Papua No.1 News Portal | Jubi
Selama tiga dekade kehidupan Theonila Roka Matbob, lubang bekas galian tambang di tanahnya, yang dulunya merupakan tambang tembaga terbesar di dunia, membuatnya sedih. Tambang Panguna di Bougainville, sebelah timur Papua Nugini, tidak menghasilkan sedikit pun tembaga selama hidupnya – tambang itu sudah ditutup paksa setahun sebelum Matbob lahir – tetapi dia tumbuh dalam bayang-bayang konflik sipil brutal yang disebabkan olehnya.
Ketika dia baru berusia tiga tahun, ayahnya, John Roka, meninggal dibunuh oleh tentara separatis yang memaksa agar tambang itu ditutup. Bertahun-tahun menghabiskan waktu di “pusat pengasuhan” yang dijalankan oleh pasukan pertahanan PNG, Matbob mengenang masa kecilnya yang dipenuhi oleh rasa takut, di mana suara tembakan terdengar di seluruh lembah, di mana tetangganya menghilang dari rumah mereka, tubuh mereka kemudian ditemukan telah disembelih.
Sekarang ada kedamaian di sana, namun ingatan itu masih ada, dan “kami hidup dengan dampak Panguna setiap hari,” tutur Matbob.
“Sungai kami dicemari oleh tembaga, rumah kami dipenuhi debu dari gundukan tailing, anak-anak kami sakit karena polusi. Setiap kali hujan semakin banyak limbah tailing yang masuk ke sungai, menyebabkan banjir di desa-desa di hilir. Beberapa komunitas sekarang harus menghabiskan waktu dua jam sehari berjalan kaki hanya untuk mendapatkan air minum bersih karena anak sungai di dekat daerahnya dipenuhi oleh limbah tambang.“
Hari ini Panguna sepi. Truk-truk bekas tambang berkarat akibat udara panas dan lembap di Bougainville; lubang tambang besar yang digali di tengah gunung itu dihuni oleh segelintir penambang, menggali dengan perkakas tangan untuk mencari emas; sementara di delta sungai Kawerong-Jaba, di bagian hilir, dibanjiri air berwarna biru terang yang meracuni tanah dan orang-orang yang tinggal di sana.
Dan Matbob, gadis kecil yang tumbuh dalam bayang-bayang kekerasan tambang itu, sekarang adalah seorang anggota parlemen, bertekad untuk memperjuangkan hak orang-orang Panguna.
Baru terpilih ke parlemen Bougainville dari dapil Ioro, yang meliputi daerah Panguna, Matbob telah memimpin pengaduan resmi ke pemerintah Australia terhadap Rio Tinto atas pelanggaran lingkungan dan HAM yang disebabkan oleh tambang itu.
Sebuah warisan yang beracun
Panguna adalah tambang yang sangat profitabel. Selama 17 tahun, itu menghasilkan lebih dari AS$ 2 miliar bagi mantan pemilik dan operator tambang, Rio Tinto, yang menggali 550.000 ton konsentrat tembaga dan 450.000 ons emas dari tambang tersebut hanya tahun terakhirnya.
Pada satu waktu, Panguna mendominasi 45% dari semua ekspor PNG, dan 12% dari PDB-nya.
Tetapi bagi mereka yang memiliki tanah itu, Panguna hanya membawa kesejahteraan dan pembangunan yang lebih sedikit dari janjinya – kurang dari 1% keuntungan – dan hanya meninggalkan warisan perpecahan, kekerasan, dan kerusakan lingkungan.
Pada 1989, saat ketegangan terus meningkatnya atas kerusakan lingkungan dan pembagian manfaat tambang itu yang tidak adil, pemilik tanah adat memaksa agar tambang ditutup, meledakkan jaringan listrik ke tambang Panguna dan menghentikan operasinya.
Pemerintah PNG lalu mengirim pasukan tentara untuk melawan warganya sendiri dan memulai kembali tambang milik asing itu – atas perintah Rio Tinto, menurut mereka – memicu perang saudara yang akan berlanjut selama satu dekade. Ditambah dengan blokade militer PNG, konflik itu menyebabkan kematian 20.000 orang.
Rio Tinto lalu lari dan tidak pernah kembali ke pulau itu lagi, mengklaim pulau itu tidak aman, meskipun pemilik tanah terus meminta agar mereka memperbaiki kerusakan lingkungan.
Kemerdekaan Bougainville dan tambang Panguna
Sebagai keturunan dari masyarakat matrilineal Bougainville, yang memberi perempuan hak atas tanah dan otoritas dalam masyarakat, Matbob berbicara dengan pelan tapi tegas.
Ia bekerja sebagai guru, dan ibu dari dua anak, ia belajar di universitas di Madang dan Goroka sebelum bekerja sebagai pekerja sosial dan mencalonkan diri sebagai MP. Dia mengalahkan 15 kandidat, termasuk beberapa mantan tentara Bougainville, dan bahkan saudara laki-lakinya sendiri.
Tetapi parlemen yang terpilih memiliki keprihatinan penting lainnya, meskipun terkait erat dengan tambang Panguna: menegosiasikan kemerdekaan dari Papua Nugini.
Terlepas dari penolakan pemerintah PNG untuk kehilangan provinsi timurnya yang kaya sumber daya itu, ada harapan di kalangan orang-orang Bougainville bahwa keputusan mereka untuk memisahkan diri dari PNG melalui referendum itu akan dihormati.
Tetapi argumen yang berkaitan dengan kebebasan politik di Bougainville adalah bahwa itu hanya dapat dicapai dengan kebebasan ekonomi.
Oleh karena itu, argumen berikut ini muncul, membuka kembali Panguna adalah cara yang paling pasti, mungkin satu-satunya cara, bagi provinsi kecil dengan populasi 300.000 orang itu dapat membentuk negara yang berdaulat. Di Bougainville, isu kemerdekaan telah dikaitkan dengan isu SDA, dimana kata Panguna telah menjadi sinekdoke yang suram.
Tertanam dalam jiwa politik di Bougainville adalah kepercayaan penuh akan kekuatan transformatif dari kebebasan politik dan ekonomi – kemungkinan besar dicapai melalui pertambangan itu – untuk membawa kesejahteraan, pembangunan, dan stabilitas ke Bougainville setelah puluhan tahun dilanda kerusuhan dan penderitaan. Tetapi ekspektasi itu mungkin sulit untuk disandingkan dengan kenyataan bahwa Bougainville yang merdeka kemungkinan besar tidak akan bisa menghasilkan pendapatan yang diperlukan sebagai negara.
Sudah jelas ada banyak dana yang bisa dihasilkan di Bougainville: potensi manfaat yang bisa dihasilkan dari Panguna saja bernilai hampir $ 60 miliar. Tapi manfaat itu buat siapa?
Presiden Bougainville yang baru, Toroama, yang pernah menjadi pemimpin Tentara Revolusi Bougainville yang memaksa tambang itu ditutup, mengatakan semua keputusan tentang masa depan Panguna ada di tangan pemilik tanah setempat.
Sebagai perwakilan terpilih dari Panguna, Matbob lebih tegas. Orang-orang Panguna harus didahulukan.
“Meskipun ada masa depan bagi Panguna,” katanya kepada Guardian, “… itu harus ditunda sampai keperluan warga saya terpenuhi.”
Bougainville tiba-tiba padat
Berbagai perusahaan tambang asing telah berusaha untuk bisa beroperasi provinsi itu dan melakukan eksploitasi ke depannya.
Seorang delegasi Tiongkok, yang dilaporkan telah mengunjungi provinsi itu pada 2018, dikabarkan telah menjanjikan AS$ 1 miliar untuk mendanai transisi Bougainville menuju kemerdekaan, serta menawarkan untuk menanamkan investasi di bidang pertambangan, pariwisata, dan pertanian.
Bougainville yang independen dan kaya akan SDA – di tengah-tengah Melanesia dan tidak lama setelah Kepulauan Solomon mengalihkan pengakuan diplomatiknya ke Beijing dari Taipei – akan menjadi nilai tambahan yang signifikan bagi Tiongkok.
Bahkan Rio Tinto pun, setelah bertahun-tahun menegaskan tidak akan pernah bisa kembali ke Panguna, baru-baru ini mengindikasikan mereka belum sepenuhnya keluar dengan mengungkapkan bahwa mereka “siap untuk berdiskusi dengan masyarakat”.
Untuk sebuah pulau kecil, Bougainville tiba-tiba sangat padat.
Matbob memahami antusiasme orang-orang luar untuk kembali ke Bougainville. Tapi sudah terlalu lama, tegasnya, prioritas rakyatnya diabaikan demi kepentingan asing, dan untuk mendapatkan keuntungan.
“Meskipun Panguna memiliki masa depan, ada banyak masalah dari masa lalu yang masih melekat pada Panguna. Sebagai MP baru yang mewakili masyarakat Ioro, saya percaya itu harus ditunda sampai kebutuhan masyarakat saya terpenuhi,” katanya kepada Guardian. (The Guardian)
Editor: Kristianto Galuwo