Papua No. 1 News Portal | Jubi
Bougainville, Jubi – Lebih dari 200.000 orang pergi ke tempat pemungutan suara Sabtu (23/11/2019) ini di beberapa pulau utama di Bougainville. Hasilnya bisa menjadi pembentukan negara baru di lepas pantai timur laut Queensland.
Rakyat di provinsi Otonom Bougainville diperkirakan akan memberikan suara sangat besar untuk lepas (merdeka) dari Papua New Guinea (PNG) dalam referendum kemerdekaan yang telah lama ditunggu-tunggu. Namun sebagian juga tampak khawatir akan hasil referendum.
Referendum juga diselenggarakan di ibukota PNG, Port Moresby, Canberra dan bahkan Beijing yang sekian lama telah mencari kawasan untuk berkolaborasi di Pasifik Selatan.
Annmaree O’Keeffe dari think tank The Lowy Institute mengatakan bahkan jika Bougainville memilih kemerdekaan, ada keraguan provinsi itu memiliki sarana untuk berhasil memerintah sendiri mengingat masih dalam pemulihan dari perang saudara yang berdarah-darah.
“Bougainville harus melakukan upaya besar untuk mempersiapkan kemerdekaan dan untuk menangkis pertanyaan dari masyarakat internasional tentang kelayakan dan keberlanjutan negara pulau kecil terbaru,” kata O’Keeffe minggu ini.
Terletak 1500 kilometer dari Queensland, Provinsi Otonomi Bougainville secara fisik dan ekologis memang berbeda dari PNG. Bougainville terletak jauh dari daratan PNG. Di sebelah tenggara berbatasan dengan pulau yang lebih besar Britania Baru dan di utara Kepulauan Solomon. Beberapa orang Bougainville bahkan menyukai sebutan Solomon Utara.
Kepulauan ini tidak besar. Dengan ukuran lebih dari 9000 kilometer persegi, Bougainville adalah setengah dari ukuran Fiji dan delapan kali luas Tasmania.
Tetapi 250.000 orang Bougainville berhasil mengelola pulau utama dan Buka di utara.
Bulan lalu Perdana Menteri PNG James Marape memberi selamat kepada mereka yang membantu melaksanakan referendum tetapi menegaskan kembali bahwa hasilnya “tidak mengikat”, lapor surat kabar Post Courier.
Bahkan jika Port Moresby memberi lampu hijau untuk kedaulatan, mencapainya akan menjadi perjuangan, menurut Ms O’Keeffe.
“Bougainville akan terus berjuang untuk menemukan pendanaan dan sumber daya manusia yang diperlukan untuk membangun standar dari struktur administrasi yang dibutuhkan negara berdaulat, termasuk perbendaharaan, peradilan, pertahanan, dan imigrasi, sambil terus membangun kembali pendidikan, kesehatan, kepolisian, dan transportasi ,” lanjut O’Keeffe.
Dia juga menjelaskan bahwa trauma perang sipil yang telah menyebabkan begitu banyak pertumpahan darah di Bugainville tetap ada dan setiap pemerintah baru harus menyembuhkan mereka untuk memastikan keberhasilan negara itu.
Namun rakyat Bougainville meyakini bahwa mereka bisa bangkit dan memenuhi harapan dunia.
Justina Panu, seorang pemilih dari Arawa, mengatakan ia sangat senang Presiden Provinsi Otonom Bougainville, John Momis melaksanakan haknya sebagai pemilik suara. Demikian pula Janet Chigoto, dari Buin yang mengibarkan bendera Bougainville.
“Kami bangga dan bahagia. Waktunya telah tiba bagi kami untuk memilih apa yang telah kita tunggu-tunggu. Darah telah mengalir di pulau kami. Kami ingin kekuatan kami sendiri untuk menjalankan negara kami,” kata keduanya.
Selama dua minggu ke depan, setiap orang di atas usia 18 tahun memiliki opsi untuk meminta otonomi yang lebih besar di Papua Nugini, atau kemerdekaan penuh. Voting akan dilakukan di kota-kota dan kawasan tertentu di sekitar pulau Buka dan daratan Bougainville.
Baca Referendum Bougainville : Cara Melanesia tangani konflik bersenjata
Tanya Okia dari Kieta, pemilih remaja berharap bahwa generasinya akan melihat Bougainville yang bebas dan mandiri.
“Bougainville akan bangkit. Saya dan 365 pemuda lainnya di sini, kita semua menginginkan kemerdekaan,” kata Tanya.
Demikian pula John Momis. Setelah memberikan suaranya di Buka, ia mengatakan Beugainville sedang berdiri di ambang tatanan sosial-ekonomi dan politik baru.
Rakyat Bougainville adalah perintis jalan dengan tekad bulat untuk menghadapi setiap tantangan yang menghadang. Bougainville akan menghadapi tantangan itu bersama sebagai kesatuan dan satu suara untuk menentukan masa depan politik mereka.
Ia mengingatkan rakyat Bougainville bahwa referendum hanyalah satu langkah dari sebuah proses panjang yang membutuhkan kesabaran.
“Kita tidak boleh terburu-buru, kita harus meluangkan waktu untuk memastikan hasil yang baik,” katanya, sambil menambahkan bahwa hasil akhir mungkin “bisa lima tahun kedepan”
Momis ditemani ke tempat pemungutan suara oleh Puka Temu, menteri PNG untuk urusan Bougainville.
Hasil referendum akan dirilis sekitar 15 Desember. Jika rakyat Bougainville memilih kemerdekaan, keputusan itu akan membutuhkan ratifikasi dari parlemen PNG. Kegelisahan memang ada, bahwa Bougainville dapat menjadi preseden dan memacu gerakan kemerdekaan lainnya dalam negara yang beragam suku. Tetapi penolakan akan beresiko menyalakan kembali perselisihan sebelumnya dan mengabaikan proses perdamaian.
Mauricio Claudio, dari Komisi Referendum Bougainville menggambarkan jumlah pemilih pada hari Sabtu sebagai ‘sangat baik’, yang menurutnya bagus untuk sisa proses referendum.
Ia juga menegaskan bahwa surat suara dari berbagai daerah akan digabungkan untuk menghilangkan risiko bocornya informasi pemilih.
“Ini untuk memberikan jaminan kepada pemilih bahwa mereka tidak akan menghadapi resiko bocornya informasi tentang pilihan mereka atau,” kata Claudio.
Sejak penjelajah Perancis Louis de Bougainville tiba di kepulauan yang dikelilingi pohon palem lebih dari 200 tahun yang lalu, kontrol beralih dari Jerman ke Australia, Jepang dan PBB sebelum administrasi diserahkan ke Port Moresby.
Namun wilayah tersebut secara historis memiliki kedekatan yang lebih dekat dengan Kepulauan Solomon yang berdekatan dengan Papua Nugini. (*)