Papua No. 1 News Portal | Jubi
Pemahaman yang kurang oleh masyarakat terkait HIV/AIDS membuat mereka berangapan bahwa yang terkena virus karena melakukan hubungan seks di luar nikah, berganti-ganti pasangan, miras, dan narkoba. Padahal itu hanya stigma yang harus dihilangkan.
KASUS HIV/AIDS DI PROVINSI PAPUA
Pada 1990-an kasus HIV/AIDS meluas di Indonesia. Pemerintah merespons dengan membentuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) pada Mei 1994.
Lembaga yang dibentuk melalui Keputusan Presiden No. 36/1994 tersebut bertujuan meningkatkan upaya pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS.
Upaya ini dilanjutkan dengan keluarnya Perpres No. 75/2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional pada Juli 2006. Kepres mengatur tentang perubahan dalam status, keanggotaan, dan tata kerja KPAN.
Perpres itu menjadi tonggak lahirnya KPAN yang lebih baru. Tugasnya meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yang lebih intensif, terpadu, dan terkoordinasi. Pemberlakuan Perpres diikuti dengan berdirinya Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di berbagai daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, termasuk Papua.
Ikut peduli, kelompok masyarakat juga membentuk berbagai organisasi yang memiliki fokus kerja pada isu HIV/AIDS. Sejumlah LSM muncul di berbagai daerah membantu pengendalian epidemi tersebut. Tidak jarang, organisasi-organisasi tersebut juga didirikan oleh para aktivis yang langsung terdampak oleh HIV/AIDS, seperti ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS).
Sementara itu ilmuwan juga terus mengembangkan berbagai riset untuk menemukan vaksin yang mampu membunuh HIV. Untuk pengobatan, saat ini ODHA mengonsumsi obat Anti-Retro-Viral (ARV).
Meski belum dapat menyembuhkan, namun terapi ARV ampuh dalam mengendalikan dan menekan perkembangbiakan HIV dalam tubuh sehingga ODHA dapat tetap sehat.
Demikian sejarah singat penanganan HIV/AIDS yang disampaikan Tri Irwanda Maulana dari Focal Point SSR Indonesia Aids Coalition (IAC) di hadapan jurnalis dan aktivis NGO Papua saat mengawali kegiatan Pelatihan Pemberitaan Media yang Positif bagi ODHA yang diadakan AIC di Jayapura, 15-17 Juli 2019.
Sementara itu Geradus Ete dari ARV Comunity Suport (ACS) mengatakan pada masa awal penyebarannya, informasi mengenai HIV/AIDS sangat terbatas.
“Bukan saja terbatas, tidak jarang informasi yang beredar juga mengandung bias dan bahkan keliru,” katanya.
Pemahaman yang kurang oleh masyarakat terkait HIV/AIDS, lanjutnya, membuat mereka berangapan bahwa yang terkena virus karena melakukan hubungan seks di luar nikah, berganti-ganti pasangan, miras, dan narkoba.
“Sehingga stigma tersebut terus tertanam dari generasi ke genarasi membuat para ODHA tertekan dalam stigma dan diskriminasi, baik dari keluarga maupun masyarakat,” ujarnya.
Menurut Gerad, dalam perkembangannya penularan HIV juga banyak ditemukan pada wanita pekerja seks dan pengguna narkoba suntik. Tanpa adanya informasi faktual yang memadai, fenomena ini tentu saja makin menyuburkan mitos di masyarakat.
“HIV/AIDS diidentikkan dengan perilaku ‘menyimpang’ yang tidak sesuai dengan nilai-nilai moralitas, dengan kondisi semacam itu stigma atau cap buruk pada orang dengan HIV/AIDS timbul dan makin subur.”
Lebih khusus di Papua, katanya, masyarakat melihat ODHA adalah mereka yang hidupnya tidak benar dan diberikan hukuman oleh Tuhan, akibat ulah dan perbuatannya mereka sendiri tanpa melihat mereka yang terinfeksi HIV karena hubungan seksual atau hal lain.
“Jangan sampai ketika mereka menolong orang yang kecelakaan darah mereka terkena oleh si dia dan juga ada faktor lainnya,” ujarnya.
Akibat stigma dan diskriminasi yang dilakukan oleh keluarga dan masyarakat sekitar membuat para ODHA sulit untuk beraktivitas seperti orang pada umumnya.
Dampak dari stigma juga membuat para ODHA malu untuk tampil di depan publik, tidak mau pengonsumsi ARV, dan banyak dari mereka takut untuk memeriksakan diri ke rumah sakit.
Selain itu, kata Gerad, kendala yang dihadapi dalam menanggulangi penyebaran HIV di Papua karena kurang adanya koordinasi antara para pihak yang bergerak di isu HIV/AIDS, baik Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di berbagai daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota maupun LSM, gereja, tokoh adat, dan komunitas yang bergerak pada isu HIV/AIDS.
“Sejauh ini untuk mengendalikan penularan virus tersebut koordinasi dari para pihak yang bergerak di bidang HIV/AIDS tidak berjalan maksimal, bisa dikatakan jalan sendiri-sendiri, sehingga progres pencapaian dari ini juga tidak terlihat signifikan dan tidak ada kordinasi yang baik di semua lini untuk menanggulangi HIV/AIDS di Papua,” katanya.
Gerad menjelaskan angka kasus HIV/AIDS di Papua per Maret 2019 menurut Kementerian Kesehatan sebanyak 40.805.
Law and Human Rights Officer Indonesia Aids Coalition, Akbar Prayuda, mengatakan, media massa yang sejatinya menjadi ‘panduan’ bagi masyarakat dalam memahami suatu fenomena tidak jarang justru turut menyebarkan mitos-mitos tersebut.
Sejumlah pemberitaan tentang HIV/AIDS yang keliru, mementingkan sensasionalitas, dan tanpa sadar memberikan stigma kepada kelompok tertentu masih kerap ditemui.
Sebagian pemberitaan masih belum menunjukkan sikap empati kepada ODHA dalam mengangkat isu seputar HIV/AIDS.
“Apabila ditelusuri lebih jauh, kondisi ini terjadi akibat berbagai faktor, di antaranya tidak kompetennya narasumber berita, cara pandang media terhadap sebuah isu, atau mekanisme kerja media yang terikat aktualitas, namun hal yang tidak kalah pentingnya adalah kurangnya pemahaman jurnalis mengenai HIV/AIDS,” katanya. (*)
Editor: Syofiardi