura hingga seluruh pendukungnya, terutama warga Jayapura secara pribadi dan atas nama Aremania di seluruh Indonesia. Kami meminta maaf yang sebesar-besarnya jika beberapa oknum Aremania/Aremanita telah melukai perasaan kalian. Salam satu jiwa Aremania. Okim, ITC Depok Lt VI Blok B 55, Depok Jawa Barat.
Ketua Komisi Disiplin Badan Liga Indonesia saat itu Hinca Panjaitan bukan memberikan hukuman kepada penonton karena mungkin menganggap kurang bukti. Namun pemain Persipura Ortisan Solossa harus marah dan menghancurkan kursi stadion karena teriakan rasis. Cilakanya tim berjuluk Mutiara Hitam harus membayar denda akibat tindakan abang kandung Boaz T Solossa itu.
“Kami paham, mereka melakukannya karena kesal diperlakukan rasis oleh penonton,”ujar Ketua Komisi Disiplin Badan Liga Indonesia Hinca Panjaitan kala itu, Akibatnya tim berjuluk Mutiara Hitam harus membayar denda hukuman Rp 5 juta dalam laga ISL 2009/2010 dalam pertandingan antara Persipura melawan Arema FC
Peringatan teriakan rasis pernah pula diingatkan Panitia Pelaksana (Panpel) Pertandingan Arema FC Abdul Haris menghimbau agar Aremania julukan supporter Persipura agar tidak menyanyikan lagu yang berbau rasis saat laga Arema FC kontra Persipura pada pekan ke enam Liga 1 2018 lalu di Kanjuruhan Malang, Jumat (27/4/2018).
Haris mengakui kalau nyanyian rasis memang rawan terjadi di setiap laga melawan Persipura. Hal itu dapat memicu terjadinya kericuhan mengingat tim berjuluk Mutiara Hitam itu juga memiliki suporter yang cukup militan.
Sebenarnya teriakan rasis pernah pula dialami klub Madura United saat melawan Arema FC pada pertandingan terakhir Liga 1 musim 2019. Presiden Laskar Sapeh Kerrab julukan tim Madura United bahkan mengamuk lewat Instagram resmi Madura United. “Supoter harus jadi pemersatu. Ada unsur pendidikan bagi generasi berikutnya untuk terus merajut persatuan. Banyak anak-anak yang terlibat di tribun maupun menonton dari siaran langsung.”tulisnya.
Butuh mental tangguh
Liga Eropa sudah kembali bergulir setelah istirahan karena virus korona, namun sudahkah para supporter berbelok dari sudut nyanyian monyet? Tulis seorang kolumnis dari face2face Africa.com mengeritik teriakan dan nyanyian rasis menimpa pemain asal benua hitam Afrika. Sudahkah kita berbelok di sudut nyanyian monyet? Apakah kita masih akan mendengar bagaimana para pemain keturunan Afrika itu “kuat” tetapi tidak harus “cerdas”
Butuh mental yang tangguh dalam menghadapi teriakan rasis bagi seorang pesepak bola Afrika maupun berkulit hitam di mana pun di dunia ini. Terutama menyamakan manusia dengan seekor monyet alias monkey. Mulai dari teriakan meniru suara monyet sampai membuang kulit pisang ke dalam stadion. Bahkan mantan striker Barcelona Samuel Eto asal Kamerun setiap mencetak gol harus berjalan meniru gerakan monyet di lapangan. Tak ada lagi emosi hanya bercanda dengan kemarahan.
Winger Timnas Inggris, Raheem Sterling, ikut berkomentar ihwal aksi rasisme yang terjadi di laga kontra Montenegro. Pemain berusia 24 tahun itu mengalami teriakan rasis yang dilakukan tim tuan rumah Montenegro saat melawan Inggris dalam babak kualifikasi Euro 2020 di Stadion Pod Goricom, Selasa (23/3/2019). Ada teriakan mirip suara monyet yang ditujukan pada pemain Inggris yang berkulit hitam. Aksi yang tidak terpuji. Itulah teriakan rasis dalam abad ini membutuh kesabaran dan mental baja bagi pesepak bola kulit hitam menghadapi sebuah pertandingan mulai dari tingkat nasional, regional bahkan internasional. Meski FIFA bilang akan melawan rasisme dalam sepak bola dunia. (*)
Editor : Edi Faisol