PR pembangunan di balik opini WTP di Papua

Jubi | Portal berita No. 1 di Tanah Papua

Oleh Felix Degei

Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah daerah baik di tingkat provinsi, kota madya maupun kabupaten di Papua terlalu sering mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pusat. Tentu kami sebagai warga Papua turut gembira dan bangga atas sederetan prestasi yang diraih oleh pemerintah daerah itu. Karena sebuah penghargaan lazimnya diterima atas usaha dan kerja keras dari pihak yang menerima. Terlebih lagi karena tentu hal tersebut akan membawa nama baik suatu daerah.  

Namun demikian, di sisi lain kami juga melihat momen ini sebagai pemberian beban moral yang sangat besar dan berat buat pemerintah daerah untuk mempertanggungjawabkannya kelak. Hal ini penting mengingat kini realitas pembangunan yang ada di daerah masih terlihat berbanding terbalik dengan sederetan hasil penghargaan yang telah digapai pemerintah itu.  

Sehingga tulisan singkat dan sederhana ini akan membahas secara detail mengenai tiga indikator utama mengapa pembangunan di Papua masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang berat buat pemerintah daerah untuk menyelesaikannya, agar status WTP tersebut tidak hanya menjadi sekadar label belaka tanpa bukti pembangunan yang nyata. Ketiga aspek tersebut antara lain tentang: a)  Angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM); b  Angka Buta Aksara; dan c) Data Daerah Tertinggal di Indonesia.

Data dan fakta angka indeks pembangunan manusia Papua

Suatu daerah atau bangsa dikatakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) baik atau tinggi ketika penduduknya dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya dengan baik dan layak. Sehingga rakyatnya memiliki angka harapan hidup (life expectancy) yang tinggi, memperoleh pendidikan yang layak, serta memunyai standar hidup yang layak (https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/26).

Jika mengacu pada konsep dasar syarat IPM yang baik, maka realitas di Papua saat ini sangat jauh dari idealnya. Ada banyak data dan fakta yang membuktikan hal tersebut. Misalnya pada tahun 2016, IPM Papua mencapai 58,05. Angka ini meningkat sebesar 0,80 poin dibandingkan IPM Papua tahun 2015 yang sebesar 57, 25.  Namun demikian, angka tersebut sedang berada pada kategori urutan terbawah jika dibandingkan dengan 37 provinsi lain di Indonesia. (Sumber: BPS Provinsi Papua No. 25/05/94/ Th. II, 2 Mei 2017).

Data dan fakta di atas mengindikasikan bahwa pemerintah daerah, baik provinsi, kota madya maupun kabupaten di seantero Tanah Papua masih memiliki PR pembangunan yang harus dikerjakan. Hal ini sangat penting sebagai wujud tanggung jawab atas status WTP yang selama ini pemerintah daerah raih.

Data dan fakta angka buta aksara nasional

Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) nasional per 31 Desember 2016, Provinsi Papua masih memiliki angka buta huruf tertinggi di Indonesia dengan 28.98 persen, sementara Nusa Tenggara Barat (NTB) tertinggi kedua dengan 12.94 persen.

Jika dianalisis maka kesenjangan angka dengan peringkat kedua tertinggi saja masih banyak yakni 16.04 persen. Tentu melihat angka melek huruf ini mengindikasikan bahwa Pemerintah Papua masih terus harus bekerja keras untuk pembangunan manusia (Sumber: https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1056).  

Selain itu, Harian Papua online, 1 April 2017, mengungkap bahwa Provinsi Papua masih berada di angka merah untuk buta huruf. Hal ini karena bersama ketiga provinsi lainnya di Indonesia, seperti Maluku, Bali dan NTB masih bertengger di atas 10 persen.  

Laman ini juga mengutip pertanyataan Menteri Keuangan Sri Mulyanie pada Kamis (30/3/2017) bahwa “alokasi anggaran pendidikan terus meningkat namun belum bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia.”

Tentu pernyataan seperti ini mengindikasikan bahwa sebenarnya pemerintah daerah di Papua masih harus bekerja ekstra keras untuk mengimbangi sederetan prestasi WTP itu.   

Data daerah tertinggal di Indonesia    

Tanggal 4 November 2015, Presiden RI  Ir. Joko Widodo melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 131/2015 menetapkan ada 122 kabupaten di Indonesia sebagai daerah tertinggal selama tahun 2015-2019. Ada enam indikator yang dipakai untuk penentuan status daerah tersebut, antara lain: a) perekonomian masyarakat; b) sumber daya manusia; c) sarana dan prasarana; d) kemampuan keuangan daerah; e) aksesibilitas dan f) karakteristik daerah (Sumber: https://news.detik.com/berita/d-3092196/jokowi-tetapkan-122-kabupaten-ini-daerah-tertinggal-2015-2019).  

Dari data tersebut terlihat bahwa Provinsi Papua memiliki jumlah kabupaten dengan status daerah tertinggal terbanyak, yakni 25 kabupaten. Sementara Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan jumlah kabupaten terbanyak kedua dengan 18 kabupaten. Pemerintah daerah dua provinsi tersebut tentu masih memiliki banyak PR pembangunan yang mesti segera dibenahi.

Kendati demikian, hal yang menarik adalah berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) Pusat tahun 2017 ini justru mengagetkan daerah. Dari total 18 kabupaten/kota di Papua yang dapat laporan 8 kabupaten diantaranya dengan status WTP antara lain; Kota dan Kabupaten Jayapura, Jayawijaya, Kepulauan Yapen, Nabire, Mimika dan Kabupaten Asmat. Sementara 6 kabupaten lainnya Wajar Dengan Pengecualian (WDP) diantaranya Kabupaten Keerom, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Yalimo, Supiori dan Kabupaten Paniai. (Sumber: http://www.nabire.net/nabire-bersama-7-kabupatenkota-lain-di-papua-raih-opini-wajar-tanpa-pengecualian-dari-badan-pemeriksa-keuangan/).    

Apapun hasil prestasi yang telah diraih daerah baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi di Papua pemerintahnya harus mempertanggungjawabkannya dengan pembangunan yang nyata. Hal tersebut mesti terlaksana sesuai dengan ‘format bernegara masyarakat madani’. Terlebih khusus pada poin kedua yakni prinsip pelayanan. Karena pada prinsip tersebut mengamanatkan bahwa upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani masyarakat (a spirit of public service), dan menjadi mitra masyarakat (partner of society) atau melakukan kerjasama dengan masyarakat atau co-production (Mustopadidjaja, 1999, p 11-14).

Untuk itu, ada tiga hal yang dituntut bagi pemerintah daerah dalam pembangunan.

Pertama, mereka harus memiliki semangat atau etos kerja untuk melayani masyarakat;

Kedua, mereka juga harus mau dan mampu bermitra dengan masyarakat;

Ketiga, mitra yang dibangun dengan kerja sama yang jelas.

Ketiga aspek ini sangat esensial untuk mewujudkan prinsip transparansi (transparancy) dan akuntabilitas (Accountability) dalam sistem pemerintahan yang baik (Good Governance).

Singkat kata di Papua masih banyak hal yang terus harus dibenahi secara khusus dan serius oleh pemerintah daerah. Misalnya dengan pelayanan publik yang transparan, akuntabel dan merakyat dengan menjawab kebutuhan masyarakat lokal (kontekstual), agar wajah daerah dengan WTP itu benar-benar nampak. (*)

Penulis adalah mahasiswa pascasarjana pada orogram Master of Education di The University of Adelaide, Australia Selatan.

Related posts

Leave a Reply