Papua No. 1 News Portal | Jubi ,
Oleh: Hari Suroto
Papua merupakan wilayah Indonesia yang mengalami pertempuran langsung antara tentara Jepang melawan tentara Sekutu pada Perang Dunia II atau lebih dikenal sebagai Perang Pasifik, untuk itu diperlukan kajian arkeologi militer.
Potensi arkeologi militer di Papua sangat kaya, baik itu situs-situs di darat berupa bekas pertempuran, gua-gua perlindungan, maupun markas militer, serta peralatan tempur yang terkubur dalam tanah maupun dalam air laut.
Hanya saja, kendala dalam melakukan penelitian arkeologi militer di Papua adalah sisa bom yang masih aktif, dan hal ini masih dapat disaksikan di pesisir Pulau Wakde dan Pulau Liki di Kabupaten Sarmi, beberapa bom aktif terlihat mengeluarkan asap.
Dengan mengkaji arkeologi militer dapat diketahui strategi pertempuran, sistem pertahanan, jenis-jenis peralatan tempur yang digunakan, serta dampak terhadap penduduk asli Papua.
Situs-situs arkeologi militer di Papua perlu dilestarikan, karena situs-situs arkeologi militer di Papua dapat dijadikan sebagai objek wisata nostalgia bagi turis Jepang maupun Amerika dan sekutunya.
Hanya saja kendala dalam pelestarian situs dan tinggalan arkeologi militer telah rusak oleh korosi air laut dan rusak akibat ulah manusia, yaitu dijual sebagai besi tua.
Tiap tahun ada turis Jepang yang datang ke Papua. Mereka datang untuk mencari tulang-belulang keluarga mereka yang meninggal dalam pertempuran di Papua. Tulang-belulang yang didapat kemudian dikremasi. Tulang-belulang tentara Jepang dapat dikategorikan sebagai cagar budaya.
Perlunya pemerintah dan instansi terkait membangun sebuah museum peninggalan Perang Dunia II di Kampung Puay, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura.
Museum ini selain berfungsi untuk melestarikan peninggalan Perang Dunia II yang terbilang cukup banyak dan juga berfungsi sebagai objek wisata sejarah.
Kampung Puay pada masa Perang Dunia II, sewaktu tentara Jepang melakukan invasi ke Asia Pasifik dan menduduki Papua, merupakan salah satu tempat persembunyian dari kejaran tentara Sekutu pimpinan Jenderal Douglas McArthur.
Sehingga kampung Puay mempunyai peninggalan-peninggalan perlengkapan tentara Jepang. Termasuk sejumlah tulang-tulang tentara Jepang masih ada di Kampung Puay.
Berdasarkan penelitian oleh Pusat Arkeologi Nasional Jakarta dan Balai Arkeologi Papua pada 2013, di Kampung Puay berhasil menemukan sejumlah perlengkapan tentara Jepang peninggalan Perang Dunia II.
Barang-barang peninggalan tentara Jepang tersebut antara lain perlengkapan perang berupa botol minuman alumunium, helm baja, dan panci lapangan alumunium.
Selain itu, sebuah senapan mesin model 92 kaliber 7,7 mm peninggalan tentara Jepang telah diambil dari kampung tersebut dan menjadi koleksi rumah tahanan militer Kodam XVII Cenderawasih di Waena.
Dengan adanya temuan perlengkapan tentara Jepang di Kampung Puay, hal itu membuktikan bahwa Kampung Puay pada masa Perang Dunia II menjadi tempat perlindungan tentara Jepang setelah markas mereka di lapangan terbang Sentani dikuasai oleh tentara Amerika di bawah kendali Jenderal McArthur.
Penemuan ini membuktikan bahwa adanya saksi-saksi bisu tentara Jepang pada masa Perang Dunia II pernah menyelamatkan diri di Kampung Puay dari kejaran tentara Amerika.
Saat ini banyak peninggalan Perang Dunia II di Kampung Puay yang telah dijual warga sebagai besi tua. Informasi lainya juga didapatkan bahwa peninggalan Perang Dunia II di Kampung Puay sudah ada yang dijual ke pengumpul besi tua.
Papua memiliki potensi tinggalan arkeologi bawah air d iantaranya kapal perang maupun pesawat terbang peninggalan Perang Pasifik yang terdapat di perairan Papua dan Papua Barat.
Kapal peninggalan Perang Pasifik milik Amerika, The Junkyard terdapat di perairan Pulau Amsterdam. Kapal Jepang, Shikwa Maru di perairan Manokwari. Pesawat tempur Zero di perairan Pulau Rippon, Wandamen. Pesawat Amerika P47-D Razorback di Pulau Wai, Raja Ampat.
Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu meratifikasi Konvensi UNESCO tahun 2001 tentang Perlindungan Warisan Budaya Bawah Air.
Dalam konvensi ini mengatur tentang perlindungan warisan budaya bawah air untuk kepentingan umat manusia sekaligus mencegah eksploitasi secara komersial. Dengan meratifikasi konvesi UNESCO, pemerintah Indonesia otomatis harus menyediakan dana untuk penelitian dan perlindungan tinggalan arkeologi bawah air.
Selama ini di Papua belum pernah dilakukan penelitian arkeologi bawah air yang disebabkan oleh keterbatasan peralatan dan sumber daya manusia.
Tentunya hal ini, berbeda dengan penelitian arkeologi di daratan.
Penelitian arkeologi bawah air membutuhkan dana lebih besar untuk membeli peralatan, akses ke lokasi, serta tingkat kesulitan tinggi untuk penelitian arkeologi bawah air. (*)
Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua