Papua No.1 News Portal | Jubi
Honiara, Jubi – Perdana Menteri Manasseh Sogavare berhasil mengalahkan mosi tidak percaya di parlemen Kepulauan Solomon setelah mayoritas anggota parlemen memberikan suara untuk mendukungnya, pemimpin yang telah diminta undur dalam kerusuhan baru-baru ini.
Sogavare dengan nyaman mempertahankan posisinya sebagai pemimpin,dengan 32 suara menentang mosi tersebut, 15 suara mendukungnya, dan dua anggota parlemen absen.
“Jika saya mengundurkan diri, Pak, itu akan menjadi pesan kepada anak-anak dan orang-orang muda kami bahwa setiap kali kami tidak puas dengan mereka yang berkuasa, kami mengambil tindakan sendiri,” tegas Sogavare menjelang pemungutan suara itu. “Ini adalah pesan yang sangat berbahaya bagi rakyat kita dan generasi mendatang.”
Pemimpin oposisi, MP Matthew Wale, mendesak pengajuan mosi tersebut setelah beberapa hari penuh kerusuhan anti-pemerintah mematikan, yang menyebabkan puluhan bangunan dibakar dan toko-toko dijarah di Honiara lebih dari seminggu yang lalu.
MP Wale menekankan bahkan ia pun ragu untuk mengajukan mosi itu karena ia takut itu akan “semakin meningkatkan tingkat kemarahan yang sudah tinggi di kalangan tertentu di masyarakat”.
Aksi protes berubah menjadi ganas dan menewaskan empat orang, menghancurkan sebagian besar daerah Chinatown di Honiara setelah PM Sogavare menolak untuk bertemu dengan pengunjuk rasa yang telah datang dari Provinsi Malaita.
Malaita, provinsi terpadat di negara itu, memiliki sejarah konflik yang panjang dengan Provinsi Guadalcanal di mana pemerintah nasional berlokasi, dan menentang keputusan pemerintah Sogavare pada 2019 untuk secara resmi mengakui Tiongkok, bukan Taiwan seperti sebelumnya.
Kapal-kapal telah dilarang berlayar di pelabuhan Honiara, dan lebih dari 200 polisi dan tentara dari Australia, Selandia Baru, Papua Nugini, dan Fiji masih dalam keadaan siaga.
Sogavare berkeras bahwa agen-agen Taiwan yang menyebabkan ‘percobaan kudeta’ ini.
Sebelumnya, pada Senin pekan lalu, MP Wale menerangkan bahwa orang-orang Kepulauan Solomon itu tidak puas karena sistem pelayanan kesehatan yang tidak memadai, lahan produksi diambil oleh orang asing, dan perusahaan penebangan mengesampingkan kepentingan masyarakat lokal.
Penjarahan dan kekerasan yang terjadi sejak 24 November memang harus dikecam, tegas Wale, tetapi “itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penjarahan yang terjadi di puncak”. (ABC)
Editor: Kristianto Galuwo