Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Pemerintah Kabupaten Nabire, Papua menargetkan 91.361 orang dari total 169.138 penduduk akan divaksin Covid-19. Namun realisasi saat ini sangat jauh dari target. Hingga Sabtu, 24 Juli 2021 penduduk yang divaksin baru 18.919 orang (20,71 persen) untuk dosis pertama. Di antaranya yang sudah dosis kedua 8.083 (8,85 persen).
Kepala Seksi Survailans dan Imunisasi Dinas Kesehatan Nabire Tri Jiko mengatakan ada beberapa faktor masih sedikitnya orang yang divaksin. Di antaranya ada yang masih takut atau tidak mau divaksin dan ada yang tidak memenuhi syarat kesehatan saat ‘screening’ (konsultasi).
“Capaian vaksinasi masih kurang, harusnya di atas 70 persen,” katanya ketika dikontak Jubi dari Nabire, Minggu, 25 Juli 2021.
Ia mengatakan sosialisasi masih terus dilakukan, baik melalui media massa maupun saat pelaksanaan vaksinasi dan melalui puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan.
Menurut Tri Jiko saat ini stok vaksin yang dimiliki Dinkes Nabire sekitar 100 dosis. Sedangkan vaksin pada TNI dan Polri masih ada, namun ia belum mendapatkan laporan jumlahnya.
BACA JUGA: Pelajar kepada Presiden: setelah pelajar divaksin apakah belajar tatap muka?
“Saat ini kami juga sedang mengajukan permintaan vaksin,” ujarnya.
Tri Jiko berharap agar masyarakat bersedia divaksin untuk kepentingan pribadi dan orang-orang di sekitarnya. Sebab, katanya, dengan divaksin tubuh mempunyai antibodi terhadap virus yang masuk ke tubuh.
“Walaupun tidak 100 persen setelah divaksin akan terbebas, namun paling tidak mengurangi resiko terpapar,” ujarnya.
Tri Jiko menjelaskan 18.919 orang dosis pertama dan 8.083 dosis kedua di Nabire yang sudah divaksin, di antaranya tenaga kesehatan (1.276 dosis pertama dan 1.169 dosis kedua), ASN/TNI/Polri (10.501 dosis pertama dan 6.705 dosis kedua), lansia (573 dosis pertama dan 163 dosis kedua), masyarakat umum (5.344 dosis pertama dan 46 dosis kedua), dan remaja 12-17 tahun (1.225 dosis pertama dan 0 dosis kedua).
Sekretaris Suku Besar Yerisiam Gua, Hobertino Hanebora mengatakan hadirnya vaksinasi masih sangat membingungkan masyarakat, terutama dengan munculnya pemberitaan, baik di media sosial maupun media massa, yang ikut memprovokasi keadaan dengan menyebar hoaks (berita palsu).
“Kalau saya, vaksin untuk meningkatkan kekebalan tubuh dari serangan covid, agar orang kebal maka perlu sosialisasi, sebab sampai hari ini pemerintah hanya mewajibkan masyarakat untuk divaksin tanpa memberikan pandangan dan pemahaman yang baik kepada masyarakat,” katanya.
Pemahaman itu, lanjutnya, seperti apa efek atau kekurangan ketika vaksin masuk ke dalam tubuh seseorang. Sebab, juga ada kabar yang menyebutkan orang meninggal pasca divaksin, reaksi tambahan lain, atau pengaruh penyakit lain ketika divaksin.
“Apalagi masyarakat sebelumnya mengenal yang disebut angka 666, bahkan vaksin dianggap sebagai sebuah upaya untuk mendata dan mengontrol aktivitas manusia,” ujarnya.
Apalagi, kata Hanebora, elit negara ada yang gencar mengimbau masyarakat untuk divaksin, sementara ada pula yang bahkan tidak percaya dan membangun narasi-narasi anti vaksin. “Akibatnya sebagian rakyat masih bimbang dan tak mau divaksin,” katanya.
Karena itu, kata Hanebora, sosialisasi sangat diperlukan tentang efek samping dan menepis pandangan yang berkembang di tengah masyarakat tentang dampak buruk yang akan terjadi setelah divaksin.
“Hari ini yang terjadi adalah orang takut divaksin karena berita-berita yang tidak jelas dan tidak adanya sosialisasi, kami di Kampung Sima, Nabire belum divaksin dan masyarakat sangat percaya bahwa alam sangat berpengaruh terhadap kesehatan mereka, karena masyarakat kampung tidak tahu apa sebenarnya vaksin dan tujuannya,” ujarnya.
Sekretaris Suku Wate Kampung Oyehe, Nabire, Kurios B. Duwiri mengatakan sudah divaksin dan tidak mengalami kelainan seperti informasi-informasi yang berkembang. Namun, katanya, tentu setiap orang berbeda-beda reaksinya setelah menerima vaksin, terutama reaksi pasca suntikan.
“Tentu semua orang bebas beropini tentang apa yang dipahaminya setelah membaca berita dan informasi,” ujarnya.
Terkait ada pandangan kurangnya sosialisasi, menurut pengamatan Duwiri, Pemkab Nabire sudah melakukan sosialisasi atau penetrasi melalui puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat.
Namun dengan beredarnya informasi yang kurang bertanggung jawab di media sosial, menurutnya jika memungkinkan pemerintah lebih gencar melakukan sosialisasi dan pemahaman melalui medsos. Hal itu untuk menanamkan informasi yang benar kepada masyarakat agar tidak ada pandangan negatif.
“Kalau ada yang bilang nanti mati setelah divaksin, maka menurut saya simpel saja, divaksin mati dan tidak divaksin pun nanti mati, jadi kalau orang nanti mati setelah divaksin maka mungkin itu sudah waktunya mati,” katanya.
Ketua Klasis Gereja Kingmi Nabire, Pendeta Mordekhai Oilla, S.Th mengatakan setiap peristiwa dan perkembangan di muka bumi selalu dihubung-hubungkan dengan angka 666 tanpa penafsiran alkitab yang jelas.
Terkait medis, katanya, vaksinasi tahap pertama di Indonesia sudah 40 juta dan vaksin kedua 20 juta.
“Persentasenya berapa orang yang bermasalah atau mengalami reaksi negatif, seperti meninggal atau efek lain? Mungkin saja terjadi namun jika dipersentasekan tidak banyak. Artinya vaksin sebenarnya aman secara medis,” ujarnya. (*)
Editor: Syofiardi