Raperdasus Perekonomian berbasis kerakyatan bukan satu-satunya solusi

Mama-mama Papua di Manokwari, Papua Barat menjajakan jualannya di pinggir jalan - Jubi/Hans Arnold Kapisa
Mama-mama Papua di Manokwari, Papua Barat menjajakan jualannya di pinggir jalan – Jubi/Hans Arnold Kapisa

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Papua Barat sedang memproses pembuatan Ranperdasus tentang ekonomi berbasis kerakyatan. Ranperdasus disebut dibutuhkan sebagai payung hukum keberpihakan kepada peningkatan ekonomi orang asli Papua.

Read More

UPAYA Pemerintah Provinsi Papua Barat menyejahterakan masyarakat asli Papua di bidang ekonomi kembali digagas melalui Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdsasus) Ekonomi Berbasis Kerakyatan yang diproses Dinas Sosial Papua Barat.

Upaya ini menuai berbagai pendapat. Sejumlah pihak justru khawatir nasib Raperdasus tersebut akan sama dengan Raperdasus lainnya, karena hingga saat ini belum mampu diimplementasikan oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat sampai ke tingkat kabupaten dan kota.

Yuliana Numberi, aktivis ekonomi perempuan Papua di Manokwari, mengatakan ada nilai positif dari upaya pembuatan regulasi hukum melalui raperdasus tersebut untuk meningkatkan ekonomi masyarakat Papua di wilayah Papua  Barat, namun ia mengajak Dinas Sosial Papua Barat tidak jalan sendiri dengan kapasitas program pemerintah pusat. Tapi perlu juga merangkul aktivis ekonomi, baik dari kalangan akademisi maupun dari perwakilan lembaga swadaya masyarakat.

“Raperdasus tentang perekonomian berbasis kerakyatan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat asli Papua itu kan merupakan usulan Dinas Sosial Papua Barat, sudah tentu poin-poin dalam ranperdasus itu akan mengikuti irama program nasional,” katanya kepada  Jubi di Manokwari, Selasa, 16 Juli 2019.

Ia berharap Dinsos Papua Barat bisa melibatkan aktivis ekonomi dari akademisi atau LSM, bila perlu dari mama-mama Papua sendiri untuk memboboti raperdasus tersebut.

“Sehingga aturan di dalam perdasus itu tidak didominasi program nasional, tapi lebih spesifik dan menyentuh akar permasalahan ekonomi masyarakat Papua,” ujarnya.

Jika kemudian raperdasus tersebut berproses, kata Numberi, maka Dinsos Papua Barat agar dapat mempresentasekan indikator penyebab kemiskinan di Papua Barat.

“Hal itu harus didiskusikan lebih dulu, karena kategori masyarakat miskin di Papua Barat itu seperti apa,” katanya.

Sebab jika hanya mengikuti data BPS (Badan Pusat Statistik) maka tidak bisa dipakai mengingat regulasi ekonomi yang hendak didorong khusus untuk kesejahteraan masyarakat Papua.

“Indikator miskin, jika pakai data BPS, itu adalah data umum, maka saya pikir Dinsos sebaiknya tunggu hasil sensus Orang Asli Papua (OAP), hasilnya itu yang dapat dipakai dalam indikator tentang jumlah kemiskinan OAP,“ ujarnya.

Numberi mengatakan saat ini progam Dinas Sosial yang gencar dilakukan adalah pembangunan pondok-pondok jualan bagi mama-mama Papua di Manokwari dan beberapa kabupaten/kota lainnya.

Meski telah berjalan, namun masih belum efektif karena sampai saat ini masih banyak mama Papua yang berjualan tanpa menggunakan meja di pasar maupun di pinggir jalan.

“Bagi saya program yang ada mending diefektifkan dulu, pemberian fasilitas sudah baik tapi perlu adanya pembinaan lanjutan sehingga mama Papua saat menggunakan fasilitas yang ada tidak terfokus pada jualan pinang atau sayuran, mereka bisa kreatif dengan menjual berbagai produk olahan, inipun belum berjalan efektif,” katanya.

Menyoal fasilitas penunjang dalam peningkatan ekonomi bagi masyarakat Papua, Pemerintah Papua Barat dan Pemkab Manokwari telah memberikan bantuan kepada mama-mama Papua dalam bentuk modal usaha dan fasilitas lainnya. Namun belum merata karena data pedagang asli Papua di Papua Barat belum tersedia.

Sementara itu Mama Maria Turot penjual pinang di Manokwarri mengaku belum mendapatkan bantuan fasilitas dari pemerintah. Mama Maria terpaksa menjajakan pinang di pinggiran jalan beralas karung plastik.

“Tahun lalu (2018) ada pendataan, tapi saya terlambat daftar karena baru dapat kabar dari mama-mama penjual pinang lainnya,” ujar Mama Maria Turot kepada Jubi di Manokwari.

Menurut mama Turot, jika pemerintah hendak membuat peraturan untuk meningkatkan ekonomi orang Papua, maka hal itu harus dibuktikan.

“Jangan hanya nama masyarakat yang disebut-sebut tapi bukti nyata programnya tidak sampai ke masyarakat,” ujarnya.

Perempuan kelahiran Ayamaru 1960 itu mengatakan jualan pinang telah digeluti selama 12 tahun, tapi hasilnya untuk kebutuhan sehari-hari. Dia tidak punya tabungan khusus, tapi dengan jualan pinang bisa memenuhi kebutuhan makan dan minum sehari-hari.

“Saya jualan pinang sudah lama, kalau siang saya jualan di Pasar Missi di komplek Brawijaya, sore sampai malam saya jualan di pasar Borobudur,” ujarnya. Pasar Borobudur salah satu pasar dadakan di Manokwari.

Sebelumnya, Kepala Dinas Sosial Papua Barat Lasarus Indou mengatakan angka kemiskinan di Papua Barat masih cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) kasus kemiskinan di Papua Barat didominasi orang asli Papua.

“Kita butuh payung hukum yang mengatur lebih teknis tentang upaya pemberdayaan masyarakat asli Papua di bidang ekonomi, sudah ada Undang-Undang Otonomi Khusus, maka selanjutnya kita juga harus punya Perdasus,” katanya seperti dikutip Antara.

Terkait penyusunan Raperdasus tersebut, Lasarus Indou telah pemaparan sejak 10 Juli 2010 materi berjudul “Optimalisasi Tata Kelola Perekonomian Berbasis Kerakyatan dalam

Mewujudkan Kesejahteraan Bagi Orang Asli Papua”. Materi tersebut juga akan dilakukan pada program Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I.

“Sebagai awal sudah saya sosialisasikan kepada beberapa elemen, termasuk masyarakat,” katanya.

Menurutnya, masyarakat membutuhkan regulasi tersebut sebagai bentuk keberpihakan pemerintah daerah kepada mereka. (*)

Editor: Syofiardi

Related posts

Leave a Reply