Papua No. 1 News Portal | Jubi,
Jakarta, Jubi – Sebuah jurnal penelitian oleh seorang dosen National University of Samoa (Universitas Nasional Samoa) memperingatkan bahwa kebebasan media di Samoa masih menghadapi banyak tantangan.
Isu kebebasan media telah memiliki sejarah yang panjang dan patut dibanggakan di Samoa. Berjuang melawan segala macam tantangan, satu-satunya surat kabar harian negara itu, the Samoa Observer, yang didirikan pada tahun 1978, memulai perlawanan demi media yang bebas di bawah kepemimpinan pendirinya yang juga adalah penerbit dan editor perdananya, Gatoa'itele Savea Sano Malifa.
Kini, Samoa memasuki dan menyambut generasi media yang baru. Ada kebutuhan mendesak agar lebih banyak pelatihan dilaksanakan, gaji para staf dinaikkan, lebih banyak perempuan yang terlibat dalam manajemen media, fasilitas teknologi ditingkatkan, serta etika dan nilai-nilai media lebih ditekankan dalam konteks media di Samoa, demikian pendapat Misa Vicky Lepou.
Jurnal penelitian setebal 15 halaman yang disusun oleh Misa, seorang pengajar NUS dan pekerja bidang jurnalisme, yang diterbitkan oleh Pacific Journalism Review (PJR) dalam edisi terbarunya, telah menyoroti beberapa bagian penting di mana praktik jurnalisme lokal Samoa perlu dibenah.
Jurnal tersebut, yang berjudul “Samoa’s media freedom climate: Shining the light”, adalah artikel pengantar untuk edisi khusus PJR mengenai jurnalisme di Asia-Pasifik yang disusun dalam menandai genap 10 tahun Pacific Media Center.
Penelitian Misa ini menelusuri pertumbuhan jurnalisme di Samoa sejak surat kabar harian pertamanya yang hingga kini masih merupakan satu-satunya koran harian di negara itu, didirikan pada tahun 1978 oleh Gatoaitele.
Sebuah editorial oleh Profesor David Robie, mantan kepala program regional untuk jurnalisme dari Universitas Pasifik Selatan, mengatakan: “Pada saat Amerika Serikat sedang mengalami pergolakan perang Vietnam dan tantangan Watergate, di salah satu periode reportase global yang terbaik dan jujur, Misa Vicky Lepou menghidupkan kembali era keemasan jurnalisme investigatif Samoa pada tahun 1970an.
Pertumbuhan media
Namun sejak itu Jurnalisme telah menapaki perjalanan yang jauh. Menurut laporan jurnal tersebut, sekarang ada tujuh belas organisasi media di Samoa yang dikelola secara lokal, baik milik swasta maupun milik pemerintah.
Dengan pertumbuhan media yang menjamur seperti itu, Misa percaya bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk mendorong praktik dan pendidikan jurnalisme yang jauh lebih baik.
“Sebagai satu-satunya perguruan tinggi yang memiliki pendidikan jurnalisme di Samoa, Universitas Nasional Samoa telah menyampaikan tuntutan dari industri ini untuk meningkatkan kurikulum pelatihan dengan cara menjalin hubungan yang kuat dengan industri media,” kata Misa.
“Program Media dan Jurnalisme yang sudah ada sekarang membutuhkan lebih banyak sumber daya agar dapat menjadi program yang lebih mantap,” tambahnya.
“Oleh karena itu, Universitas Nasional Samoa akan terus memajukan dan mendorong rencananya untuk mendirikan program sarjana Bachelor of Arts dengan program studi Media dan Jurnalisme dengan harapan akan ia akan segera diluncurkan.”
Setelah Journalists Association of Samoa (Asosiasi Jurnalis Samoa; JAWS) mulai mengadopsi Kode Etik baru serta Dewan Media yang akan segera dibentuk, Misa mengklaim bahwa etis dana jurnalisme akan bergantung pada lebih banyak pelatihan dan pendidikan tinggi dibidang ini.
Perjuangan kemerdekaan pers di Samoa
Perjuangan the Samoa Observer dalam kebebasan pers juga terkadang tidak menerapkan Kode Etik sebagaimana disorot dalam penelitian ini.
“Masih banyak pedoman kode etis yang harus diperhatikan dalam hubungannya dengan hukum. Jurnalise dan semua praktisi media harus memiliki pengetahuan serta memahami konteks dan isi dari Kode Etik yang baru hukum yang ada yang melindungi karya media bukan hanya sebagai organisasi tapi juga jurnalis sebagai individu.”
Sejalan pikiran dengan studi kasus lainnya yang disirit dalam penelitian ini, Misa juga melihat perlunya kepekaan oleh jurnalis pada saat melakukan pekerjaan, terutama dalam hal profesionalisme.
“Program yang dibawakan oleh NUS akan berfungsi sebagai tujuan pendidikan utama yang akan meningkatkan keterampilan dan pengembangan jurnalisme di Samoa. Sekarang ini kembali lagi kepada masalah pilihan orang-orang yang ingin mengambil studi jurnalisme dan jurnalis yang ada untuk mengambil kesempatan untuk terus mengasah dan meningkatkan keterampilan dan kemampuan mereka dalam bidang jurnalisme di Samoa.”
Penelitian ini lalu menyimpulkan bahwa ada beberapa tantangan menjadi semakin jelas tentang kondisi kerja media yang akan menjadi subjek jurnal lainnya di masa depan.
Masalah gaji yang buruk menyoroti kebutuhan akan peningkatannya, lebih banyak perempuan yang harus dilibatkan dalam pengelolaan media, dan penyediaan fasilitas teknologi yang lebih baik di kantor-kantor media karena tidak setiap reporter memiliki akses ke internet, diperlukan perbaikan sarana transportasi untuk bertugas, serta memperbanyak pelatihan.
Beberapa bidang yang memerlukan perhatian khusus adalah fotografi, media digital dan sosial, presentasi berita radio, serta nilai dan etika dalam melakukan jurnalisme di Samoa.
Pelatihan yang melibatkan kode etik dan standar media perlu diperhatikan jika Samoa ingin mempertahankan rekornya yang membanggakan dalam membela kebebasan media, kata Misa.
*Misa Vicky Lepou mengepalai Sekolah Media dan Jurnalistik di Universitas Nasional Samoa (NUS) di Apia.