Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Adam Kiedrowski
Dikenal oleh penundaan berulang kali, pemungutan suara di negara bagian Chuuk tentang apakah negara bagian itu akan merdeka dari Federasi Mikronesia (FSM), telah dijadwalkan Maret 2020. Setelah rencana awal diadakan bertepatan dengan Pemilu FSM tahun 2015, pemungutan suara mengenai pertanyaan kemerdekaan Chuuk ditangguhkan lagi hingga Pemilu FSM 2019, kemudian ditunda ke Maret 2020.
Chuuk adalah negara bagian terbesar dalam hal populasi, dengan jumlah total sekitar 50.000 penduduk – hampir setengah dari total populasi FSM. Referendum untuk kemerdekaan Chuuk akan mutlak, sementara 45.000 pemilih yang memenuhi syarat bisa dibilang terpecah mengenai isu ini. Kurangnya edukasi dan pengetahuan pemilih telah disebut-sebut sebagai alasan penundaan itu.
Dilaporkan oleh Radio New Zealand pada Februari 2015, Gubernur negara bagian Chuuk, Johnson Elimo, juga telah menunda pemilihan perwakilan rakyat untuk di Dewan Perwakilan FSM. Saat itu, dalam sebuah pernyataan, Kantor Hubungan Publik Chuuk berkata Elimo menunda kedua pemilihan itu, karena dokumen yang diperlukan belum siap tepat pada waktunya, serta menunda referendum mengenai kemerdekaan Chuuk karena ia merasa masih lebih banyak konsultasi dan sosialisasi yang diperlukan.
Prospek Chuuk sebagai bangsa yang independen itu, memiliki keterkaitan dengan hubungan Mikronesia dan Amerika Serikat, serta kepentingan geopolitik Tiongkok di wilayah tersebut.
FSM, yang sebelumnya merupakan bagian dari Wilayah Perwalian Kepulauan Pasifik atau Trust Territory of the Pacific Islands, yang berada di bawah administrasi pemerintahan AS hingga ia menjadi negara berdaulat pada 10 Mei 1979, menandatangani Asosiasi Kerja Sama Bebas atau Compact of Free Association (COFA) dengan Amerika Serikat pada 1982, memulai kembali hubungan yang erat dan unik antara kedua negara. Perjanjian COFA yang diperbarui pada 2003, mengatur hingga FSM telah menerima lebih dari $ 1,5 miliar dalam bantuan ekonomi sejak itu disepakati akan berakhir pada 2023. FSM diperkirakan akan menerima sekitar $ 82 juta sebelum perjanjian COFA selesai.
Desakan untuk merdeka berakar pada rasa skeptis yang dirasakan oleh para pembuat kebijakan Mikronesia tentang manfaat yang diterima Mikronesia berdasarkan perjanjian COFA-nya dengan Amerika Serikat. Duta Besar AS untuk FSM, Robert Riley, berkata COFA tersebut adalah suatu ‘dokumen yang unik’, yang disusun berdasarkan hasil dari Perang Dunia II, dan mengungkapkan bahwa perjanjian itu ‘tidak akan diulang dengan negara lain atau entitas lain di dunia’. Status diplomatik masa depan Chuuk sebagai negara merdeka adalah sumber utama perdebatan ini.
Riley menegaskan bahwa jika Chuuk jadi merdeka, ia akan kehilangan dukungan AS yang penting, yang selama ini diberikan melalui COFA. Tanpa perjanjian COFA, semua dana bantuan AS untuk program-program sosial akan dihentikan, dan keamanan maritim Chuuk akan rentan. Warga negara Chuuk tidak akan lagi memiliki pergerakan bebas keluar masuk perbatasan Amerika Serikat, dan mereka yang hidup, bekerja, dan belajar di Amerika Serikat akan berada dalam ketakpastian hukum dan kemungkinan dikirim kembali ke tanah kelahiran mereka.
Tetapi ketua komite pendidikan publik dari komisi status politik negara bagian Chuuk atau The Chuuk Future Political Status Commission (CSPS), Sabino Asor, menegaskan bahwa “tidak ada prospek yang mendorong Chuuk tetap bergabung dengan Federasi”. CSPS dibentuk oleh badan legislatif FSM. Pada desember 2018, badan legislatif FSM mengesahkan UU baru untuk menunda referendum Chuuk dari 5 Maret 2019 hingga Maret 2020.
UU kontroversial itu juga “menangguhkan CSPC agar tidak melanjutkan fungsinya dalam mendidik publik mengenai gerakan kemerdekaan negara bagian itu”. CSL 14-23 adalah nama UU kontroversial yang diresmikan pada Oktober 2018, oleh legislator Chuuk, tetapi diveto oleh Pejabat Plt Gubernur Chuuk, Marius Akapito. Dikembalikan ke lantai legislatif, RUU CSL 14-23 diberlakukan lagi 6 Desember 2018, karena Badan Legislatif Chuuk mengalahkan veto gubernur itu.
Di bawah pengaturan perjanjian COFA tersebut, militer AS memiliki “akses eksklusif ke wilayah udara dan perairan teritorial FSM”. Perairan teritorial ini, menurut analis pertahanan berpengalaman Derek Grossman, “lebih besar dari benua AS” dan “intinya adalah pusat dari ‘Pasifik’ dari strategi Indo-Pasifik AS”. Akses eksklusif atas perairan ini memungkinkan Amerika Serikat untuk “memperluas kehadirannya ke Laut Cina Selatan dan perairan sekitarnya”. Ini adalah akses eksklusif yang juga diinginkan oleh Tiongkok.
Jika negara bagian Chuuk berhasil mencapai kemerdekaan, ia akan dapat membuat kesepakatan eksklusif dengan Tiongkok. Grossman menambahkan lebih lanjut bahwa, “Washington tentu saja akan berupaya mencegah Tiongkok dari mengakses perairan ini dan lokasi geostrategis lainnya di seluruh Oceania.”
Chuuk adalah daerah yang strategis dari sudut pandang militer; ia memiliki salah satu laguna terdalam di Pasifik, yang merupakan benteng utama angkatan laut Jepang selama Perang Dunia II. Tiongkok sedang mencari cara untuk mendapatkan tempat pijakan yang strategis di wilayah Pasifik, dan telah berupaya untuk memenangkan hati Chuuk, dengan Beijing menyalurkan $ 50 juta kepada China Railway Construction Corporation untuk membangun jalan di Chuuk, serta menyumbang $ 2 juta ke dana perwalian Mikronesia.
Wilayah ini telah menarik perhatian Amerika Serikat dan pada Agustus 2019, Mike Pompeo resmi menjadi Menteri Luar Negeri AS pertama yang mengunjungi FSM. Ia menggunakan kesempatan itu untuk mendesak FSM agar berhati-hati terhadap pengaruh Tiongkok yang terus berkembang dan meluas. Sementara Amerika Serikat dan Tiongkok bersaing untuk memenangkan pengaruh di Pasifik, ketidakpastian masih terus berlanjut hingga Maret 2020, tergantung apakah pemilihan memutuskan kemerdekaan Chuuk akan terjadi, dan jika itu akan terjadi, bagaimana posisi dalam negeri dan geopolitik Chuuk kedepannya. (The Diplomat)
Adam Kiedrowski adalah penulis independen, peneliti, dan analis politik.
Editor: Kristianto Galuwo