Papua No. 1 News Portal | Jubi
Nabire, Jubi – Parlemen Inggris belum lama ini membicarakan situasi rasisme yang dihadapi oleh orang Papua di Indonesia. Situasi rasisme terhadap orang asli Papua itu disampaikan oleh Ketua All-Party Parliamentary Group untuk West Papua, Alex Sobel, saat parlemen Inggris mengadakan diskusi Black History.
Sobel mengatakan penindasan terhadap orang West Papua di bawah pemerintahan Indonesia jarang diungkap oleh lembaga akademis atau sekolah di Inggris. Ia juga mengatakan gerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat telah beresonansi dengan apa yang dirasakan orang Papua, yang kemudian menggunakan slogan “Papuan Lives Matter”.
“Para pengkampanye West Papua telah seringkali menjelaskan rasisme institusional Indonesia terhadap orang Papua Barat. Misalnya, kasus mahasiswa Papua yang diserang di [Surabaya], kota terbesar kedua di Indonesia, dan disebut ‘monyet’,” kata Sobel sebagaimana dikutip dari RNZ Pasific.
Ia juga menjelaskan bagaimana aparat penegak hukum merespon tindakan rasis terhadap para mahasiswa Papua itu. “Polisi yang mengepung asrama mahasiswa Papua, dan menembakkan gas air mata ke asrama mereka. [Situasi] itu, dan banyak insiden rasisme lainnya, akan mengingatkan banyak kolega saya di sini, bagaimana hal serupa juga dialami komunitas kulit hitam di Inggris, dan bagaimana mereka diperlakukan di masa lalu,” ujar Sobel.
Baca juga: Rasisme dan Diskriminasi sudah menjadi “nada dasar pembangunan Papua” sejak 1960an
RNZ Pasific juga melansir pernyataan juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Sade Binantara yang mengungkapkan bahwa rasisme terhadap orang Papua sebagai tindakan yang terisolasi. Bimantara mengatakan setidaknya salah satu pelaku pelecehan rasis dalam insiden Surabaya itu telah divonis dan dipenjara.
Namun Sobel mengatakan kepada para anggota parlemen Inggris bahwa orang Papua yang tinggal, belajar, dan bekerja di wilayah Indonesia selain Papua masih terus menghadapi diskriminasi.
“The Jakarta Post tahun lalu membahas orang Papua yang tinggal di Yogyakarta yang kesulitan mendapat rumah kos. Di beberapa kasus pemilik kos setuju menyewakan tempatnya saat berbicara di telepon, namun membatalkan persetujuan itu saat tahu bahwa calon penyewa adalah orang Papua,” kata Sobel.
Sobel mengatakan All-Party Parliamentary Group di West Papua akan terus meningkatkan dukungan dan tekanan parlemen Inggris untuk penentuan nasib sendiri West Papua.
Di pihak lain, Bimantara tetap membantah bahwa kasus-kasus seperti bukan fenomena yang meluas, dan sama sekali tidak mencerminkan kebijakan pemerintah. Bimantara mengklaim pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan afirmatif yang sangat kokoh dan kuat di Papua.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G