Papua No.1 News Portal | Jubi
Jakarta, Jubi – Sebanyak 29 organisasi yang fokus pada pengawasan senjata dan hak asasi manusia memprotes langkah pemerintah Amerika Serikat yang menjual senjata ke Uni Emirat Arab. Mereka mendesak Kongres AS menggagalkan kesepakatan jual beli rudal, jet tempur, dan drone yang senilai US$ 23 miliar itu.
“Harapannya adalah menghentikan penjualan senjata ini sama sekali,” kata petugas advokasi di Project on Middle East Democracy, Seth Binder, dikutip Reuters, Selasa, 1 Desember 2020.
Binder menyatakan akan melakukan langkah koalisi dan mengirimkan sinyal penting kepada pemerintahan presiden terpilih Joe Biden yang akan datang bahwa ada berbagai kelompok organisasi yang menentang penjualan senjata. Langkah itu itu dilakukan jika pemerintah Amerika Serikat tidak menggubris tuntutan mereka.
Baca juga : Israel dan Amerika dicurigai berperan pembunuhan ilmuwan nuklir Iran
Senjata nuklir akan segera ilegal, Pasifik desak penyelesaian demi penyintas
Ini sikap Israel usai PBB menolak perpanjang embargo senjata Iran
Koalisi juga mengirimkan surat ke anggota parlemen dan Kementerian Luar Negeri AS. Dalam suratnya mereka mengatakan penjualan senjata ke UEA, pihak yang terlibat dalam konflik di Yaman dan Libya, akan memicu kerusakan sipil yang terus berlanjut dan semakin memperburuk krisis kemanusiaan.
Organisasi lain yang ikut terlibat dalam petisi menolak penjualan senjata ini adalah Institut Kairo untuk Studi Hak Asasi Manusia (CIHRS) dan Mwatana untuk Hak Asasi Manusia.
Sementara itu, tiga senator AS dikabarkan mengusulkan undang-undang untuk menghentikan penjualan senjata, yang mencakup drone dari General Atomics, Lockheed Martin Corp F-35, dan rudal yang dibuat oleh Raytheon. Artinya mereka harus bergerak cepat lantaran masa jabatan Presiden Donald Trump tinggal beberapa pekan lagi.
Undang-undang Amerika Serikat yang mencakup kesepakatan senjata besar memungkinkan para senator untuk memaksakan suara pada resolusi ketidaksetujuan.
Namun, untuk mulai berlaku, resolusi harus melewati sidang Senat yang dipimpin Partai Republik. Mereka juga harus lolos sidang Dewan Perwakilan Rakyat yang dipimpin Demokrat. (*)
Editor : Edi Faisol