Prancis dianggap tidak lagi netral, konflik di Kaledonia Baru dapat pecah kembali

Negara Prancis telah mengerahkan aparat tambahan ke Kaledonia Baru untuk menjaga keamanan selang dan setelah referendum Desember mendatang. - The Guardian/ Dominique Catton

Papua No.1 News Portal | Jubi

 

Oleh Rowena Dickins Morrison, Adrian Muckle & Benoît Trépied

Dengan meningkatnya kemungkinan sisi pro-kemerdekaan untuk menang dalam referendum Kaledonia Baru, Prancis telah membatalkan langkah dekolonisasi yang penting deminya usahanya untuk mempertahankan posisinya di Indo-Pasifik.

Keputusan pemerintah Prancis untuk menyelenggarakan referendum untuk menentukan nasib politik Kaledonia Baru pada 12 Desember, terlepas dari pernyataan partai-partai pro-kemerdekaan bahwa mereka tidak akan berpartisipasi pada tanggal tersebut, adalah langkah politik yang gegabah dengan konsekuensi yang sangat meresahkan.

Referendum ini akan menjadi proses konsultasi masyarakat ketiga dan terakhir yang diadakan di bawah Kesepakatan Nouméa 1998 – kelanjutan dari Kesepakatan Matignon yang mengakhiri konflik dan kekerasan antara gerakan kemerdekaan pribumi Kanak melawan kelompok ‘loyalis’ lokal serta negara Prancis pada 1988. Dengan menyelenggarakan referendum bulan ini tanpa partisipasi masyarakat adat Kanak, yang mayoritasnya merupakan pendukung kemerdekaan, Prancis telah mengecilkan proses dekolonisasi yang inovatif dan damai selama 30 tahun terakhir, yang dibangun di atas kenetralan negara Prancis dengan tujuan untuk mencapai konsensus antara partai-partai politik lokal lokal yang berlawanan.

Salah satu alasan sisi pro-kemerdekaan meminta penundaan referendum ini hingga akhir 2022 adalah adanya kekhawatiran bahwa pemilihan presiden Prancis pada April 2022 dapat menyebabkan campur tangan politik dari pemerintah negara itu. Pada 2019, pemerintah Prancis dan partai-partai politik Kaledonia Baru sepakat bahwa referendum tidak boleh dilakukan berdekatan dengan pemilihan presiden karena alasan ini. Namun pada Juni 2021, pemerintah negara Prancis melanggar kesepakatan ini dan secara sepihak menetapkan jadwal referendum. Meskipun penentuan jadwal referendum memang merupakan wewenang Prancis, langkah ini bertentangan dengan dasar dari Kesepakatan Nouméa yaitu keputusan yang konsensual.

Faktor utama yang memengaruhi peralihan Emmanuel Macron dari posisi netral adalah kemungkinan yang semakin besar bahwa sisi pro-kemerdekaan dapat menang kali ini. Pemilih ‘loyalis’ sudah memenangkan dua referendum sebelumnya pada 2018 dan 2020, tetapi dukungan untuk kemerdekaan Kanak meningkat dari 43,3% menjadi 46,7%. Naiknya jumlah pemilih pro-kemerdekaan yang sebelumnya abstain, atau yang baru mendaftar karena baru mencapai batas umur minimum, berarti prospek kemerdekaan Kanak sekarang lebih nyata dari sebelumnya.

Selain itu, posisi strategis Prancis di Indo-Pasifik juga melemah setelah pengumuman aliansi Aukus dan Australia mengundurkan diri dari janjinya untuk membeli kapal selam Prancis. Kemerdekaan Kaledonia Baru bisa jadi akan semakin mengurangi kekuatan Prancis di wilayah kepulauan pasifik.

Akan tetapi menggagalkan proses dekolonisasi seperti ini tidak hanya akan menjadi reaksioner, tetapi juga picik. Sebelumnya partai-partai pro-kemerdekaan sudah menyarankan agar ada hubungan yang erat, sebuah kemitraan, atau hubungan saling menguntungkan dengan Prancis jika mereka merdeka. Ini sudah menunjukkan adanya indikasi bahwa Prancis masih dapat mempertahankan kepentingan strategisnya dengan Kaledonia Baru yang berdaulat.

Faktor lain yang juga terkait dengan ini adalah keterpilihan Macron menjelang pemilihan presiden. Saingan utama Macron diperkirakan akan berasal dari sayap kanan Prancis, pemilih konservatif yang sangat mendukung Kaledonia Baru agar tetap menjadi bagian Prancis.

Permainan politik berbahaya yang dimainkan oleh Macron saat ini terkait dengan Kaledonia Baru mengingatkan kita kembali akan keputusan yang diambil oleh pemimpin-pemimpin Prancis pada 1980-an, dimana mereka mengabaikan keberatan dari gerakan pro-kemerdekaan, memperalat masa depan Kaledonia Baru dalam arena politik nasional di Paris, dan menyebabkan konflik berdarah antara kedua pihak.

Alasan utama kubu pro-kemerdekaan dan dewan adat Kanak, Kanak Customary Senate, ingin menunda referendum adalah dampak pandemi Covid-19 yang fatal pada masyarakat pribumi sejak September 2021. Sementara masyarakat Kanak dalam masa berkabung, kampanye yang efektif tidak akan dapat dilakukan. Jadi ketika Prancis bersikeras mempertahankan keputusannya mengenai jadwal referendum mendatang dengan alasan situasi telah membaik, mereka telah menunjukkan minimnya pemahaman dan rasa hormat terhadap satu lagi aspek dasar dari Kesepakatan Nouméa: pengakuan identitas dan adat Kanak.

Dengan adanya kemungkinan bahwa sebagian besar pemilih pro-kemerdekaan akan abstain, kemenangan pihak ‘loyalis’ adalah hasil yang sudah pasti akan terjadi. Kesahihan legal dari referendum itu mungkin tidak akan ditantang di bawah hukum Prancis. Namun demikian, tanpa partisipasi dari pemilih pro-kemerdekaan sama sekali, legitimasi hasilnya akan dipertanyakan.

Di tingkat internasional, mengingat hasil ini dan aspirasi berkelanjutan orang-orang Kanak tentang hak mereka untuk menentukan nasib politiknya sendiri, Kaledonia Baru mungkin akan tetap terdaftar dalam daftar dekolonisasi Komite Khusus PBB. Prancis akan kembali dianggap sebagai kekuatan kolonial yang menyebabkan ketakstabilan di Kaledonia Baru dan Indo-Pasifik karena keengganannya untuk melakukan dekolonisasi dengan damai.

Di tingkat wilayah, setelah referendum selesai, pemerintah Prancis telah menetapkan masa transisi selama 18 bulan di mana negara bermaksud untuk melibatkan partai-partai pro dan anti-kemerdekaan dan mempersiapkan proyek bersama yang baru untuk Kaledonia Baru ke depannya. Namun proses dialog yang efektif akan sulit untuk dicapai, bahkan tidak mungkin terjadi, mengingat kendala-kendala yang akan terjadi tentang atas legitimasi referendum dan rusaknya kepercayaan antara Kanak dan negara Prancis.

Pergeseran Prancis dari posisi netral dan pendekatan berbasis konsensus yang telah memastikan perdamaian terjaga selama tiga dekade di Kaledonia Baru berisiko memicu kembali kekerasan yang melanda wilayah itu pada 1980-an. Sama seperti saat itu, ancaman kekerasan saat ini pun datang dari pendukung pro dan anti-kemerdekaan.

Kesepakatan Nouméa telah diabadikan dalam konstitusi Prancis untuk melindunginya dari pengaruh politik nasional. Hal itu tampaknya telah terjadi pada detik-detik terakhir ini. Saat ini Kaledonia Baru berada di ambang krisis sosial-politik yang bergejolak tanpa resolusi yang menjanjikan. (The Guardian)

Rowena Dickins Morrison adalah ahli ilmu politik dan sarjana hukum yang pernah bekerja di Australian National University, Canberra, Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris, dan Université Jean Monnet, Saint-Etienne.

Adrian Muckle mengajar sejarah Pasifik di Victoria University of Wellington, Selandia Baru.

Benoît Trépied adalah seorang antropolog dari French Centre National de la Recherche Scientifique di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales, Paris.

 

Editor: Kristianto Galuwo

Leave a Reply