Ramai-ramai menolak kemerdekaan Catalonia

Papua No. 1 News Portal I Jubi
 

Barcelona, Jubi – Ratusan ribu warga di ibu kota Catalonia, Barcelona, berdemonstrasi menolak upaya pemisahan diri dari Spanyol setelah referendum kemerdekaan digelar pada 1 Oktober lalu.

Kerumunan yang oleh polisi diperkirakan mencapai 350 ribu itu turun ke jalan melambaikan bendera Spanyol dan Catalan sambil membawa spanduk bertuliskan "Catalonia adalah Spanyol" dan "Bersama kita lebih kuat".

"Kami merasa sebagai orang Catalan dan juga Spanyol. Kami menunggu dan menghadapi hal yang tidak pasti saat ini. Namun, kami harus bersuara dengan lantang sehingga mereka tahu apa yang benar-benar warga inginkan," kata Araceli Ponze, 72, salah satu pengunjuk rasa, seperti dikutip Reuters, Senin (9/10).

Unjuk rasa akhir pekan itu diinisiasi oleh kelompok anti-kemerdekaan Catalan Civil Society. Para pedemo itu menyebut diri mereka sebagai "kelompok mayoritas yang selama ini diam" dan menolak referendum.

Sejumlah pemrotes bahkan menyerukan agar Presiden Catalonia, Carles Puigdemont, dipenjara karena telah menggelar referendum yang tidak sah dan melanggar konstitusi negara.

Sebagian lainnya mendorong pemerintahan Perdana Menteri Mariano Rajoy dan pemimpin Catalonia untuk segera berdialog menyelesaikan krisis.

Upaya separatis ini dianggap memicu krisis politik terburuk di Spanyol dalam beberapa dekade terakhir.

"Banyak warga Catalan yang tidak ingin kudeta yang dilakukan oleh pemerintah daerah," ucap seorang peraih Nobel, Mario Vargas Llosa, yang ikut berdemonstrasi.

Tak hanya Barcelona, demonstrasi juga berlangsung di 50 kota lainnya, termasuk Madrid. Ribuan orang berpakaian serba putih berkumpul sambil membawa spanduk berisikan seruan perdamaian dan dialog antara pemerintah pusat dan pemerintah Catalonia.

"Krisis ini memicu perpecahan sosial di Catalonia dan harus segera diselesaikan melalui dialog, tidak boleh melalui unilateralisme," ujar Jose Manuel Garcia, seorang ekonom yang ikut berdemo.

"Saya sangat khawatir krisis ini akan berakhir buruk dan semua warga akan kehilangan," katanya.

Di sisi lain, pemimpin nasionalis Catalonia berkeras akan mendeklarasikan kemerdekaan setelah parlemen regional kota itu menyetujui dan mengesahkan undang-undang proses kemerdekaan.

Puigdemont bahkan berencana menemui parlemen Catalonia pada Selasa (10/10) besok.

"Kami akan menerapkan apa yang dikatakan undang-undang [dari parlemen] tersebut," ucap Puigdemont.

Hingga saat ini, belum ada komunikasi mau pun dialog antara pemerintah pro-kemerdekaan Catalonia dan pemerintah pusat.

PM Rajoy berkeras menolak mengakui referendum kemerdekaan yang diklaim mendapat dukungan 90 persen warga Catalan itu. Ia juga menolak berdialog jika Puidgemont tidak mau membatalkan referendum tersebut.

Rajoy bahkan tidak menutup kemungkinan mempergunakan hak konsitutusional untuk mencabut status otonomi Catalonia jika wilayah itu terus menuntut kemerdekaan.

Sementara itu, Pemerintah Perancis melalui Menteri Urusan Eropa Nathalie Loiseau, juga menegaskan bahwa mereka tidak akan mengakui Catalonia jika wilayah otonomi Spanyol tersebut secara terpisah menyatakan kemerdekaan.

"Jika nanti ada pernyataan kemerdekaan, maka itu adalah sepihak dan tidak akan diakui," kata Loiseau dalam sebuah pernyataan di stasiun televisi CNews.

Catalonia yang memiliki bahasa dan budaya sendiri, serta dipimpin oleh pemerintah otonomi yang pro-kemerdekaan, menyelenggarakan referendum pada 1 Oktober lalu, sebuah tindakan yang oleh pemerintah Spanyol dinyatakan illegal.

"Catalonia tidak bisa ditentukan hanya melalui pemungutan suara oleh gerakan kemerdekaan hanya seminggu lalu," kata menteri junior Perancis itu.

"Krisis ini harus diselesaikan melalui dialog oleh seluruh tingkat politik Spanyol," katanya.

Keputusan yang tergesa-gesa mengakui pernyataan kemerdekaan sepihak tersebut akan membuat Prancis lari dari tanggung jawab.

"Jika kemerdekaan diakui dan bukan merupakan hal yang sedang dibahas, maka konsekuensi pertama adalah (Catalonia) secara otomatis meninggalkan Uni Eropa," katanya menambahkan.(*)

Sumber: CNN Indonesia/Antara

 

Related posts

Leave a Reply