Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Puluhan juta hektare hutan yang berada di Indonesia dikuasi perusahaan melalui kebijakan izin inventasi yang diberikan negera. Izin itu memberikan hak kepada perusahaan untuk mengelola hutan demi kepentingan mereka.
Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Uli Arta Siagian mengatakan bahwa hingga 2019 setidaknya ada 33 juta hektare hutan dari 125,9 juta hektare hutan Indonesia yang sudah dialokasikan kepada korporasi. Penguasaan hutan kepada korporasi itu diberikan melalui penerbitan izin pemanfaatan hasil hutan, hutan tanaman Industri (HTI), perkebunan sawit hingga proyek lumbung pangan yang telah dibuka di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
“Akses hutan yang paling besar diberikan kepada korporasi.Kedaulatan pengelolaan hutan masih diserahkan kepada korporasi ketimbang kepada rakyat,” kata Siagian dalam acara lokakarya ” Dampak Deforestasi dan Perubahan Iklim kepada Komunitas Internasional dan Masyarakat Adat” di Kota Jayapura pada Sabtu (11/12/2021).
Baca juga: 700 ribu hektare hutan di Papua telah rusak
Menurut Siagian, pemberian izin pembukaan hutan terus dilakukan kendati pergantian penguasa terjadi. Pada era Soeharto, sekitar 7 juta hektare hutan dibabat korporasi yang mengantongi izin. Hal itu juga terjadi pada era Presiden Habibie (sekitar 2 juta hektare), Presiden Abdurrahman Wahid, (2 juta hektare hutan), dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (mencapai 21 juta hektare).
“Pada zaman Jokowi, juga banyak sekali izin diberikan. Data itu membuktikan bahwa reformasi yang diharapkan membuat kita berdaulat atas sumber daya alam ternyata tidak terjadi,” ujarnya.
Siagian mengatakan pemberian izin inventasi hutan kepada korporasi membuat masyarakat adat Indonesia kehilangan mata pencaharian karena tidak bisa mengakses hutan. Padahal 48 juta penduduk Indonesia tinggal di kawasan hutan, dan 10,2 juta jiwa penduduk miskin yang bergantung hidup dari hasil hutan.
Baca juga: Digugat dua perusahaan sawit, Johny Kamuru akhirnya menang di PTUN Jayapura
Hingga 2019, pemberian akses kepada masyarakat untuk mengelola hutan hanya 3 juta hektare atau hanya 2,51 persen dari total luasan kawasan hutan. Sedangkan alokasi pemberian akses hutan kepada koporasi itu mencapai 27 persen dari total luasan hutan. “Jadi, bisa kita bandingkan, terjadi ketidakadilan penguasaan ruang hutan atau alokasi hutan antara koporasi dengan masyarakat,” katanya.
Siagian mengatakan pemberian izin penguasaan hutan kepada korporasi telah menghancurkan hutan dan menimbulkan krisis iklim. Dalam jangka panjang, krisis iklim akan membuat ratusan juta orang kekurangan air, bencana banjir, memusnahkan ribuan spesies, dan mengurangi hasil panenan petani.
“WALHI menyebutnya sebagai bencana ekologis. [Itu] bukan bencana alam, karena [bencana itu] sangat dipengaruhi oleh perubahan bentang alam dan intervensi aktivitas manusia,” ujarnya.
Baca juga: Kritik sawit dan deforestasi, layar pemaparan dekan UGM diretas
Siagian mengatakan negara harus segera memulihkan hak-hak masyarakat adat di Papua untuk menempati hutan ulayatnya. Hal itu dapat dilakukan melalui pengesahan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat menjadi Undang-undang, menerbitkan kebijakan yang melindungi rakyat dan ruang hidupnya.
Pemerintah juga harus melakukan audit lingkungan dan evaluasi berbagai izin pembukaan hutan. “Hentikan ekspansi izin skala besar atas nama pertumbuhan dan perkembangan,” katanya.
Kepala Sub Bidang Sumber Daya Alam dan Pengairan Bappeda Papua, Cindy Kartini Kasenda mengatakan Pemerintah Provinsi Papua akan fokus melakukan peningkatan kualitas kawasan konservasi untuk memperbaiki daya lingkungan dalam pembangunan yang rendah karbon. “Kami juga sudah melakukan sosialisasi kepada beberapa pihak, di antaranya pihak swasta, [menjelaskan] pentingnya pembangunan rendah karbon,” ujarnya. (*)
Editor: Aryo Wisanggeni G