Papua No.1 News Portal | Jubi
Nouméa, Jubi – Sekelompok warga negara Kaledonia Baru telah meminta pengadilan administrasi tertinggi Prancis untuk menunda referendum kemerdekaan ketiga dan terakhir yang rencananya akan diadakan pada hari Minggu depan.
Dalam sebuah pengajuan mendesak, 146 pemilih dan tiga organisasi menekankan bahwa mengingat dampak pandemi di sana, tidak masuk akal untuk melakukan plebisit yang begitu penting.
Mereka mengatakan karena penerapan karantina wilayah, upaya untuk berkampanye menjadi terlalu terhambat karena kebebasan-kebebasan dasar pun dibatasi.
Selama berminggu-minggu partai-partai pro-kemerdekaan ini masih belum berhasil melobi Paris untuk menunda referendum, dan mereka sekarang berkeras mereka tidak akan turut mengambil bagian dalam pemungutan suara atau mengakui hasilnya.
Mereka juga mengatakan akan menantang proses tersebut di PBB.
Negara Prancis, yang menganggap pandemi sudah dibawah kendali, pekan lalu menerbangkan hampir 250 hakim dan pejabat kehakiman untuk mengawasi pemungutan suara untuk menentukan nasib politiknya pada hari Minggu. Prancis juga menerbangkan sekitar 2.000 anggota polisi tambahan, termasuk tim anti-huru-hara, sebagai pengamanan selang referendum.
Seperti dilansir dari Pacific Beat, pemimpin-pemimpin Pasifik juga telah menyuarakan keprihatinan mereka dan mendukung desakan untuk menunda referendum, termasuk mantan Perdana Menteri Tuvalu Enele Sopoaga.
“Sebagai seorang pemimpin, mantan Perdana Menteri dan Ketua Forum Kepulauan Pasifik (PIF), saya percaya bahwa kita harus menunda, kita perlu menunda referendum mungkin hingga tahun 2022,” tegas Sopoaga kepada Pacific Beat.”
Perdana Menteri Vanuatu juga telah menyampaikan keprihatinannya kepada Duta Besar Prancis di Port Vila sementara Melanesian Spearhead Group melobi untuk mengubah jadwal tersebut. Lebih dari enam puluh pakar Kaledonia Baru juga telah menyurati surat kabar Prancis Le Monde, mendesak Paris untuk menunda referendum. (RNZ Pacific)
Editor: Kristianto Galuwo