Ribuan mahasiswa Indonesia terjerat pekerjaan di China dan Taiwan

Ilustrasi, pekerja Mayday, pixabay.com
Ilustrasi, pekerja Mayday, pixabay.com

Praktik kerja yang dinilai ilegal itu berdasarkan temuan Satuan Tugas Anti-Kerja Paksa Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kawasan Asia-Oseania.

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Read More

Tianjin, Jubi – Sedikitnya 5 ribu mahasiswa Indonesia terjerat praktik kuliah kerja tidak proporsional di China dan Taiwan. Praktik kerja yang dinilai ilegal itu berdasarkan temuan Satuan Tugas Anti-Kerja Paksa Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Kawasan Asia-Oseania.

“Satgas yang beranggotakan perwakilan mahasiswa Indonesia di China, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang ini telah memverifikasi para mahasiswa yang menjalani program ini selama empat bulan, sejak Februari 2019,” kata Koordinator PPI Asia-Oseania, Galant Albarok, Minggu, (19/5/2019).

Satgas menemukan adanya sistem yang terorganisir dalam proses perekrutan calon mahasiswa di Indonesia hingga penempatan di negara tujuan dengan memperlakukan mahasiswa Indonesia semena-mena.

Kasus di China dan Taiwan itu terjadi pada saat antuasisme kuliah ke luar negeri begitu tinggi dengan adanya pihak yang tidak bertanggung jawab dan menyesatkan calon mahasiswa.

“Kami mengimbau para mahasiswa Indonesia berhati-hati dalam menentukan program kuliah ke luar negeri,” kata Galant.

Ia mengungkapkan kasus kuliah kerja di China disalurkan oleh salah satu agen di Surabaya yang menyasar para lulusan SMA dengan iming-iming kuliah sambil kerja. Agen tersebut membantu pengurusan seluruh dokumen para korban untuk ditempatkan di salah satu kota di wilayah selatan China dengan bekal visa “study working”.

“Setibanya di sana, ada pihak yang menjemput dan membawa para korban ke sebuah kampus, namun para calon diminta untuk menyerahkan sejumlah uang dengan alasan untuk biaya visa dan akomodasi. Setelah itu mereka dibawa ke sebuah pabrik,” kata Galant menjelaskan.

Selama kerja kuliah para korban diminta bekerja selama lima hari dan kuliah selama dua hari. Selain itu sistem absensi setiap hari dan pemotongan gaji bila tidak hadir dan diwajibkan untuk kerja lembur hingga pukul 02.00.

Ia menyebutkan gaji setiap bulan berjumlah 500 hingga 1.000 RMB sekitar Rp 1 hingga 2 juta, yang masih dipotong uang kuliah senilai 700 RMB atau Rp 1,4 juta.

“Mereka hidup di pabrik secara tidak layak dan mendapat sejumlah perlakuan kasar dalam keadaan paspor ditahan pihak pabrik,” katanya.

Pihaknya juga menyesalkan kasus serupa yang terjadi di Taiwan karena hingga kini belum ada langkah konkret yang diambil oleh pihak pemerintah Indonesia. PPI Kawasan Asia-Oseania mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan kunjungan langsung ke universitas dan mahasiswa yang saat ini sedang menjalankan program itu.

Hal ini penting untuk mengetahui legalitas universitas dan program karena menurut temuan tim Satgas, ijazah dari universitas ini tidak diakui keabsahannya. (*)

Editor : Edi Faisol

 

Related posts

Leave a Reply