Papua No. 1 News Portal | Jubi
Oleh Luke Hunt
Pertambangan logam untuk bahan pembuatan baterai dipandang sebagai ancaman bagi negara-negara Kepulauan Pasifik.
Selama beberapa dekade terakhir ini, kalangan ilmuwan telah mengungkapkan keprihatinan mereka terkait pertambangan bawah laut. Opsi ini sedang memikat bagi negara-negara kecil yang memerlukan pemasukan tambahan di daerah Pasifik Selatan, kawasan dimana lahan sangat langka, lautan sangat luas, dan perubahan iklim merupakan ancaman sangat nyata.
Tetapi keresahan yang didukung oleh bukti ilmiah tampaknya telah dibenarkan oleh sebuah laporan yang dibiayai oleh Deep Sea Mining Campaign dan MiningWatch Kanada. Laporan itu mengimbau dampak negatif yang akan ditimbulkan pada perekonomian, mata pencaharian, dan kebudayaan Kepulauan Pasifik, dan mendesak agar ada moratorium.
Laporan tersebut menemukan bahwa dampak dari “pertambangan nodul polimetalik di bawah laut akan ekstensif, destruktif, dan kerusakannya akan bertahan selama beberapa generasi, yang, intinya akan menyebabkan kepunahan spesies dan degradasi ekosistem yang tidak dapat dipulihkan kembali.”
Nodul polimetalik adalah mineral dasar laut yang terbentuk dari lapisan besi dan hidroksida mangan di sekitar sebuah inti. Nodul ini dapat ditemukan dalam jumlah besar dan mengandung kobalt, nikel, tembaga, serta mangan, yaitu bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan baterai.
Samudra Pasifik menyelimuti 30% dari permukaan bumi. Diantara kelompok pendukung pertambangan, kawasan ini adalah daerah yang penting, perusahaan-perusahaan dan investor-investor telah berbaris agar bisa mendapatkan akses pada endapan mineral itu.
Laporan komprehensif setebal 52 halaman itu, berjudul Predicting the Impacts of Mining Deep Sea Polymetallic Nodules in the Pacific Ocean, The interconnected nature of the ocean means that impacts would be felt region wide.
Laporan itu memiliki implikasi kebijakan luar negeri untuk Australia dan Selandia Baru, dan negara-negara Pasifik termasuk Kepulauan Cook, Nauru, Kiribati, Tonga, Papua Nugini, dan Tuvalu, yang dengan cepat menerima bantuan dari Canberra dan Wellington, tetapi kesal ketika mendapat teguran tentang apa yang harus dilakukan.
Negara-negara Kepulauan Pasifik turut mendukung perusahaan-perusahaan yang mengeksplorasi zona Clarion Clipperton, yang luasnya mencapai 4.500 kilometer, terletak antara Kiribati dan Meksiko, melalui International Seabed Authority (ISA), suatu badan yang ditugaskan oleh PBB, dan menerbitkan 30 izin internasional untuk eksplorasi mineral bawah laut.
Dari jumlah 30 izin tersebut, 25 berada di Samudra Pasifik, dan 18 di antaranya berada di zona Clarion Clipperton.
Ekosistem dan spesies laut yang langka dan terancam punah, seperti hiu paus, paus kepala kotak , dan penyu belimbing, Mereka akan terancam keracunan logam yang disebabkan oleh pembuangan limbah. Juga akan terancam adalah industri penangkapan ikan komersial seperti tuna.
Laporan itu menerangkan bahwa risikonya genting, menyebabkan kerusakan permanen bagi banyak orang di Kepulauan Pasifik yang bergantung pada lautan sebagai sumber mata pencaharian mereka. Laporan tersebut menegaskan bahwa “kerugian akibat penambangan nodul bawah laut di Samudra Pasifik akan lebih besar daripada keuntungan yang diklaim tanpa dasar.”
Laporan itu mengutip pengalaman Papua Nugini. PNG rugi $ 120 Juta setelah proyek pertambangan laut dalam yang awalnya menjanjikan, berakhir dengan kebangkrutan Nautilus Minerals tahun lalu.
“Ekspektasi bahwa menambang nodul polimetalik akan membawa keuntungan sosial dan ekonomi bagi ekonomi-ekonomi Kepulauan Pasifik hanya didasarkan pada klaim tanpa bukti. Dampak pertambangan terhadap masyarakat dan kesehatan masyarakat itu tidak pasti dan diperlukan penelitian independen yang kritis,” menurut laporan itu.
Laporan ini disusun berdasarkan konsensus ilmiah dari 250 artikel ilmiah yang telah melewati proses penelaahan sejawat dan artikel-artikel lainnya yang mendukung desakan agar ada moratorium, untuk memungkinkan studi lebih lanjut.
Helen Rosenbaum, koordinator Deep Sea Mining Campaign, mengatakan ada perlawanan yang kuat dari kelompok-kelompok masyarakat sipil regional Pasifik dan internasional terhadap pertambangan laut dalam dan bahwa klaim perusahaan mengenai manfaat ekonominya tidak terbukti.
“Sudah jutaan kilometer persegi permukaan bawah laut dicakup oleh izin eksplorasi dan ISA terus ditekan untuk merampungkan peraturan mengenai pertambangan – meskipun ada ketidakpastian yang besar seputar dampaknya serta minimnya debat publik,” katanya
Penambangan laut dalam adalah isu penting yang dapat mendominasi agenda Kepulauan Pasifik di tahun-tahun mendatang. Pemimpin-pemimpin akan didorong oleh kepentingan politik dan ekonomi jangka pendek yang berpihak pada kepentingan-kepentingan pertambangan untuk mendapatkan pemasukan, yang sudah pasti akan menghadapi perlawanan sengit dari masyarakat ilmiah dan lingkungan. (The Diplomat)
*Luke Hunt adalah koresponden Asia Tenggara The Diplomat dan telah bekerja di bidang jurnalisme selama lebih dari 25 tahun.
Editor: Zely Ariane