Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Bal Kama
Pengumuman dari Pemerintah Papua Nugini (PNG) baru-baru ini untuk menghentikan semua negosiasi dengan salah satu perusahaan migas terbesar Amerika Serikat, Exxon Mobil, atas proyek P’nyang LNG, ladang gas alam baru di PNG, memiliki sejumlah implikasi yang lebih luas untuk AS dan Papua Nugini.
Sekilas, keputusan mengenai Exxon karena dituduh bertindak dengan niat buruk, adalah bagian dari tindak tegas yang lebih meluas oleh pemerintah Perdana Menteri James Marape, untuk memastikan keadilan lebih ditegakkan di sektor sumber daya mineral dan migas. Sejak menggeser Perdana Menteri Peter O’Neill dalam mosi tidak percaya pada 2019, Marape telah memetakan pendekatan yang berbeda dari pendahulunya, di bawah slogan ‘Take Back PNG’ – kebijakan meluas yang bertujuan untuk menganalisis kembali arah pertumbuhan PNG dan memenangkan kembali peluang yang hilang. Marape menjabarkan visinya dalam kunjungan perdananya ke Australia pada 2019, dan sejak itu telah secara bertahap menerapkannya di banyak sektor.
Keputusan tersebut menggambarkan rasa frustrasi yang menggunung dalam berurusan dengan investor di PNG yang kaya SDA, dan lebih lanjut menunjukkan bangkitnya generasi pemimpin-pemimpin PNG baru yang kian percaya diri dalam menilai kembali status quo di negara itu. Untuk AS, sifat Exxon dikritik oleh pemerintah PNG sebagai ‘mengeksploitasi’, melemahkan upaya-upaya AS di wilayah Pasifik yang berusaha untuk tampil sebagai bangsa yang benar-benar peduli dengan orang lain.
Exxon Mobil memiliki proyek gas alam cair atau LNG bernilai AS$ 19 miliar di PNG (bernama PNG LNG), yang melakukan pengiriman keluar pertamanya pada 2014. Proyek PNG LNG, yang hingga saat ini masih merupakan investasi ekonomi terbesar AS di Pasifik, bertepatan dengan pengumuman mantan Presiden AS, Barack Obama, pada 2012 tentang kebijakan ‘pivot to the Pacific’. Situasi geopolitik saat itu, euforia karena AS tertarik pada PNG, dan harapan yang melambung tentang kehadiran perusahaan global dan terkemuka, serta faktor-faktor lainnya, memengaruhi kesepakatan awal antara pemerintah PNG dengan Exxon untuk mengoperasikan proyek PNG LNG. Kesepakatan itu diharapkan akan memiliki dampak yang luar bisa pada perekonomian PNG – jaminan yang masih terus dipercaya oleh beberapa pihak.
Namun, secara keseluruhan, perekonomian PNG tidak mengalami keuntungan yang diproyeksikan. Sebaliknya, ada serangkaian dampak negatif selama beberapa tahun terakhir, di tingkat nasional dan lokal – utang nasional meningkat, dan pengaturan pembagian manfaat dan royalti yang tidak menguntungkan telah menyebabkan konflik di antara pemilik tanah adat. Banyak yang mempertanyakan apakah ledakan sumber daya LNG yang ditandai oleh proyek PNG LNG sebenarnya adalah ‘kutukan sumber daya alam’.
Niat buruk
Turunnya Perdana Menteri Peter O’Neill pada 2019 sebagian besar disebabkan oleh banyaknya keluhan atas kegagalan proyek yang dipimpin Exxon dan perusahan lainnya dalam memenuhi komitmen mereka. Masalah yang penting adalah tingginya jumlah konsesi yang dimungkinkan dalam kesepakatan itu. Selama ini, Pemerintah PNG, yang putus asa untuk menjadi lebih bersahabat bagi investor, telah mengambil keputusan tergesa-gesa untuk memberikan keringanan yang sering kali menghentikan negara dari menerima manfaat yang adil dari pemasukan yang dihasilkan dari pengembangan SDA mereka sendiri.
Dalam laporannya pada 2016, Dana Moneter Internasional (IMF) mengamati bahwa “pengaturan pajak bagi sektor pertambangan dan migas PNG sangat murah hati dibandingkan dengan negara-negara kaya SDA lainnya dan tidak mencerminkan kematangan sektor SDA PNG.” Bank Dunia, dalam laporannya pada 2017, juga menemukan, secara khusus, untuk proyek LNG yang dioperasikan oleh Exxon, bahwa Exxon Mobil dan mitra-mitranya dalam proyek PNG LNG telah membentuk “serangkaian pengecualian dan tunjangan-tunjangan yang rumit yang berarti hanya sedikit pendapatan yang akan diterima oleh pemerintah dan pemilik- pemilik tanah.”
Pemerintah PNG pun harus mengambil tanggung jawab atas kesalahannya dalam menciptakan keadaan ini – termasuk, misalnya, kegagalan pemerintah PNG yang sebelumnya untuk menegosiasikan pengaturan yang menguntungkan bagi negara tersebut, penyalahgunaan dana oleh pemimpin- pemimpin politik, birokrasi yang dipolitisasi sehingga tidak melaksanakan tugasnya untuk memastikan uji tuntas, dan intervensi yudisial yang terkadang menghambat pembayaran kepada pemilik tanah, membuat mereka merasa tidak puas.
Namun, ini tidak membenarkan Exxon dan para mitranya dari ketidakadilan yang dijabarkan dalam laporan-laporan ini. Hal Ini, bersama dengan pengalamannya sebagai menteri saat pemerintah sebelumnya berkuasa, menyolidkan keputusan Marape yang tegas dalam mengambil pendekatan berbeda saat merundingkan proyek P’nyang LNG ini.
Dalam imbauannya agar Exxon Mobil lebih adil, Marape menekankan bahwa “persyaratan awal dari proyek PNG LNG yang diajukan oleh Pemerintah PNG sangat murah hati” dan bahwa “persyaratan yang lebih wajar” baru harus dipertimbangkan untuk proyek P’nyang LNG.
Persyaratan yang diusulkan kali ini oleh Pemerintah PNG tidak bisa dilihat oleh kalangan umum. Tetapi, tampaknya ini termasuk tidak memberikan keringanan fiskal untuk proyek di P’nyang, memperlakukannya sebagai proyek terpisah dari proyek- proyek LNG saat ini, dan meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dan royalti pemilik tanah adat, dari jumlah yang berlaku saat ini menjadi dua persen.
Perdana Menteri Marape menggambarkan penolakan Exxon untuk menerima persyaratan baru itu sebagai upaya untuk “mendapatkan lebih banyak keuntungan untuk diri mereka sendiri”, sementara Kerenga Kua, Menteri Migas dan Energi, mengecam Exxon karena bertindak dengan ‘niat buruk’ dan masuk ke PNG ‘dengan tekad untuk mengeksploitasi kelemahan kita, mengeksploitasi kita karena posisi ekonomi kita yang lemah, dan mengambil keuntungan dari kita.
Populis yang tegas
Posisi tegas yang diambil oleh pemerintah Marape ini adalah sejarah baru – tidak ada pemerintah sebelumnya yang pernah mengambil pendekatan seperti itu. PNG telah memiliki beberapa perjanjian mengenai proyek SDM dan migas di masa lalu yang hasilnya tidak menguntungkan bagi negara, tetapi pemerintahan sebelumnya telah terbukti lebih berpihak dengan investor daripada dengan warga mereka sendiri.
Pemimpin-pemimpin dan orang-orang PNG tampaknya mendukung pendekatan Marape. Lebih dari itu, pemerintah sedang mempertimbangkan untuk mengubah dan memperketat kerangka kerja legislatif untuk memastikan sektor SDA yang seimbang.
Marape tidak mungkin menyerah pada Exxon Mobil, ia sudah menegaskan: “Kalian menang untuk pemegang saham kalian, dan saya menang untuk orang-orang saya.” James Donald, anggota parlemen yang mewakili daerah di mana proyek P’nyang LNG berlokasi, memperingatkan Exxon agar tidak melewati batas “antara paritas dan ketamakan”. Anggota-anggota parlemen lain yang mewakili daerah yang kaya SDA juga telah menunjukkan dukungan mereka atas sikap Marape terhadap Exxon.
Pemerintah PNG kemungkinan akan mempertimbangkan kembali posisinya saat ini jika Exxon memberikan tanggapan positif atas persyaratannya. Namun, sampai hal itu terjadi, tampaknya ada sentimen ketidakpercayaan publik terhadap Exxon dari orang-orang PNG – situasi yang jauh dari harapan yang dilambangkan oleh Exxon ketika itu pertama kali memasuki PNG. Rasa ketidakpercayaan terhadap Exxon memiliki implikasi yang lebih luas ketika seseorang menganggap Exxon tidak hanya mewakili prestise ekonomi AS di Pasifik, tetapi suatu negara yang bisnisnya diharapkan mencerminkan nilai-nilai demokrasi yaitu keadilan. Semakin lama perselisihan antara Exxon dan Pemerintah PNG berlanjut, semakin besar rasa ketidakpercayaan akan bertumbuh, tidak hanya untuk Exxon, tetapi untuk apa yang ia lambangkan Amerika Serikat – di Pasifik.
Ketika masa tenggang untuk pengajuan mosi tidak percaya terhadap pemerintah PNG habis pada nanti, mereka yang terkena dampak kebijakan Marape mungkin berharap ada perubahan dalam pemerintah. Mengingat dunia politik PNG yang berubah-ubah, Marape yang populis dan lebih berprinsip menghadapi tantangan, bukan hanya langsung dari saingan politiknya, namun juga dalam ruang-ruang rapat perusahaan besar. Tetapi pendekatannya terhadap pemerintah sejauh ini telah memenangkan masyarakat Papua Nugini. (The Interpreter)
Bal Kama baru saja menyelesaikan program doktoral (PhD) dalam bidang hukum di Universitas Nasional Australia (ANU).
Editor: Kristianto Galuwo