| Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Brendan Nicholson
Ada kekhawatiran di Papua Nugini bahwa dengan memperbolehkan Australia dan Amerika Serikat, atau Tiongkok, untuk membangun pangkalan angkatan laut regional di Pulau Manus, negara itu akan membawa-bawa PNG untuk terlibat dalam konflik ke depannya, kata mantan perdana menteri negara kepulauan itu, Sir Rabbie Namaliu.
Selang konferensi online ASPI yang berjudul ‘Strategic Vision 2020’, Sir Rabbie berkata bahwa satu masalah yang masih perlu diselesaikan adalah apakah pembangunan pangkalan tersebut akan menempatkan PNG di posisi di mana negara itu perlu, dengan otomatis, mendukung negara manapun yang mendirikan fasilitas tersebut. Rencana untuk membangun pangkalan militer sudah dimulai dengan melibatkan Australia. Australia sedang membantu membangun kembali Pangkalan Angkatan Laut Lombrum di Pulau Manus untuk mengakomodasi kapal-kapal patroli PNG.
Diwawancarai oleh wartawan kawakan Stan Grant, Sir Rabbie mengatakan isu pembangunan pangkalan angkatan laut regional di Manus masuk perlu pertimbangan yang lebih saksama. ‘Dan tadi itu merupakan pertanyaan penting yang menurut saya pribadi, belum cukup ditelaah, karena kita tidak menandatangin Perjanjian ANZUS, misalnya, atau perjanjian apa pun dengan Tiongkok.’
Sir Rabbie menegaskan bahwa PNG selalu mempertahankan kebijakan luar negeri berprinsip ‘teman bagi semua’, dan ‘kita lebih memilih menghindari situasi seperti itu, dimana kita menjadi tuan rumah pangkalan regional di Manus, misalnya, yang dapat, dan mudah-mudahan tidak, menempatkan PNG di posisi yang sulit, posisi dimana PNG terlibat dalam sesuatu yang tidak pernah direncanakan awalnya.’
Dalam pertanyaan tentang perlawanan masyarakat lokal terhadap pembangunan kembali pangkalan itu saat ini, Sir Rabbie mengatakan pemerintah Provinsi Manus, melalui gubernurnya, telah bersikeras agar suara mereka harus diperhitungkan. Dia mengungkapkan bahwa keluhan itu didasarkan pada pengalaman masyarakat setempat yang tidak puas dengan pusat pemrosesan pencari suaka Australia di pulau itu.
“Dan keluhan itu lebih terkait peluang bagi orang-orang setempat dalam hal dampaknya pada bisnis. Tetapi juga dalam hal infrastruktur, bantuan pembangunan apa dapat dikembangkan di provinsi Manus di bawah kesepakatan itu,” katanya.
Jadi, saya kira pertanyaannya adalah, apakah sudah terlambat sekarang untuk meninjau kembali kesepakatan tersebut untuk memberikan suara kepada pemimpin-pemimpin provinsi Manus, karena kalian tidak ingin situasi ini berakhir sama seperti kesepakatan terakhir PNG dengan Australia sehubungan dengan fasilitas pemrosesan pencari suaka di Manus, yang telah menyebabkan banyak pemimpin di Manus, termasuk gubernur dan orang-orangnya, sangat, sangat kecewa akibat hal-hal yang dijanjikan kepada mereka tidak kunjung dipenuhi, janji-janji di bawah perjanjian itu.
‘Dan itulah yang mereka minta. Mereka ingin menghindari pengalaman yang sama dengan masalah-masalah seperti itu terulang kembali. Dan mereka ingin pengkajian perjanjian yang ada agar kepentingan mereka sepenuhnya diperhitungkan.’
Sir Rabbie juga mengakui bahwa tingginya bantuan Tiongkok ke wilayah Pasifik telah meningkatkan risiko negara-negara mungkin akan terjebak dalam utang. ‘Menurut saya risiko itu selalu ada, dan itu tergantung dari bagaimana negara-negara akan bernegosiasi dan menyetujui perjanjian ini. Dan sudah jelas bahwa dalam beberapa kasus di mana ada ikatan akibat ketentuan tertentu, Tiongkok telah menggunakan ketentuan tersebut untuk mengambil alih fasilitas atau infrastruktur di luar negeri. Dan itu adalah sesuatu yang harus diwaspadai oleh setiap negara,’ tegas Sir Rabbie. ‘Dan di tingkat regional, kita juga harus menyadarinya. Dan dalam beberapa hal, kita juga harus saling membantu tentang bagaimana kita menghadapi situasi semacam ini.’
Beberapa negara Pasifik memiliki hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok, sementara yang lainnya dengan Taiwan. Ini juga merupakan tantangan tersendiri. Kepulauan Solomon telah beralih pengakuan diplomatik dari Taiwan ke Republik Rakyat Tiongkok, dan keputusan itu dilihat sebagai akibat dari tekanan dari Beijing.
‘Kita (PNG) telah memiliki hubungan diplomatik dengan Tiongkok sejak kita merdeka. Jadi, kita punya hubungan yang panjang dengan Tiongkok selama ini. Tapi kita juga punya hubungan baik dengan Taiwan. Kita memiliki kesepakatan yang berbeda dengan mereka. Mereka memiliki kantor perdagangan di sini, di Papua Nugini, di Port Moresby. Jadi, kita sudah berurusan dengan kedua negara untuk waktu yang cukup lama.’
Sir Rabbie menerangkan bahwa tekanan dari Beijing agar PNG menghentikan Taiwan dari mendirikan misi perdagangan itu selalu ada. ‘Tetapi pada akhirnya, kita berhasil meyakinkan mereka bahwa misi perdagangan itu bertujuan untuk perdagangan dan investasi, bahwa kita ingin menerima bantuan pemerintah Taiwan yang telah mereka tawarkan sebelumnya, untuk membantu kita dengan proyek-proyek yang dimana mereka memiliki keahlian untuk membantu kita, khususnya dalam bidang pertanian. Jadi, mereka cukup puas selama lebih dari 30 tahun, dalam membantu kita di bidang pertanian, terutama dengan beras. Budi daya padi, penelitian padi, produksi beras.’
Ditanya apakah PNG mungkin pada akhirnya harus memutuskan antara Australia dan Tiongkok, Sir Rabbie menjawab bahwa ‘semoga’ persoalan ini tidak akan sampai pada titik itu, tetapi PNG harus menilai posisinya sendiri sesuai dengan kebijakan luar negerinya yang independen. Sampai sekarang, PNG memiliki hubungan yang sangat baik dengan Tiongkok maupun Australia.
‘Sudah pasti untuk setiap keputusan, jika suatu keputusan harus diambil, harus dinilai dan dianalisis oleh pemerintah pada saat itu untuk menentukan apa yang terbaik bagi kepentingan nasional kita. Tetapi saya tahu bahwa sebagian besar orang PNG menganggap Australia sebagai teman yang sangat dekat.’
PNG telah mewarisi banyak hal dari Australia, dalam hal administrasi dan kelembagaannya, dan dia percaya tidak akan sulit bagi PNG untuk membuat pilihan itu.
Sir Rabbie menambahkan bahwa program bantuan Australia ke wilayah Pasifik merupakan inisiatif yang baik karena, untuk waktu yang lama, pemimpin-pemimpin Pasifik merasa bahwa Australia lebih fokus pada isu-isu internasional lebih jauh dan mengabaikan Pasifik. ‘Dan oleh karena itu, utang menumpuk, yang mengakibatkan pihak lain masuk dan berusaha mengambil keuntungan dari utang-utang itu, baik dalam hal bantuan pembangunan, maupun investasi, dan bentuk-bentuk bantuan lainnya ke daerah tersebut.
Kabel komunikasi bawah laut dari Australia ke Coral Sea ke Kepulauan Solomon dan PNG telah menopang persahabatn yang baik antarnegara.
Masih ada perbedaan pendapat tentang perubahan iklim, kata Sir Rabbie, dan itu telah ditunjukkan di forum-forum regional.
‘Ini adalah suatu tantangan yang besar. Ini isu yang rumit, dan ini adalah sesuatu yang perlu terus dibahas oleh para pemimpin karena itu bukan masalah satu atau yang lainnya. Sudah jelas kepentingan Australia harus dihargai. Tetapi para pemimpin Pasifik juga berkeras bahwa kekhawatiran mereka terkait perubahan iklim dan dampaknya pada populasi manusia, pada tanah, serta pada aspek kehidupan lainnya perlu dipertimbangkan dengan serius.’ (The Strategist, The Australian Strategic Policy Institute Blog)
Brendan Nicholson adalah editor eksekutif di The Strategist.
Editor: Kristianto Galuwo