Quo Vadis orang Marind Buti, wacana Provinsi Papua Selatan

Pelabuhan nelayan membutuhkan nelayan terampil otomatis nelayan lokal tersisih. -Jubi/dam
Pelabuhan untuk nelayan membutuhkan nelayan terampil, otomatis nelayan lokal tersisih. -Jubi/dam

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi- Sore itu, Kamis 19 Desember 2019, puluhan warga Kota Merauke menyaksikan keindahan terbenamnya matahari di Pantai Lampu Satu, Kota Merauke. Tak ada satu pun pondok-pondok wisata milik penduduk asli orang Marind Buti. Hanya kelihatan perahu perahu nelayan dan kapal motor kayu sedang dikerjakan para tukang asal Bulukumba, Sulawesi Selatan berjejer rapih di pinggir pantai.

Read More

Ke mana para nelayan orang-orang Marind Buti, berangsur-angsur mereka mulai beralih profesi menjual pasir-pasir untuk menimbun dan juga membangun perumahan di Kota Merauke. Itu yang pemerintah sebut galian C material pasir untuk campuran semen.

Meskipun ada nelayan tradisional Marind di Kampung Njawati, Kelurahan Samkai Kabupaten Merauke, Papua, masih setiap musim panas menjaring udang. Kalau warga menjaring selama tiga jam hanya setengah kilogram, berbeda kalau musim udang pasti mencapai lima kilogram. Perlahan kebiasaan melepas jaring pun mulai ditanggalkan.

Tak heran kalau permukaan lahan-lahan di permukiman orang-orang Buti mulai berlobang-lobang akibat galian pasir. “Dulu sekitar 1970 an masih ada orang-orang Marind Buti berjualan ikan, udang dan kelapa. Orang-orang tua naik sepeda jalan keliling Kota Merauke bawa kelapa untuk dijual,” kata Ketua Lembaga Masyarakat Adat Marind Imbuti (Buti) Xaverius Bavo Gebze kepada Jubi, Rabu (18/12/2019).

Dia menambahkan peubahan pesat mulai terjadi pasca-2010, semua pohon-pohon kelapa milik warga mulai roboh satu persatu demi pembangunan dan telah lepas kepada pemilik lain. “Mau mencari ikan dan udang sudah tidak mungkin lagi perahu-perahu dan kapal motor nelayan dari luar sudah memadati laut dan pantai. Sulit untuk mereka mencari ikan lagi,” katanya.

Pengusaha lokal suku Marind, Herry Ndiken, mengakui kalau orang Marind Buti pemilik tanah adat Kota Merauke sudah tak punya tanah tanah adat lagi sudah habis dilepas karena kebutuhan hidup dan tekanan ekonomi.

Hal senada juga dikatakan Pius Cornelis Manu, Pr pastor Paroki St Michael Kudamati Merauke jauh sebelum reformasi kota berjuluk Kota Rusa ini adalah kota tua peninggalan Belanda. “Kampung tua jaman Belanda, tetapi begitu Otonomi Khusus Papua dan otonomi di seluruh Indonesia banyak sekali perubahan terjadi mulai dari infrastruktur dan banyak orang datang tanpa terbendung,” katanya kepada Jubi, Selasa (17/12/2019), di Merauke.

Sebenarnya lanjut dia pemekaran di Papua bukan sesuatu yang baru pertama pemerintah mulai melakukan penggabungan kampung menjadi desa. “Karena kampung kampung sudah banyak dibentuk lagi kepala distrik. Bahkan kepala distrik dan kemudian dibangun ada kabupaten yang amat tergantung pada APBN karena tidak ada PAD. Jadi apa yang sebenarnya kita cari dengan pemekaran provinsi Papua Selatan,” katanya.

Menanggapi respons wacana pendirian Provinsi Papua Selatan, Vikaris Jedneral (Vikjen) Wakil Uskup Keuskupan Agung Merauke, Hendrikus Kariwob, MSc mengaku mendukung upaya pemekaran Papua Selatan yang pertama kali digagas mantan Bupati Merauke Jhon Gluba Gebze. “Pemekaran ini diawali dengan Kabupaten Merauke menjadi Mappi, Boven Digoel dan Asmat,” katanya kepada Jubi, Rabu (18/12/2019), di Kantor Keuskupan Merauke seraya menambahkan sebagai pribadi, anak adat dan juga Vikjen mendukung upaya brilian dari mantan Bupati Merauke ini.

Walaupun dia mengakui ada sedikit umat juga yang menolak termasuk beberapa mahasiswa tetapi ini peluang yang harus disambut baik.” Biar nanti anak cucu yang menerima manfaat bagi masa depan mereka,” katanya.

Lalu bagaimana dengan kehidupan masyarakat asli Kota Merauke, suku Marind Buti, pertama sebagai Vikjen harus melihat masalah sosial dan umat secara keseluruhan di Papua Selatan.

Namun pihaknya terus berusaha agar ada perubahan mental bagi orang Marind Buti bisa berubah ke arah yang lebih baik.” Bagaimana mengubah masyarakat dari peramu menjadi petani atau mempunyai pekerjaan tetap. Sudah tiga generasi mereka masih tetap peramu. Oleh karena itu harus tingkatkan pendidikan terutama generasi muda mereka,” katanya seraya menambahkan bagaimanapun juga ke depan mereka harus bersaing dan berkompetisi merebut peluang terutama bagi generasi muda.

Selain itu Vikjen Keuskupan Merauke juga menanggapi gizi buruk di Asmat, masalah itu terjadi karena kaum laki-laki sudah tidak lagi membuat perahu. “Padahal perahu bagi orang Asmat untuk mencari ikan dan makanan di sepanjang sungai-sungai,” katanya seraya menambahkan bantuan dari pemerintah termasuk raskin membuat kaum perempuan sulit mencari bahan makanan.

Lebih lanjut kata Vikjen membuat mereka harus tingggal dan menanti bantuan terus menerus. “Tanah-tanah yang selama ini menghidupkan mereka harus diingatkan agar jangan dijual karena itu sumber kehidupan mereka,” katanya menanggapi pengambilan pasir dan pelepasan tanah adat suku Marind Buti.

Lebih lanjut kata dia mereka juga tak boleh menjual pantai-pantai karena itu penghasil mereka terutama udang dan ikan. Kata dia soal galian c agak sulit karena dilema untuk kebutuhan mereka sehari hari.

Direktur SKP Merauke, Pastor Anselmus Amo MSc menyampaikan memang hal yang biasa ada yang setuju maupun menolak pemekaran wacana pembentukan Provinsi Papua Selatan. “Tanpa ada pemekaran Provinsi Papua Selatan toh pembangunan terus berjalan sampai ke pelosok,” katanya kepada Jubi, Selasa (17/12/2019), di Kantor SKP Keuskupan Merauke.

Lebih lanjut kata dia, misalnya pembangunan infrastruktur jalan dari Merauke sampai ke Boven Digoel semuanya sudah sangat baik. “Tetapi apakah pembangunan jalan itu mengikuti kesejahteraan masyarakat adat setempat? Lihat saja penduduk di pinggir jalan Merauke ke Muting kesejahteraan mereka belum sebanding dengan adanya infrastruktur itu,” katanya.

Memang kata dia orang dari kampung sudah lebih gampang datang ke Kota Merauke tetapi yang jelas kesejahteraan mereka belum meningkat dan kelihatan seperti biasanya. Berbeda dengan pantauan Jubi di lapangan kendaraan menuju Tanah Merah Kabupaten Boven Digoel selalu singgah dan beristirahat di warung makan milik kaum transmigran asal Jawa di Bumi Animha sejak jaman Belanda dalam program kolonisasi dan dilanjutkan pemerintah Indonesia dengan program transmigrasi.

Perlu evaluasi pemekaran

Elvira Rumkabu dosen Fisip jurusan hubungan internasional mengatakan sebenarnya pemekaran wilayah kabupaten dan provinsi di Papua harus segera dievaluasi. “Saya termasuk orang yang tidak setuju pemekaran, karena pertama kita tidak pernah tahu hasil dari pemekaran sebelumnya terutama harus ada evaluasi menyeluruh Provinsi Papua Barat misalnya sebelum dan pasca pemekaran,” kata Rumkabu kepada Jubi di Jayapura, Jumat (20/12/2019).

Dia menambahkan sampai sekarang standar Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua dan Papua Barat rendah, begitupula angka kemiskinan antara kedua provinsi Papua dan Papua Barat.

“Angka kemaitan anak dan ibu cukup tinggi belum lagi marjinalisasi orang asli Papua dan masih banyak kasus lain lagi,”kata Elvira Rumkabu penulis berjudul “Special Autonomy and Oppositional Dichotomies of ‘Komin’ yang lolos proposal penelitian ilmu sosial oleh panitia penelitian internasional dari Pasific Research Colloquium (PRC) yang digelar di Australia University,

Soal marjinalisasi orang asli Papua, Elvira Rumkabu juga mengutip pendapat pakar ahli Indonesia dari Center for Peace and Conflict Studies University of Sydney, Australia, Jim Elmslie soal penduduk asli Papua semakin minoritas atau sedikit sesuai hasil sensus penduduk 2010.

Menurut pakar dari Universitas Sidney, Jim Emslie itu yang mengutip, Sensus BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa baru di lima wilayah yang menunjukkan penduduk non-Papua mendominasi. Kelima wilayah itu adalah Merauke mencapai (62.73%) dari total penduduknya, Nabire (52.46%), Mimika (57.49%), Keerom (58.68%) dan Jayapura (65.09%).

Sementara itu di 23 kabupaten lainnya, penduduk Papua masih mayoritas, walaupun terdapat enam kabupaten lainnya yang penduduk non-Papuanya masih cukup signifikan. Wilayah itu adalah kabupaten Jayapura (38.52%); Yapen Waropen (21.91%); Biak Numfor (26.18%); Boven Digoel (33.04%); Sarmi (29.75%), dan Waropen (20.41%). Sisa 17 kabupaten lainnya, masih didominasi oleh OAP. Bahkan Lanny Jaya penduduknya 99.89% adalah OAP, Tolikara 99.04%; Yahukimo 98.57%; Paniai 97.58%, dan Jayawijaya 90.79% Papuan.

Dikatakan menurut data BPS, penduduk non-Papua mendominasi wilayah-wilayah yang berupa Dataran Mudah, sementara wilayah yang tergolong Dataran Sulit dan Pegunungan, masih didominasi oleh OAP.

Begitupula dengan Provinsi Papua Barat menurut Jim Emslie, kota Sorong merupakan yang sudah didominasi oleh non-Papua. Penduduk non-Papua mencapai 73,93 persen dan suku Jawa mencapai 41,46 persen penduduk.

Selain itu kata Elvira Rumkabu ada juga hasil penelitian Pastor John Jonga dan Cypri JP Dale dalam buku berjudul Paradoks Papua, Pola-pola Ketidak-Adilan Sosial, Pelanggaran Hak atas Pembangunan dan Kegagalan Kebijakan Afirmatif, dengan fokus di Kabupaten Keerom.

Sesuai data BPS, Penduduk Keerom pada 2010 berjumlah 48.536 jiwa terdiri dari 26.532 laki-laki dan 22.004 perempuan. Dari jumlah tersebut ternyata penduduk asli Papua sebanyak 19.628 jiwa atau 40,44 persen dan non Papua sejumlah 28 908 jiwa atau 59,56 persen. Dari jumlah tersebut jumlah rumah tangga (RT) di Kabupaten Keerom adalah 11 280 rumah tangga yang terdiri dari 4180 RT Papua dan 7100 RT Non Papua.(Paradoks Papua, halaman 14).

Pastor John Jonga dan Cypri J P Dale secara detail menguraikan komposisi dan pola penyebaran penduduk di Kabupaten Keerom. Sesuai data yang diperoleh jumlah penduduk Kabupaten Keerom saat ini sebanyak 48.536 jiwa penduduk. Ternyata penduduk asli Papua hanya 40,44 persen dan penduduk non-Papua sebanyak 59,56 persen.

Kutipan dari buku tersebut menyebutkan komposisi penduduk di Kabupaten Keerom merupakan hasil dari (1) Program transmigrasi resmi dari pemerintah Republik Indonesia, (2) perusahaan perkebunan kelapa sawit, (3) migrasi sukarela terkait dengan kegiatan ekonomi dan pemekaran, dan (4) migrasi para pegawai dan pejabat pemerintahan setelah Keerom menjadi Kabupaten.

Lebih lanjut dalam uraian hasil penelitian Pastor John Jonga dan Dale menyebutkan konsentrasi penduduk non Papua sebenarnya terkonsentrasi di Distrik Arso dan Skanto. Ada tiga hal mendasar yang dianalisa kedua peneliti ini antara lain (1) Arso dan Skanto merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Jayapura(hanya sekitar satu jam berkendaraan dari Kantor Gubernur dan DPRP) dengan akses jalan yang prima.(2) Wilayah ini merupakan daerah transmigrasi, dan karena itu mayoritas penduduknya adalah warga non Papua.(3) Arso dan Skanto merupakan pusat pemerintahan de facto,dan terkait dengan itu adalah juga tempat pusat pelayanan pemerintahan dan pelayanan publik. (*)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply