Puluhan anak pengungsi jatuh sakit

Seorang anak di Distrik Yigi sebelum terpaksa ikut mengungsi bersama orang tuanya - Jubi/Victor Mambor
Seorang anak di Distrik Yigi sebelum terpaksa ikut mengungsi bersama orang tuanya – Jubi/Victor Mambor

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Jayapura, Jubi – Sejak insiden kekerasan bersenjata yang terjadi pada awal Desember 2018, banyak penduduk dari Kabupaten Nduga mengungsi keluar dari kampung mereka. Masyarakat dari distrik Mbua, Yal, Dal, Bulmuyalma, Koroptak, Nitkuri, Yigi, Mugi, Mam, Mapenduma, dan Iniye ini berjalan kaki berhari-hari bersama keluarga mereka. Sebagian besar pengungsi saat ini berada di Kuwiyage, Lanny Jaya dan sebagian lainnya berada di Mimika dan Wamena, Jayawijaya.

Read More

“Ada sekitar 2000 an orang yang mengungsi keluar dari Nduga. Sebagian lainnya masih berada di hutan sekitar Nduga dan Lanny Jaya. Mereka ini harus ditangani segera. Ini masalah kemanusiaan,” ungkap Theo Hesegem, Direktur Yayasan Keadilan Dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP).

Di Wamena, para pengungsi ini tersebar di berbagai wilayah seperti Wouma, Ilekma, Hom-Hom dan Welesi. Mereka mengungsi karena trauma atas kehadiran aparat keamanan di kampung mereka. Beberapa warga Mbua dan Dal yang mengungsi mengaku takut setelah melihat helikopter terbang di atas kampung mereka sambil melepaskan tembakan dan melemparkan granat ke kampung mereka.

“Masyarakat di kampung itu tidak pernah lihat helikopter sehingga kejadian itu membuat mereka takut lalu bersembunyi ke hutan,” ujar Theo.

Selain itu, masyarakat juga tak punya alasan lagi untuk kembali ke kampung mereka. Rumah dan kebun mereka rusak. Ternak mereka hilang atau terbunuh oleh tembakan aparat keamanan. Bangunan seperti sekolah maupun kantor pemerintah dijadikan tempat tinggal anggota TNI maupun polisi yang ditugaskan di kampung mereka. Mereka yang mengungsi di Kuwiyage bahkan sudah memulai kehidupan baru sebagai warga Kuwiyage. Mereka diberikan tanah oleh warga Kuwiyage untuk dijadikan kebun dan membuat rumah tinggal. Sedangkan warga Nduga yang mengungsi di Wamena tinggal menumpang di keluarga masing-masing.

Anak-anak pengungsi Nduga ketika berbaris sebelum masuk kelas sekolah darurat – Jubi/Islami

Seorang pengungsi di Wamena bernama Peron Ubruangge mengatakan ia berjalan kaki melintasi gunung dan lembah bersama keluarganya dari Yigi bersama 13 keluarga lainnya pasca insiden pembunuhan belasan karyawan PT. Istaka Karya oleh anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) pimpinan Egianus Kogoya yang disusul oleh operasi pengejaran kelompok tersebut oleh aparat keamanan. Selama perjalanan mereka menuju Wamena, beberapa orang jatuh sakit walaupun tidak sampai meninggal dalam perjalanan. Ia mengaku mendengar ada beberapa pengungsi dalam kelompok lainnya yang meninggal dalam perjalanan. Juga ada yang melahirkan saat mengungsi.

Saat ini Peron tinggal menumpang pada keluarganya di Wamena. Ia belum bisa bekerja seperti biasanya dan anak-anaknya baru bisa sekolah lagi pada pertengahan Februari lalu.

“Anak saya sekolah di sekolah darurat yang dibuat oleh Gereja Kingmi di Ilekma,” kata Person.

Sekolah darurat ini menurut Peron dibuat atas inisiatif beberapa guru di Wamena, dibantu Dinas Pendidikan Jayawijaya dan relawan yang selama ini menampung pengungsi Nduga di Kabupaten Jayawijaya. Sekolah ini menampung semua anak dari tingkat SD hingga SMA. Tercatat ada sekitar 637 anak usia sekolah yang mengungsi bersama orang tua mereka.

Awalnya 421 anak mengikuti kegiatan belajar di Sekolah Darurat ini. Hingga awal Maret 2018, jumlahnya mencapai 613 siswa, terdiri dari 404 siswa SD, 182 SMP dan 27 SMA.

Berhubung ujian nasional sudah semakin dekat, Person berharap pemerintah daerah Nduga maupun Jayawijaya menseriusi keberadaan siswa di sekolah darurat itu.

Pemerintah Kabupaten Nduga telah meminta agar pengungsi dan anak-anak mereka ini kembali ke Nduga. Dan anak-anak yang akan mengikuti ujian nasional disarankan mengikuti ujian di Keneyam, Kabupaten Nduga. Namun permintaan Pemerintah Kabupaten Nduga ini ditolak oleh para pengungsi dengan alasan masih trauma dengan kehadiran aparat keamanan di kampung mereka. Para pengungsi malah meminta Pemerintah Kabupaten Nduga membangun sekolah semi permanen di lokasi yang digunakan sebagai sekolah darurat saat ini.

“Kalau anak-anak yang akan ikut ujian nasional itu, mereka berasal dari wilayah yang dingin. Keneyam itu panas. Nanti bikin masalah baru lagi. Lebih baik mereka tetap di Wamena sampai ujian selesai,” kata Ikabus Gwijangge, anggota DPRD Kabupaten Nduga yang mendampingi para pengungsi bersama relawan lainnya.

Ikabus mengatakan lebih baik pemerintah daerah fokus pada masalah lain yang timbul pasca pengungsian seperti ketersediaan bahan makanan, obat-obatan, peralatan tidur dan tenaga relawan. Saat ini, sekolah darurat ini membutuhkan lebih banyak relawan untuk memasak, mendampingi kegiatan anak-anak, tenaga trauma healing, tenaga pendataan dan tenaga kesehatan.

Sejauh ini, hanya siswa SMA di pengungsian yang bisa dipastikan akan menjalani UN di Wamena. Kabid GTK Dinas Pendidikan Kabupaten Nduga, Puji Astuti mengaku sudah menyiapkan kebutuhan para siswa SMA untuk menjalani UN di Wamena. Menurutnya, ada 17 siswa dari SMAN 2 Mbua yang saat ini berada di Wamena. SMA Mbua saat ini digunakan oleh TNI untuk menampung pasukan yang ditugaskan mengejar anggota TPNPB.

Pekan lalu, seorang siswa di sekolah darurat tiba-tiba pingsan saat sedang belajar dalam kelas. Ternyata siswa ini belum makan saat pergi ke sekolah darurat.

“Siswa ini mengaku terakhir makan sehari sebelumnya, pada siang hari,” ungkap Ence Geong, relawan Yayasan Teratai Hati Papua.

Anak-anak pengungsi Nduga sedang belajar di sekolah darurat – Jubi/Ence Geong

Menurut Ence, sekolah darurat ini juga berfungsi sebagai Posko yang menyediakan makan siang bagi anak-anak.

“Saat ini kami hanya menyediakan makanan sekali sehari. Kami masak 80 kg beras untuk sekali makan,” jelasnya.

Karena kejadian ini tim relawan bekerja sama dengan beberapa petugas kesehatan, termasuk dua dokter relawan, melakukan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan kepada seluruh anak yang ikut kelas sekolah darurat.

Dari hasil pemeriksaan kesehatan, ternyata ada 37 anak sedang sakit. Sayangnya, hanya 17 anak saja yang bisa dilayani karena tidak tersedia obat-obatan sesuai penyakit mereka.

Kemungkinan bertambahnya jumlah anak-anak yang sakit sangat terbuka sebab perlengkapan higienis dasar seperti sabun, sikat gigi, handuk dan lainnya pun sangat terbatas, bahkan nyaris tidak ada. Selain itu, dalam satu honai (rumah tradisional) bisa ditempati hingga 30 orang yang mengungsi, selain keluarga pemilik honai.

“Kami mengharapkan solidaritas berbagai kelompok. Saat ini kebutuhan mendesak adalah bagaimana menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar bagi anak- anak pengungsi ini dan menyediakan makanan bagi mereka,” ungkap Ence.

Pemerintah Provinsi Papua pada awal Januari lalu telah memberikan bantuan bahan makanan dan layanan kesehatan untuk masyarakat di beberapa distrik yang terdampak langsung oleh konflik yang sedang berlangsung. Bantuan ini ditangani langsung oleh Bupati Nduga. Namun rupanya, bantuan ini tidak menyertakan para pengungsi di Wamena sebagai penerimanya. Bahkan lebih jauh, Pemerintah Provinsi Papua mengaku belum mengetahui keberadaan para pengungsi di Wamena.

“Sampai saat ini kami belum berkomunikasi dengan Bupati Nduga tentang warga Nduga yang mengungsi. Kalau bupati merasa tidak bisa menangani sendiri seharusnya segera berkordinasi dengan gubernur,” kata Wakil Gubernur Papua, Klemen Tinal. (*)

Related posts

Leave a Reply