Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
RATUSAN izin pemanfaatan lahan di wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat diindikasi bermasalah.
Juru Bicara Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tata Ruang Papua (KMSTRP) dan Koalisi Peduli Ruang Hidup Papua Barat (KPRHPB), Yosep Watofa, mengatakan banyak izin pertambangan, perkebunan sawit, dan kehutanan yang bermasalah, tumpang-tindih dengan kawasan lindung, antarkonsesi, dan tidak memenuhi kewajibannya kepada negara.
"Praktik semacam itu berpotensi menimbulkan kerugian bagi negara dan mengakibatkan konflik vertikal maupun horizontal," ujar Watofa, di Manokwari.
Provinsi Papua dan Papua Barat masing-masing telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Papua dan Perda Nomor 14/2013 tentang RTRWP Papua Barat.
Berdasarkan dua perda itu, kata dia, total luas kawasan lindung yang meliputi hutan lindung dan konservasi di Tanah Papua mencapai 22,9 juta hektare atau 53,80 persen dari luas wilayah dua provinsi tersebut.
Hasil analisis spasial melalui metode tumpang susun (overlay) yang dilakukan KMSTRP dan KPRHPB menunjukkan bahwa terdapat 162 izin industri berbasis lahan tumpang-tindih dengan kawasan hutan lindung.
Dari jumlah tersebut, 102 berupa izin pertambangan, 25 izin perkebunan sawit, dan 35 lainnya berupa izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA) dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI).
Total luas lahan yang bermasalah terhadap kawasan lindung tersebut mencapai 2,6 juta hektare atau 11,43 persen dari 22,9 juta hektare total kawasan lindung di dua provinsi tersebut.
Di kawasan lindung tersebut, katanya lagi, dari 102 izin tambang, tumpang-tindih dengan hutan lindung seluas 1,6 juta hektare dan tumpang-tindih dengan kawasan konservasi seluas 799.500 hektare.
Untuk perkebunan sawit, dari 25 izin perkebunan sawit, seluas 33.600 hektare di antaranya tumpang-tindih di hutan lindung dan seluas 12.700 hektare tumpang-tindih dengan kawasan konservasi.
Untuk industri kehutanan, seperti IUPHHKA-HA dan IUPHHK-HTI, terdapat 35 izin tumpang-tindih dengan hutan lindung seluas 94.100 hektare dan tumpang-tindih dengan kawasan konservasi seluas 48.300 hektare.
Menurut dia, meskipun belum seluruh izin pertambangan, perkebunan sawit, dan kehutanan beroperasi, terbitnya izin-izin ini membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran izin di kawasan lindung.
"Ini melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam Pasal 24 dan Pasal 26 disebutkan bahwa pemanfaatan hutan lindung hanya dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK)," katanya.
Selain itu, lanjut Watofa, tumpang-tindih izin di kawasan konservasi ini juga bentuk pelanggaran terhadap UU No. 5/1990 tentang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem, terutama Pasal 19 dan Pasal 33.
Mendukung moratorium sawit dan tambang
Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan, berkomitmen mendukung moratorium izin pembukaan lahan kelapa sawit dan pertambangan.
Ia mengatakan instruksi pemerintah pusat telah melalui proses pertimbangan matang. Provinsi Papua Barat menyambut positif penghentian sementara izin baru aktivitas sektor perkebunan dan pertambangan tersebut.
Ia juga memastikan tidak ada izin baru selama pemerintah pusat belum mencabut moratorium tersebut.
"Konsekuensinya sangat jelas, kita akan berhadapan dengan hukum kalau melanggarnya. Untuk itu kami tidak akan mengambil risiko tersebut," kata Mandacan.
Dia mengakui Papua Barat masih membutuhkan dukungan investor untuk membangun daerah. Meskipun demikian, pihaknya akan tetap mematuhi kebijakan pusat.
"Pada sisi lain ini sejalan dengan arah kebijakan pembangunan di Papua Barat, sebagaimana kita sudah mencanangkan sebagai provinsi konservasi," ujarnya.
Belum lama ini Pemprov Papua Barat menandatangani nota kesepahaman kerja sama bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pengawasan sumber daya alam di daerah tersebut.
Ia menyebutkan KPK telah menyiapkan rencana aksi gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam. Papua Barat menjadi salah satu daerah yang menjadi target pengawasan KPK.
Penandatanganan rencana aksi penyelamatan sumber daya alam di Provinsi Papua Barat dilaksanakan di Manokwari pada 20 September 2018.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Syarif, pada kesempatan itu menyebutkan potensi SDA di wilayah Papua Barat merupakan sektor yang rentan tindak pidana korupsi.
Sektor kehutanan, pertambangan, perkebunan, kelautan, serta perikanan menjadi lahan empuk bagi oknum pelaku korupsi.
"Mereka sangat paham bahwa sumber daya alam di Tanah Papua melimpah dan mudah dikorupsi, sehingga kita perlu rencana aksi bersama untuk melakukan penyelamatan," katanya. (*)