Politik Kain Timur dan Na-Khohoq orang Tehit

Papua No. 1 News Portal I Jubi

Jayapura, Jubi- Antropolog JR Mansoben mengutip teori pemberian atau "gift" yang pernah dikembangkan ilmuwan Perancis Marcell Mauss yang sampai sekarang masih relevan untuk menjadi alat analisis untuk memahami dinamika politik kontemporer di Papua khusus di Kabupaten Sorong Selatan. 

Pendapat Mansoben ini untuk mengomentari buku berjudul Politik Kain Timur, Instrumen meraih kekuasaan, karya Haryanto dosen Fisip Universitas Gajah Mada.Pertama peranan penggunaan nilai-nilai budaya kain timur yang menuntut pihak penerima untuk harus mengembalikan lebih banyak kepada pihak pemberi sebagai dasar legitimasi kekuasaan. Kedua, tentang seseorang  untuk memanfaatkan modal sosial tersebut untuk kepentingan mencapai tujuan-tujuan politiknya pada masa kini.

Tradisi pertukaran Kain Timur memang tak lepas dari model atau tipe kepemimpinan yang terdapat di kawasan Sorong Selatan termasuk orang Tehit, yakni kepemimpinan pria berwibawa atau local big man (Mansoben, 1994:61-115).

Untuk mencapai seorang local bigman, seorang pemimpin harus memperoleh kedudukan melalui upaya-ulaya tertentu, bukan berdasarkan garis keturunan. Kawasan kepala burung Papua tokoh atau orang yang dipatuhi sebagai pemimpin harus mampu menunjukan kemampuan mengumpulkan sejumlah Kain Timur. 

Menurut Mansoben, kemampuan ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah orang yang memang memiliki kelebihan kalam membandingkan dengan oran lain. Syarat untuk menjadi seorang pria berwibawa antara lain seorang pemimpin selain harus kaya juga memiliki kemampuan berdagang, pandai berdiplomasi dan berperang serta bersikap murah hati. Sikap ini dimaknai sebagai perbuatan memberikan sumbangan atau hadiah kepada orang atau pihak lain.

Tindakan ini jelas untuk memperluas pengaruh seorang pemimpin pria berwibawa atau local big man. Semakin banyak pemberian yang diberikan secara otomatis banyak pula pengembalian yang akan diterima. Pengembalian ini secara otomatis memperkuat posisinya sebagai seorang pemimpin.

Oleh karena itu, pemberian hadiah atau sumbangan bisa pula digunakan sebagai kepentingan politik pihak pemberi. Tak heran kalau konsep gift dalam konteks pemberian hadiah atau sumbangan telah menunjukan bahwa tidak ada hal yang gratis. Atau hal ini bermakna lain dalam prinsip ilmu ekonomi bahwa tak ada makan siang yang gratis atau No Free Lunch.

Lalu apa arti sistem kepemimpinan Na-Khohoq orang Tehit di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat? Hal ini menurut buku Perubahan Sistem Kepemimpinan Na-Khohoq orang Tehit di Kabupaten Sorong Selatan yang ditulis Yudha N Yapsenang, Abdul Razak Macap dan Enrcio Y Kondologit daro  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan  Balai Pelesetarian Nilai Budaya Jayapura-Papua 2015 menyebutkan seorang Na Khohoq artinya orang kaya bangsawan, yang memiliki kain timur pusaka warisan leluhur secara turun temurun.

Lebih lanjut dikatakan karena adanya perdagangan dan tidak semua orang Tehit menguasai bahasa Melayu saat itu dan bisa berdagang sehingga Na Khohoq lah yang mempunyai kekuasaan dan menonjol. Apalagi Khohoq punya kemampuan berdagang dan berbahasa Melayu.

Kemampuan yang dimiliki tentunya seorang Na Khohoq bisa membangun hubungan baru dengan sanak saudara, family dan orang lain melalui pemberian Kain Timur atau bantuan lainnya, yang sifatnya mengikat.

Sistem kepemimpinan pria berwibawa termasuk Na Khohoq semakin pudar kekuasaan dan pengaruhnya akibat masuknya peradaban modern sejak zaman penjajahan Belanda hingga masuknya Indonesia ke Tanah Papua.

UU Pemerintahan Desa No :5 Tahun 1974 yang lebih mencerminkan penyeragaman desa di seluruh Indonesia menyebabkan hilangnya sistem kepemimpinan lokal di Indonesia.

Adanya UU ini disinyalir telah  mengobok-obok “kampung-kampung lokal yang beragam dan tidak memperhatikan legitimasi sejarah kampung yang bersangkutan sehingga pemerintah dengan gampangnya melakukan tindakan-tindakan pembentukan, pemecahan, penyatuan dan penghapusan kampung atau desa . 

Lahirnya UU ini karena dianggap penduduk desa sebagai kumpulan orang-orang semata. Pasalnya UU ini menyebutkan bahwa desa dapat dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat ( 1 ) luas wilayah ( 2 ) jumlah penduduk ( 3 ) dan syarat-syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Lahirnya UU tentang desa, No 6 Tahun 2014, bisa memperkuat kembali sistem kepemimpinan lokal termasuk local bigman. Pasalnya dalam bagian ketiga pemerintahan Kampung Adat, pasal 107 menyebutkan pengaturan dan penyelenggaraan pemerintahan kampung adat dilaksanakan sesuai dengan hak asal usul dan hukum adat yang berlaku di Kampung Adat yang masih hidup serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tidak bertentangan dengan asas penyelenggaraan pemerintahan kampung adat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.(*)

Related posts

Leave a Reply