Puluhan ton jeruk membusuk, derita pekebun jeruk Nabire, Papua

papua jeruk nabire
Zefnat Karubuy merawat kebun jeruknya di Kampung Waharia, Distrik Teluk Kimi, Kabupaten Nabire, Papua -Jubi/ Titus Ruban.

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Nabire, Jubi — Meski agak kecewa dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini, Zefnat Karubuy tetap bersemangat merawat kebun jeruknya.

Lelaki 47 tahun tersebut memiliki perkebunan jeruk yang cukup luas di sebelah rumahnya di Kampung Waharia, Distrik Teluk Kimi, Kabupaten Nabire, sekitar 5 km dari Kota Nabire, Provinsi Papua.

Read More

Lokasi kebunnya sedikit jauh dari jalan raya, hampir 500 meter dan dekat dengan sungai Sanoba. Tapi dari pusat kota Nabire bisa dijangkau hanya 5 menit dengan kendaraan roda dua.

Karena lahan milik keluarganya cukup luas, 2 ha, ia menanam 80 batang jeruk sejak empat tahun silam yang hanya memanfaatkan lahan sekitar tiga perempat.

Sisa lahan, selain berdiri rumah, juga ditanami pinang, duku, dan tanaman lain. Selain itu juga ada ternak sapi.

Sebelum pandemi Covid-19 melanda, kebun jeruknya sudah panen perdana lebih lima ton. Jeruk-jeruk tersebut dipasarkan saudaranya ke Manokwari, Papua Barat dengan harga per kg Rp7 ribu.

Saat panen kedua, datanglah Covid-19 dan kapal keluar-masuk Nabire distop. Karubuy tidak bisa memasarkan jeruknya. Pasar di Nabire tidak bisa menyerap panennya yang cukup banyak.

“Jadi saya panen untuk dibagikan ke keluarga saja, karena waktu pembukaan lahan mereka ikut bantu, ada juga buah yang jatuh saya gunakan untuk pakan sapi,” katanya kepada Jubi, Selasa, 14 Juli 2020.

Karubuy sedang asyik merawat pohon-pohon jeruknya ketika ditemui Jubi. Ia memangkas ranting yang dirasanya kurang bagus dan memberi pupuk.

“Saya lebih memilih untuk merawatnya,” ujarnya.

Empat tahun silam pelatih pramuka di Provinsi Papua tersebut mendapatkan bibit jeruk dari Dinas Pertanian Kabupaten Nabire. Pemkab Nabire sedang mengembangkan distriknya sebagai sentra jeruk. Kebetulan ia memiliki lahan bekas perkebunan jeruk juga. Pohon-pohon jeruk lamanya tersebut sudah mati karena tua.

Di Kampung Waharia ada beberapa warga mendaftar untuk mendapatkan bibit, termasuk Karubuy. Ia mendapatkan 100 bibit jeruk dari Dinas Pertanian. Sebanyak 20 bibit mati dan 80 batang sukses hingga berbuah.

“Saya sudah pernah tanam jeruk, jadi sudah paham cara perawatannya,” ujarnya.

Dengan macetnya pemasaran akibat pandemi, tentu saja usaha Karubuy merugi. Perkebunan jeruk memerlukan biaya, terutama untuk pupuk. Lagi pula, ia tentu membutuhkan hasil usahanya untuk menopang ekonominya.

Pandemi Covid-19 juga berdampak kepada perkebunan jeruk Wellem Runggaweri yang juga di Distrik Teluk Kimi.

Runggaweri lebih lama berkebun jeruk, sejak 10 tahun silam. Ayah tiga anak berusia 48 tahun tersebut memang hobi berkebun jeruk. Sebelumnya ia nelayan. Karena menganggap pekerjaan sebagai nelayan sangat tergantung cuaca jika hendak melaut, akhirnya ia beralih berkebun jeruk dengan memanfaatkan lahan miliknya seluas 1,5 ha.

Runggaweri memiliki 370 batang jeruk yang sekali panen mencapai 20 ton. Sekali panen ia mendapatkan Rp45 juta.

Ketika Covid-19 merebak ia tak lagi bisa memasarkan hasil kebunnya ke luar daerah. Sebagai antisipasi pemasaran, ia menyuruh anaknya menjajakan ke pasar di Nabire, tapi hasilnya kurang menggembirakan. Dengan menjual per kg Rp7 ribu cuma dapat Rp750 ribu. Jeruk tidak laris di Nabire meski dianjurkan untuk dikonsumsi karena sangat bagus menangkal virus korona. Akibatnya, banyak buah jeruk yang dibiarkan masak di batang hingga jatuh membusuk.

“Masa panen tahun ini semua tidak berdaya, kami pilih cari kegiatan lain untuk penunjang hidup, tetapi tetap merawat pohon jeruk, kalau pelabuhan sudah dibuka pasti jeruk laris lagi,” ujarnya.

Runggaweri mengatakan hampir semua petani jeruk mengalami nasib serupa, terutama kelompok tani yang dipimpinnya, ‘Isa Are’ (Bangkit). Anggota kelompok taninya kini mengibukkan diri dengan bertaman komoditas lain yang bisa dijual di Nabire, seperti jagung dan sayuran. Ada juga yang membuka usaha ayam potong, bahkan mencoba mendulang emas.

“Untuk bertahan hidup kami cari jalan masing-masing, sebab kalau ada kapal baru pembeli jeruk bisa lancar dan kami bisa fokus lagi ke jeruk, tapi kalau sudah begini  kami sedikit repot karena tidak ada penghasilan lain,” katanya.

Runggaweri mengatakan, total lahan kebun milik kelompoknya 46 ha. Semuanya terdampak Covid-19 dan perlu mendapatkan perhatian pemerintah, baik daerah maupun pusat.

“Kami berharap setiap kebijakan dapat memperhatikan para petani,” ujarnya.

Terlebih pada puncak panen jeruk tahun ini pada Mei dan Juni, puluhan ton jeruk dibiarkan membusuk karena tak bisa dipasarkan.

Runggaweri bersama kelompok taninya berharap kepada pemerintah, jika melakukan pembatasan transportasi, terutama kapal laut, seharusnya juga mempertimbangkan nasib para petani jeruk di Nabire. Sebab pemasaran produk mereka sangat tergantung kepada transportasi laut.

“Kami petani jeruk ini hanya mengadu nasib kalau masuk kapal, pedagang bisa datang membeli hasil panen, tapi sekarang kami hanya pasrah,” ujarnya. (*)

Editor: Syofiardi

Related posts

Leave a Reply