Papua No. 1 News Portal | Jubi
Peluang bagi orang-orang Tonga untuk mendapatkan pekerjaan bergaji lebih tinggi di Selandia Baru dan Australia, berkat program Recognised Seasonal Employer (RSE) Selandia Baru dan Program Pekerja Musiman Seasonal Workers’ Programme (SWP) Australia telah lama disanjung sebagai karunia oleh anggota-anggota keluarga dan pemerintah, tetapi pada saat yang sama, itu dianggap sebagai batu sandungan bagi pertumbuhan sektor swasta setempat.
Usaha-usaha lokal di Tonga yang tidak dapat bersaing dengan gaji yang diberikan di luar negeri mengalami kekurangan tenaga kerja semi terampil dan terampil.
Meskipun Tonga diantisipasi akan meratifikasi perjanjian perdagangan bebas PACERPlus antara Australia, Selandia Baru, dan tujuh negara Kepulauan Pasifik, terlihat jelas bahwa saat ini Tonga terbatas sektor perdagangannya, dan dengan kurangnya tenaga kerja terampil, ini telah menjadi hambatan bagi perkembangan sektor swasta di Tonga.
Sejak program pekerja musiman diluncurkan oleh Selandia Baru dengan RSE pada April 2007, dan Australia dengan program SWP-nya pada 2008, mereka telah merekrut ribuan pekerja musiman dari Kepulauan Pasifik untuk bekerja di industri hortikultura dan pemeliharaan anggur.
Dengan begitu banyaknya pekerja terampil yang meninggalkan negara-negara Kepulauan Pasifik tersebut, kekhawatiran berkembang mengenai bagaimana Tonga dan negara-negara Kepulauan Pasifik lainnya dapat meningkatkan jumlah ekspor mereka dan meraup keuntungan dari Perjanjian Perdagangan PACERPlus yang ditandatangani oleh tujuh negara Pulau Pasifik, dan Australia dan Selandia Baru di Nuku’alofa pada 14 Juni 2017.
Perjanjian tersebut harus diratifikasi untuk dapat berlaku.
Tonga dan program pekerja musiman
Holly Lawton, seorang peneliti bidang tenaga kerja Pasifik di Development Policy Centre di Australian National University, Canberra, dalam sebuah laporan baru minggu ini, mengungkapkan bahwa program SWP Australia telah meningkat 44% pada 2018-19, atau sekitar 3.000 pekerja, setelah batas maksimum jumlah pekerja yang berlaku sebelumnya dihapus. “Salah satu prediksi adalah permintaan pasar untuk pekerja SWP di Australia akan mencapai 37.500 peluang kerja musiman pada tahun 2030,” katanya.
Selandia Baru juga telah meningkatkan batas maksimum pekerja RSE-nya menjadi 12.850 pekerja pada November 2018, meningkat 16 % dari tahun sebelumnya.
Tonga adalah salah satu dari tiga negara pemasok tenaga kerja musiman terbesar.
Lawton berkata bahwa akibat terbatasnya lapangan pekerjaan di seluruh Pasifik, ada banyak pasokan tenaga kerja musiman yang bersedia bersaing untuk mendapatkan tempat dalam kedua program. Pada tahun 2018-2019, Tonga memasok sekitar 30 % pekerja Pasifik di SWP dan RSE, kalahnya hanya oleh Vanuatu yang memasok lebih dari 40 % dari bagian yang dialokasikan untuk Kepulauan Pasifik.
Tenaga kerja musiman umumnya cenderung didominasi oleh laki-laki, namun pada tahun anggaran 2018-2019, partisipasi perempuan Tonga meningkat menjadi 17 % dari jumlah pekerjanya.
Skema RSE Selandia Baru merekrut tenaga kerja musiman dari Fiji, Kiribati, Nauru, PNG, Samoa, Tonga, Tuvalu, dan Vanuatu. Sementara SWP pemerintah Australia merekrut pekerja dari Kepulauan Pasifik dan juga dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Dampaknya bagi usaha-usaha lokal di Tonga
Namun, pemilik-pemilik usaha di Tonga menegaskan bahwa sebenarnya mereka juga sedang mengalami kekurangan tenaga kerja terampil dan semi-terampil, setelah pekerja-pekerja terbaik mereka dipilih untuk mengikuti skema SWP dan RSE, dan tertarik untuk pergi karena upahnya yang jauh lebih tinggi.
Usaha-usaha lokal di Tonga mengalami kesulitan menemukan orang-orang yang ingin bekerja secara lokal dengan bayaran upah lokal.
Setiap bagian dari sektor swasta Tonga semakin khawatir, sebab semakin banyak pekerja berpengalaman mereka yang telah pergi, untuk berpartisipasi dalam skema pekerja musiman SWP dan RSE.
Beberapa pekerja kembali sementara yang lain mengejar peluang kerja yang berbeda.
Jumlah pekerja musiman dari negara ini telah meningkat sejak 2015, ketika Menteri Dalam Negeri, Dr. Saia Piukala, berkata lebih dari 3.500 orang Tonga dikerahkan setiap tahunnya melalui skema pekerja.
Alfred Cowley, pemilik salah toko roti terbesar di Tonga, menceritakan kekesalannya atas dampak skema mobilitas tenaga kerja itu pada bisnisnya. Dia menerangkan bahwa ia harus mendatangkan pekerja dari luar negeri, dari Asia dan dari negara Kepulauan Pasifik lainnya.
Cowley mengatakan bahwa saat ini saja, ia memiliki peluang kerja untuk 30 pekerja, “jika mereka mau bekerja. Sayangnya, beberapa dari mereka hanya ingin duduk tanpa bekerja apa-apa.”
Namun tidak banyak orang pengangguran lokal yang antusias untuk melakukan pekerjaan dengan upah lokal. Pergi ke luar negeri tampaknya lebih menarik bagi mereka.
Seorang juru bicara dari Kementerian Dalam Negeri Tonga berkata upah per jam untuk seorang pekerja di Selandia Baru adalah NZD $ 17.50 (AS $ 11.61 per jam), sedangkan di Tonga, upah harian adalah $ 20,97 pa’anga (AS $ 8,96).
Skema RSE dan SWP dilihat sebagai suatu berkah, menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi banyak keluarga-banyak keluarga Tonga, serta meningkatkan pendapatan mata uang asing Tonga.
Tonga menerima $ 27,3 juta pa’anga (AS $ 11,6 juta) melalui pengiriman uang dari orang-orang Tonga di luar negeri selama Maret 2019. Dari jumlah ini, $ 8,1 juta pa’anga (AS $ 3,7 juta) berasal dari pekerja NZ RSE dan $ 3 juta pa’anga (AS $ 1,2 juta) dari pekerja SWP Australia.
Presiden Kamar Dagang Tonga, Paula Taumoepeau, juga menyatakan keprihatinannya melihat isu kelangkaan pekerja terampil yang terus memburuk di Tonga.
Walaupun Paula bersyukur atas peluang yang diberikan bagi orang-orang Tonga untuk mencari pekerjaan di luar negeri, ia juga menyadari bahwa Tonga belum meratifikasi Perjanjian Perdagangan PACERPlus. Hanya tiga negara yang telah meratifikasi PACERPlus, diperlukan lima negara lagi untuk memenuhi minimum 8 negara yang diperlukan agar perjanjian ini mulai berlaku. (PINA /Tonga Wires)
Editor: Kristianto Galuwo