Papua No.1 News Portal | Jubi
Oleh Maholopa Laveil
Sebuah pemilihan sela yang dilakukan bulan ini telah mengungkapkan kendala signifikan yang dihadapi Papua Nugini (PNG) menjelang pemilihan umum nasionalnya tahun depan.
PNG akan mengadakan pemilu nasionalnya yang ke-10 pada 2022. Pemilihan sela yang diadakan pekan lalu untuk pemilih di dapil Barat Laut Port Moresby (Port Moresby North West/ MNW) memberikan bayangan tentang apa yang diharapkan dari pemilihan tahun depan.
Di PNG, pemilihan sela hanya perlu dilakukan jika terjadi kekosongan kursi dari suatu dapil lebih dari setahun sebelum surat perintah untuk pemilu nasional berikutnya dikeluarkan. Wafatnya Sir Mekere Morauta pada Desember 2020 lalu mengharuskan pelaksanaan pemilihan sela untuk dapil MNW. Surat perintah pelaksanaan pemilu 2022 dijadwalkan pada 14 April 2022.
Surat perintah pemilu MNW dan pencalonan untuk kandidat dibuka tahun ini pada 25 Februari lalu dan ditutup pada 4 Maret. Menjelang penutupan pencalonan, 42 caleg, termasuk seorang perempuan, telah dicalonkan. Jumlah ini lebih tinggi dari tahun 2017, dimana 39 caleg maju di dapil itu. Namun kali ini jumlah kandidat perempuan lebih rendah, sebelumnya ada tiga perempuan yang maju.
Awalnya pemilu ini dijadwalkan pada 3 April lalu, tetapi itu ditunda beberapa kali hingga 2 Juni, akibat PNG berupaya untuk mengendalikan gelombang kedua wabah Covid-19 di negara itu dan kedukaan atas meninggalnya mantan perdana menteri Sir Michael Somare. Jadwal ini lalu ditunda lagi hingga 4 Juni setelah Komisi Pemilihan Umum (PNGEC) mengungkapkan bahwa mereka tidak sempat berkoordinasi dengan kepolisian.
Pemilihan sela ini dilakukan menggunakan daftar pemilih pada 2017, dimana ada 89.472 pemilih terdaftar, dan 89.500 surat suara dicetak. Namun ada banyak laporan bahwa beberapa pemilih yang memenuhi syarat tidak dapat menemukan nama mereka pada hari pemilu karena daftar pemilih tadi tidak diperbarui untuk sesuai dengan tingkat pertumbuhan populasi tahunan Port Moresby yang mencapai 3,5% sejak 2017.
Beberapa kebijakan tambahan diterapkan oleh PNGEC untuk mempermudah administrasi pemilu dan membantu pemilih saat di TPS. Ini termasuk membuat kode warna untuk kotak suara, dua barisan saat mengantri (satu untuk laki-laki, satunya lagi untuk perempuan), protokol kesehatan Covid-19 (mewajibkan pemakaian masker, memeriksa suhu badan, menjaga jarak 1,5 meter, dan membersihkan tangan), serta menetapkan beberapa lokasi untuk penghitungan surat suara. Penghitungan suara untuk pilihan pertama dilakukan di setiap distrik, smenetara penghitungan suara untuk preferensi caleg kedua dan ketiga selama putaran eliminasi dilakukan di satu lokasi. PNGEC telah menerangkan bahwa penghitungan suara di setiap distrik lebih hemat biaya, dan lebih memudahkan untuk kepatuhan protokol kesehatan Covid-19.
Penghitungan suara rencananya akan selesai dalam waktu 21 hari. Pemenangnya, yang akan diumumkan sebelum bulan Juni berakhir, hanya akan menjabat selama sembilan bulan sebelum pemilu 2022 diadakan.
Ketika belajar dari pengalaman pemilihan sela ini, penting untuk diketahui bahwa MNW adalah dapil di daerah perkotaan, sementara sebagian besar dapil PNG lainnya itu ada di daerah pedesaan. Namun, pengalaman dalam pelaksanaan pemilihan sela MNW telah mengungkapkan sejumlah permasalahan yang perlu ditangani sementara persiapan untuk pemilu nasional 2022 dimulai.
Masalah pertama menyangkut pembaruan daftar pemilih, yang umumnya dilakukan setahun sebelum pemilu. Pembaruan daftar pemilih untuk pemilu sebelumnya, yang diadakan pada 2016, dari daftar pemilih pemilu 2012 menunjukkan daftar yang membengkak (pemilih terdaftar melebihi perkiraan sebelumnya sebesar 13% di tingkat nasional).
Untuk pembaruan daftar tahun ini, pemerintah PNG telah mengindikasikan bahwa mereka akan menggunakan hasil sensus Juli 2021 esok untuk memperbarui daftarnya. Namun sensus ini berisiko gagal, seperti halnya sensus sebelumnya pada tahun 2011, diakibatkan oleh alokasi dana yang tidak memadai, kapasitas di dalam Badan Statistik Nasional (NSO) yang tidak pantas, kasus korupsi di saat itu, tantangan logistik – dan sekarang, pandemi.
Persoalan yang kedua menyangkut jumlah caleg yang dicalonkan. Pemilihan sela MNW menunjukkan bahwa jumlah caleg mungkin akan lebih tinggi pada 2022. Pada 2017, rata-rata nasional adalah 30 caleg memperebutkan satu kursi. Jumlah caleg yang terlalu tinggi mempersulit pelaksanaan pemilu dengan memperpanjang proses penghitungan suara. Pada tahun 2017, hanya enam dari 111 kursi yang dinyatakan langsung menang setelah penghitungan pilihan caleg pertama. Sisanya mencapai beberapa babak penyisihan berturut-turut (ada yang mencapai 30 putaran di beberapa dapil), di mana surat suara pilihan kedua dan ketiga dibagikan sampai seorang pemenang diumumkan.
Masalah lainnya menyangkut jumlah caleg perempuan. Pada 2017, lima persen dari semua kandidat adalah perempuan (tidak ada yang berhasil memenangkan kursi sama sekali), dan pemilihan sela MNW menunjukkan bahwa pada tahun 2022 jumlah total perempuan yang maju mungkin lebih rendah.
Masalah dengan pemungutan suara juga harus diselesaikan. Pada 2017, tingkat partisipasi pemilih yang tinggi (90%) terjadi karena pemilih memanfaatkan tingginya jumlah surat suara untuk memilih lebih dari satu kali. Ada juga berbagai kendala akibat pemungutan suara di bawah umur, pemungutan suara terbuka, pemungutan suara blok (perwakilan memilih atas nama seluruh komunitas tertentu), pemungutan suara melalui proksi, dan pemungutan suara oleh keluarga (dimana lebih dari satu anggota keluarga masuk bilik pemilihan bersamaan).
Satu hal lain yang juga mengkhawatirkan adalah menghitung surat suara preferensi pertama di beberapa distrik, bukan di satu tempat sentral. Tidak seperti satu lokasi yang sentral, jika penghitungan dilakukan beberapa lokasi mungkin berarti tidak semua pengawas dari caleg bisa hadir, dan ini akan semakin memakan sumber daya untuk pemilu dan keamanan, serta meningkatkan kemungkinan curang dalam penghitungan surat suara.
Isu lainnya adalah kepala PNGEC saat ini masih dalam kapasitas Pelaksana Tugas, posisinya belum dikonfirmasikan hingga saat ini. Berbagai penelitian telah menemukan bahwa pejabat yang masih berkapasitas sebagai Pelaksana Tugas dapat dimanipulasi ketika dihadapkan dengan masa depan yang tidak pasti. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat Plt kepala komisi PNGEC saat ini ditangkap pada 2017 atas tuduhan korupsi, dan yang sebelumnya ditangkap pada 2019 atas tuduhan korupsi, pencucian uang, dan konspirasi.
Sejauh ini pemilu sela MNW menunjukkan bahwa masih banyak masalah dari pemilu 2017 yang belum diselesaikan dengan memadai. Masalah-masalah ini harus dihadapi jika PNG ingin menyelenggarakan pemilu yang kredibel tahun depan. (The Interpreter)
Maholopa Laveil adalah seorang dosen ekonomi di Universitas Papua Nugini (UPNG).
Editor: Kristianto Galuwo