Oleh : Dewan Editorial Samoa Observer
Papua No.1 News Portal | Jubi
Perjalanan wartawan untuk mengekor politisi adalah suatu hal yang lucu. Wartawan menghabiskan waktu mereka dengan mencatat dengan saksama dan mempertanyakan segala sesuatu yang dikatakan seorang pemimpin dengan harapan bisa melihat sekilas kepribadian dan motivasi para politisi yang umumnya dijaga dari publik.
Dan kemudian, dengan sekejap, sebuah pernyataan singkat dapat membuka suatu aspek mereka yang belum pernah kelihatan sebelumnya.
Begitu pula yang terjadi pada Perdana Menteri sementara Samoa, Tuilaepa Dr. Sa’ilele Malielegaoi. Dalam sebuah wawancara yang diterbitkan dalam Samoa Observer edisi Rabu lalu ia mengaku diangkat oleh Tuhan.
Pengakuan ini bukan diungkapkan setelah ada pertanyaan yang sulit, atau isu yang genting. Pandangan Tuilaepa tentang dirinya sendiri adalah seorang laki-laki yang berdiri di puncak ranah politik Samoa, bahwa ia tidak ada tandingannya; seorang laki-laki yang tidak menghormati lembaga yudikatif negara itu, sebuah cabang yang kekuasaannya setara, yang ia anggapl sebanding dengannya.
Tanggapannya itu ia utarakan terhadap apa yang, jika diletakkan dalam gambaran lebih besar, hanyalah protes politik yang relatif kecil oleh kelompok Samoa Solidarity International Group (SSIG) pekan lalu. Namun kata-katanya memberikan pengetahuan yang dalam akan dirinya, yang ternyata menganggap dirinya itu begitu hebat sehingga hukum Samoa tidak berlaku padanya.
Sekitar seratus orang berkumpul untuk bernyanyi dan menari di luar gedung pengadilan dan mendesak sang Perdana Menteri mundur. Protes yang dilakukan kelompok itu menyebabkan reaksi yang jauh lebih besar dari target protes awal mereka, mungkin lebih besar daripada yang mereka inginkan, ketika Tuilaepa duduk melakukan wawancara eksklusif dengan Samoa Observer pada hari Sabtu.
Mengapa, dia bertanya kepada reporter kami, mengapa para pengunjuk rasa harus repot-repot melakukan protes di luar gedung pengadilan? Pengadilan, menurutnya, itu tidak relevan dengan politik Samoa.
“Saya ini ditunjuk oleh Tuhan untuk memimpin negara ini, jika mereka ingin saya mundur,” katanya kepada Samoa Observer, “mereka seharusnya pergi ke gereja dan berdoa, bukannya melakukan protes di depan gedung pengadilan. Pengadilan tidak memiliki wewenang atas penunjukan saya sebagai Perdana Menteri.
Tuilaepa lalu mengimbau kelompok SSIG “untuk memprotes melalui doa dengan berlutut di dalam gedung gereja. Masalahnya adalah, saya tidak menunjuk diri saya sendiri, dan bahkan jika mereka ingin protes di depan gedung pemerintah mereka juga akan pergi ke tempat yang salah. Mereka harusnya pergi ke gereja,” Tuilaepa kembali menekankan.
Sang Perdana Menteri hampir tidak pernah sebelumnya berkata dengan begitu terbuka mengenai betapa terbaurnya dia dengan lembaga-lembaga Pemerintah Samoa sendiri, dan seberapa besar otoritas yang dia punya atas siapapun yang menghalangi jalannya. Bangsa ini telah jatuh ke dalam suatu krisis konstitusional, dan Perdana Menteri sementara telah menunjukkan bahwa dirinya sama sekali tidak mampu menyelesaikan krisis ini melalui cara yang konstitusional. Dia tidak merahasiakan fakta ini ketika dia, di hadapan publik, mengumumkan hal-hal seperti: “Peradilan tidak memiliki wewenang atas penunjukan saya sebagai Perdana Menteri.”
Perdana Menteri, pendapat kami berbeda, dan kami menyarankan agar Anda membaca konstitusi negara Samoa untuk belajar akan permasalahan ini dari tingkat yang paling dasar.
Faktanya adalah saat ini pengadilan sedang mengambil putusan: apakah ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan dan mengadakan pemilu kedua atau tidak, dan ia harus menghormati putusan mereka nantinya. Karena pernyataan dan perilaku seperti ini, reputasi internasional Samoa semakin disamakan dengan negara-negara boneka yang paling tidak dihormati di dunia.
Sementara itu falsafah politik Perdana Menteri ini ada ditengah-tengah pandangan Kekaisaran Romawi dan pemerintah Raja Henry VIII.
Itu bukanlah kata-kata seorang perdana menteri di demokrasi yang modern.
Dan melalui perspektif inilah kita harus melihat sejumlah keputusan sang Perdana Menteri baru-baru ini, seperti membentuk sebuah gugus tugas khusus untuk menyelidiki pelarangan atas media yang digunakan oleh puluhan ribu orang karena itu akan menguntungkannya secara politis.
Dalam negara-negara bersistem demokrasi, Perdana Menteri adalah memiliki status tertinggi; ia juga merupakan Anggota Parlemen sama seperti rekan-rekannya yang lain; ia bisa saja kehilangan kursinya seperti orang lain; dan keputusannya pun masih harus diperiksa oleh kabinet atau cabang Pemerintah lain sama seperti yang lainnya.
Seorang laki-laki yang percaya bahwa dirinya hanya bertanggung jawab kepada ilahi bisa saja menyebabkan independensi sistem peradilan dilemahkan baru-baru ini, seperti yang kita saksikan pada bulan Desember dimana ia merombak total sistem peradilan Samoa.
Dia mempermudah komisi Judicial Services Commission – sebuah badan yang beranggotakan oleh orang-orang yang ditunjuknya – agar dapat memecat seorang hakim anggota Mahkamah Agung, sesuatu keputusan yang sebelumnya hanya dapat dilakukan oleh mayoritas parlemen.
Sekarang dia berusaha agar ada kesempatan kedua lagi dengan pemilu ulang setelah dia kalah menurut hasil pemilu pertama 9 April sehingga sebuah lembaga pemerintah terpaksa harus campur tangan dengan meningkatkan ukuran Parlemen dan merekayasa hasil pemilu hingga ada seri.
MA Samoa sekarang memiliki dua beban utama, krisis konstitusional dan upaya untuk mencabut MA dari peran demokratisnya untuk memutuskan siapa yang memenangkan pemilu 9 April. Mengingat pemilu kedua akan diadakan kurang dari 10 hari lagi (jadwal pemilu ulang adalah 21 Mei 2021), sekarang MA tidak mungkin mengambil putusan atas pertanyaan-pertanyaan konstitusional yang rumit seperti apakah Kepala Negara Samoa memiliki wewenang untuk membubarkan Parlemen dan mengadakan pemilihan bahkan sebelum parlemen itu melakukan sidang perdana (kami yakin dengan pasti bahwa ia tidak wewenang seperti itu). Belum lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang harus dibahas, dimana semuanya seolah diangkat oleh Tuilaepa, seperti apakah menambah satu kursi di parlemen setelah pemilu yang menyebabkan kebuntuan politik itu sah menurut konstitusi.
PM Tuilaepa tampaknya tidak lagi menyembunyikan rasa denkinya terhadap lembaga peradilan. Fakta bahwa ia sama sekali tidak menghormati sistem peradilan adalah satu-satunya bukti yang kita perlukan untuk menunjukkan bahwa ia tidak mampu menyelesaikan krisis politik saat ini tanpa menghancurkan demokrasi Samoa.(Samoa Observer)
Editor: Zely Ariane