Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh The Editorial Board, Samoa Observer
Lima puluh delapan tahun yang lalu di Malae o Tiafau, untuk pertama kalinya bangsa Samoa dengan bangga mengibarkan bendera kemerdekaannya.
Dengan melakukan hal itu, Samoa, di bawah kepemimpinan leluhurnya menyobek perjanjian perwaliannya, Trusteeship Agreement, dengan Selandia Baru, mengakhiri kekuasaan Selandia Baru di negara itu selama lebih dari 40 tahun, mengembalikan kedaulatan penuh kepada orang-orang Samoa untuk membentuk pemerintah mereka sendiri.
Tapi hari itu bukan hanya mengenai keberhasilan Samoa untuk melepaskan diri dari kendali Selandia Baru. Kejadian hari itu lebih dari itu. Itu adalah puncak dari perjuangan orang-orang Samoa yang mengenaskan, berdarah, dan penuh kesusahan untuk merebut kembali kedaulatan negara mereka dari penjajah dan pemerintah lainnya – termasuk Jerman.
Itu adalah perjuangan yang berlangsung selama bertahun-tahun. Perjuangan ini merenggut banyak nyawa, banyak air mata tumpah, keluarga tercerai-beraikan, pejuang kemerdekaan Samoa diasingkan, dan ada banyak memori buruk lainnya. Periode itu bukanlah saat yang mudah.
Itulah sebabnya saat almarhum Malietoa Tanumafili II dan almarhum Tamasese Meaole mengibarkan bendera Samoa sementara almarhum Mata’afa Fiame Faumuina Mulinuiu II menonton, akan tetap menjadi salah satu momen terpenting dalam sejarah bangsa Samoa.
Orang-orang yang cukup beruntung untuk menjadi bagian dari hari bersejarah itu sering kali berbicara tentang bagaimana Tuhan menerangi Samoa. Mereka bercerita bagaimana hujan deras mengguyur hari itu, namun ketika tiba waktunya upacara, hujan di Mulinu’u mendadak berhenti. Selebihnya, seperti yang mereka katakan, adalah sejarah.
Selama 57 tahun, Samoa, diguyur hujan atau diterangi matahari, dengan bangga merayakan kemerdekaannya, tidak hanya di Mulinu’u tetapi di seluruh negeri. Dengan penyebaran orang-orang Samoa ke seluruh penjuru dunia, Hari Kemerdekaan Samoa selalu menjadi acara yang dinanti-nantikan.
Hampir setiap orang Samoa pasti memiliki pengalaman tentang perayaan kemerdekaan, mulai dari parade di pagi hari, pertunjukkan adat, lomba kapal fautasi asli Samoa, dan berbagai macam cara kita masing-masing mengenang dan merayakan kemerdekaan kita.
Tahun ini tidak akan ada perayaan resmi di Mulinu’u. Sejujurnya, kita juga merasa keputusan itu mengecewakan. Terlepas dari kenyataan bahwa tidak ada kasus virus Corona di Samoa, Pemerintah telah menggunakan keadaan darurat Covid-19 sebagai alasan resmi untuk membatalkan perayaan tahun ini.
Ini berarti satu-satunya perayaan yang akan kita rasakan adalah hari libur nasional pada Senin, dimana pengibaran bendera oleh Anggota Dewan Deputi, Le Mamea Ropati Mualia, akan disiarkan melalui televisi. Ini akan diikuti oleh Pidato Kemerdekaan dari Kepala Negara, Yang Mulia Tuimaleali’ifano Vaaletoa Sualauvi II, dan itu saja.
Pada hari kemerdekaan, dari hari-hari lainnya, kita berharap akan ada pengecualian, terutama karena kita masih tidak ada satupun kasus virus Corona. Namun, kita juga tidak heran jika pemerintah tidak ingin merayakannya.
Hari kemerdekaan tahun ini jatuh di tengah-tengah perdebatan yang sangat kontroversial mengenai RUU Amandemen Konstitusi 2020, RUU untuk membentuk pengadilan khusus tanah dan hak kepemilikannya Lands and Titles Court 2020, dan RUU Peradilan 2020, yang mengancam undang-undang dasar Samoa, Konstitusi Samoa, yang merupakan dasar harapan dan impian leluhur kita yang memperjuangkan kebebasan Samoa. Inti dari perdebatan tentang ketiga RUU ini telah didokumentasikan dengan baik di halaman surat kabar berulang kali dan kita tidak akan membahasnya lagi di tulisan ini. Cukup kita tegaskan bahwa ancaman terhadap aturan hukum dan hak-hak demokrasi, hak yang sama yang diperjuangkan hingga titik darah terakhir leluhur kita ditumpahkan, tidak biasa diabaikan.
Pada hari ini, marilah kita mengingat hal yang penting. Kita memberikan penghormatan kepada leluhur kita dan jalan yang mereka buka untuk Samoa dengan darah, air mata, dan keringat. Kita tidak boleh melupakan perjuangan mereka.
Mari kita mengenang rumah kebebasan di Mulinu’u yang telah dihancurkan beberapa tahun lalu, disertai janji Pemerintah untuk membangun sebuah monumen untuk menghormatinya, yang belum kita lihat hingga saat ini. Bangunan itu adalah tempat dimana bendera pertama Samoa dikibarkan pada 1962, ia adalah lambang perjalanan Samoa menuju kemerdekaan.
Mari kita juga kenang juga Gedung Pengadilan lama di Beach Road di Apia yang saat ini sedang dipugar. Bangunan itu berdiri dengan bangga sebagai simbol hukum dan ketertiban, pemerintahan, dan sejarah Samoa selama beberapa dekade. Menghancurkan gedung ini tanpa mengakui sejarahnya atau melakukan upacara adalah indikasi tentang apa yang terjadi di Samoa dewasa ini. Apakah pembongkaran gedung itu yang berkenaan dengan perayaan kemerdekaan adalah kebetulan? Apakah fakta bahwa perayaan kemerdekaan tahun ini telah dibatalkan mengejutkan siapa pun?
Saat ini, di Samoa, ada banyak hal yang patut disyukuri. Sejak 1962, kemajuan Samoa sebagai negara yang berdaulat menjadi contoh di Pasifik dan di dunia tentang bagaimana menjaga perdamaian, stabilitas politik, serta menghormati supremasi hukum. Meskipun kita juga menghadapi berbagai masalah selama proses ini, kita cukup berhasil dalam memajukan Samoa sambil, pada saat yang bersamaan melestarikan warisan budaya, adat, identitas, bahasa, tanah, lautan, dan sistem kepala suku kita.
Berbagai pemerintah yang berbeda sejak 1962 turut membentuk Samoa hari ini. Partai Perlindungan HAM (HRPP), yang berkuasa di bawah bimbingan almarhum Tofilau Eti Alesana dan sekarang Tuilaepa Dr. Sa’ilele Malielegaoi, telah melakukan banyak hal untuk memajukan negara ini. Kita menghargai perjuangan mereka dengan penuh ucapan syukur.
Tetapi, saat kita berhenti sejenak untuk merenungkan sejarah bangsa Samoa, kita ingin mengingatkan seluruh Samoa akan apa yang dikatakan Almarhum Tupua Tamasese ketika dia berpidato pada hari dimana bendera kita dikibarkan untuk pertama kalinya. Khususnya, kita ingin mengenang ‘pesannya kepada generasi muda’ Samoa. Kepada mereka, dia berkata:
“Takdir Samoa yang sukses di masa depan berada di tangan kalian, dan adalah tugas kalian untuk selalu memegang obor kebebasan agar ia bercahaya di seluruh penjuru negeri.”
Merefleksikan apa yang terjadi di Samoa selama beberapa saat terakhir ini, hari ini, dan ancaman yang kita saksikan saat ini, seolah-olah almarhum Tupua Tamasese bisa memperkirakan apa yang akan terjadi 58 tahun yang lalu.
Ia bisa saja menyampaikan pidato yang sama besok di Mulinu’u, dan pidato itu masih sangat relevan. Begitulah kebijaksanaan, visi, dan harapan kita sementara kita merayakan kemerdekaan Samoa, kita harus selalu melangkah dengan hati-hati, terutama ketika menyangkut Konstitusi.
Selamat Hari Kemerdekaan Samoa! (Samoa Observer)
Editor: Kristianto Galuwo