Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Masyarakat adat di Lembah Grime, khususnya di wilayah adat Namblong kembali menagih janji ganti rugi tanah mereka yang dijadikan wilayah permukiman transmigrasi.
Hal ini membuat warga melakukan pemalangan dan menanti janji yang sampai sekarang belum mendapat jawaban.
“Mereka telah menyampaikan aspirasi (tuntutan ganti rugi lahan). Kami tunggu respons pemerintah pusat karena aspirasi serupa pernah disampaikan beberapa tahun lalu,” kata Bupati Mathius Awoitauw, Kamis (10/12/2020).
Bupati Awoitauw mengatakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua juga telah melaporkan penggunaan lahan di Kampung Besum, Distrik Namblong tersebut. Dia berharap Pemprov Papua memenuhi kewajiban mereka dalam melunasi ganti rugi lahan sesuai rekomendasi terdahulu dari Menteri Dalam Negeri.
Program transmigrasi di wilayah Nimboran, Lembah Grime pertama kali dilaksanakan pada 1977 setelah jalan darat dari Sentani menuju Genyem ibukota Distrik Nimboran kala itu. Salah satu keberhasilan program itu membuat wilayah Nimboran termasuk distrik penyuplai jeruk manis ke Kota Jayapura.
Belakangan produk hasil pertanian buah jeruk dari Genyem semakin berkurang dan beralih pula ke wilayah Arso, Kabupaten Keerom yang juga merupakan wilayah bekas program transmigrasi. Namun lahan transmigrasi sendiri selalu menjadi menjadi masalah sampai sekarang antara janji manis berbuah petaka.
Pasalnya program transmigrasi selalu diikuti pula dengan lahan pertama berupa lahan pekarangan dan lahan kedua untuk keperluan berkebun.
Jika disimak, sebenarnya program transmigrasi di tanah Papua sebenarnya dilaksanakan jauh sebelum pemerintah Indonesia mengambil alih wilayah sengketa antara Pemerintah Belanda dan Indonesia yang kini disebut Provinsi Papua dan Papua Barat.
Dulu, pemerintah Belanda menyebut program ini dengan nama kolonisasi. Pertama kali mendatangkan orang-orang Jawa ke Merauke pada 21 Februari 1902, selanjutnya pada 1908 didatangkan lagi masyarakat Jawa dan bermukim di Kuprik Merauke.
Bersamaan dengan itu pula, pemerintah Belanda mendatangkan warga Timor dari Pulau Rote ke lokasi permukiman Kampung Timor di Kabupaten Merauke. Bukan hanya itu. Ribuan ekor rusa yang kini hidup di Taman Nasional Wasur juga ikut pula ke Merauke dari Pulau Timor, NTT.
Pada 1910, pemerintah Belanda mendatangkan lagi masyarakat Jawa dan dimukimkan di lokasi Spadem dan Mopah lama. Bagi pemerintah Belanda mendatangkan para koloni ke Merauke adalah untuk berladang dan bersawah, menanam sayur-sayuran, buah-buahan serta berternak guna memenuhi kebutuhan makanan dan minuman bagi pegawai pemerintah Belanda.
Pasalnya saat itu para ambtenaar (pegawai pemerintah hindia belanda sebelum bernama Indonesia) Belanda harus menunggu suplai makanan dari kapal api yang berkunjung sebulan sekali, bahkan tak tentu jadwal pelayarannya.
Setelah Perang Dunia Kedua berakhir tahun 1943 pemerintah Nederlands Nieuw Guinea mengadakan penelitian dan survey di area dekat sungai Digul dan Bian sampai wilayah Muting.
Pemerintah Belanda terus berupaya untuk membuat areal yang direncanakan dan mendatangkan orang-orang Jawa yang dimukimkan di Merauke.
Meskipun pemerintah Belanda sudah angkat kaki dari tanah-tanah jajahan mereka, pemerintah Indonesia terus melanjutkan program ini tetapi namanya berubah menjadi program transmigrasi.
Menurut Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti, istilah atau sebutan Jawa Merauke “JaMer”, lahir pada akhir 1943 saat pemerintah Nederlands Nieuw Guinea merencanakan pembangunan proyek persawahan di Sungai Digul dan sekitarnya.
Sedangkan di jaman pemerintah Presiden Sukarno, program transmigrasi pertama yang dikirim keluar dari Pulau Jawa adalah Pulau Kalimantan pada 12 Desember 1950, kemudian dirayakan sebagai Hari Bhakti Transmigrasi.
Meskipun namanya diganti dari kolonisasi menjadi program transmigrasi, tetapi menurut mantan Mentrans Martono bahwa obyek dan subyeknya sama yaitu, memindahkan manusia daerah yang padat penduduknya ke daerah yang jarang penduduknya terutama dari pulau Jawa yang laju pertumbuhan penduduknya terus bertambah.
Program transmigrasi sendiri sampai sekarang di tanah Papua masih belum berjalan, meskipun ada beberapa wilayah di Papua masih menjalankannya sesuai kebijakan pemerintah kabupaten.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi masih menunggu sinyal diadakannya program transmigrasi karena belum diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi atau Perdasi.
Pasalnya, Program Transmigrasi tersebut terbentur dengan Undang – Undang 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua, yang belum mengakomodir keberadaan Program Transmigrasi.
Pemicu Konflik
Program transmigrasi di tanah Papua berlangsung sejak 1964 sampai 1999 dengan data terakhir 78.000 KK.
Mantan staf ahli Menaker Transmigrasi dan mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai mengaku rencana Presiden Jokowi untuk menghentikan program transmigrasi sebenarnya telah dilakukan sejak beberapa tahun lalu sekitar tahun 2000 saat Menaker Trans dijabat oleh Or Alhilal Hamdi. Itu karena penolakan yang kuat terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia.
. “Transmigrasi reguler di Papua telah diberhentikan pada tahun 2000 atau 15 tahun yang lalu oleh Menakertrans Ir. Alhilal Hamdi dimana saat itu saya menjadi staf khusus Menteri,” ujar Natalius dalam siaran pers yang sebagaimana dikutip Kompas.com, Minggu (7/6/2015).
Menurut Pigai, pertimbangan transmigrasi reguler dihentikan karena ada penolakan yang kuat hampir di seluruh daerah Indonesia.
Dampak penolakan itu memuncak saat muncul konflik berdarah di Sampit dan Sambas. Bersamaan dengan itu, di Papua juga terjadi kasus Armopa Jayapura yang mengancam keberadaan warga transmigran.
Alasan lainnya program transmigrasi ke Papua dihentikan ketika itu, lanjut Natalius, adalah jumlah transmigran yang semakin banyak di Bumi Cenderawasih.
Natalius menyebutkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1971-2000 migrasi masuk ke Papua mencapai 719.866 jiwa.
Sementara penduduk yang keluar Papua hanya 99.614. Setelah transmigrasi reguler dihentikan, maka pemerintah kemudian mengubah model transmigrasi menjadi berbasis Kerja sama Antar Daerah (KSAD).
Tidak seperti transmigrasi reguler di mana pemerintah pusat berwenang menentukan tempat transmigrasi, kerja sama antar daerah didasarkan permintaan daerah. “Tapi untuk Papua, terbentur dengan UU 21 tahun 2003 tentang Otsus yang mengatakan kebijakan transmigrasi dilakukan berdasarkan perdasus serta setelah penduduk Papua sudah mencapai 25 juta jiwa,” kata Pigai.
Sebenarnya apa yang dikatakan Pigai, sudah lama diungkapkan oleh mendiang Prof Dr Lapona dari Pusat Studi Kependudukan bahwa “pertambahan penduduk di tanah Papua lebih banyak dipengaruhi proses migrasi masuk (immigration) yaitu migran spontan dan transmigran, sedangkan pertambahan alami (natural increase) yang disebabkan selisih penduduk yang lahir (fertility rate) dibanding yang meninggal (mortality rate) kurang berperan. Apabila program transmigrasi kurang lagi dikembangkan seperti kebijakan pembangunan Papua sebelumnya, maka pertambahan penduduk di daerah ini ke depan akan lebih banyak dipengaruhi oleh migran spontan asal provinsi lainnya di Indonesia.”
Sedangkan menurut mendiang Michael Rumbiak, pakar kependudukan dari Fakultas Geografi Universitas Cenderawasih menjelaskan bahwa: “..Setelah Pepera tahun 1969 pemerintah Indonesia menyatakan Provinsi Papua Terbuka (Open Door Policy) bagi orang Indonesia lain bebas masuk Papua. Kebijakan ini jelas menyebabkan banyak orang datang berbondong-bondong ke tanah Papua..”
Sejak 1970-an sampai dengan 2000 jumlah penduduk di Tanah Papua meningkat sangat cepat dan tajam tiga kali lipat, dari jumlah 700.000 menjadi 2,5 juta pada 2000 selama kurang lebih 35 tahun. Dari jumlah 2,5 juta tersebut diperkirakan orang Papua asli hanya mencapai jumlah sekitar 1.5 juta orang, berarti terjadi penambahan 800.000 orang Papua asli.
Transmigrasi dan migrasi spontan merupakan program percepatan pertambahan jumlah penduduk non Papua di tanah Papua sehingga cepat melebihi jumlah penduduk asli Papua dalam waktu singkat. Daerah perkotaan kabupaten mau pun Kota Jayapura jumlah orang non-Papua seudah melebih orang Papua. Perbandingan jumlah penduduk yang timpang tersebut kelihatan jelas pada pusatpusat keramaian.
Program transmigrasi sendiri telah memiskinkan masyarakat lokal. Masyarakat lokal kehilangan hak-hak adat mereka atas tanah, hutan dengan sumber daya alamnya untuk selama-lamanya. Hak milik tanah menurut klan/suku yang masih kental menyebabkan klen-klen atau suku-suku melepaskan tanah untuk program transmigrasi tidak dapat bebas memanfaatkan hak ulayat milik klan atau suku lainnya(*)
Editor: Syam Terrajana