Permukaan air laut naik, Pasifik dorong transportasi laut yang berkelanjutan

Kepulauan Pasifik sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini mencakup kekeringan, keterbatasan air bersih, banjir air laut, dan badai yang lebih kuat. - Grist Magazine/ Steve Holloway
Kepulauan Pasifik sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini mencakup kekeringan, keterbatasan air bersih, banjir air laut, dan badai yang lebih kuat. – Grist Magazine/ Steve Holloway

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh Maria Gallucci

Read More

Negara bagian Yap tersebar di Samudra Pasifik dengan atol dan pulau-pulau vulkanik yang membentang sekitar 600 mil. Rumah bagi 11.000 orang, Yap, bagian dari Federasi Mikronesia, berada di utara garis ekuator, kira-kira 1.000 mil di sebelah timur Filipina.

Musim panas lalu, otoritas kesehatan negara bagian itu menemukan dirinya dalam keadaan yang sulit. Demam berdarah, penyakit yang disebabkan oleh nyamuk, menyerang pulau utama di negara itu, sementara klinik-klinik di pulau-pulau terluar memerlukan pasokan medis preventif. Tetapi alat transportasi utama di Yap, sebuah kapal kargo berbahan bakar diesel, tidak berfungsi.

Untungnya, ada rencana kedua. Pada awal September, staf rumah sakit mengangkut kargo mereka ke dua sampan dengan dua lambung sepanjang 50 kaki, yang disebut vaka motu. Sepuluh pelayar kemudian beranjak dari pulau ke pulau di Yap, menaikkan layar dan menggunakan dayung kayu, merapat ke laguna berwarna biru laut di tengah-tengah amukan badai. Mesin-mesin kecil ini diberikan energi tambahan oleh bahan bakar minyak kelapa, sementara panel surya mengisi ulang daya baterai untuk digunakan oleh peralatan komunikasi. Dalam dua minggu, mereka mengantarkan pasokan medis ke lebih dari selusin pulau yang berjauhan.

“Itu adalah cara sempurna untuk melakukan hal ini,” kata Peia Patai, seorang kapten vaka yang memimpin operasi tersebut. Meskipun wabah DB masih berlanjut di Yap dan pulau-pulau Pasifik lainnya, pejabat kesehatan mengatakan kedua vaka sangat membantu saat terjadi kelangkaan transportasi yang mendesak.

Patai mengelola armada vaka untuk Okeanos, sebuah organisasi nirlaba yang membangun kano dan melatih orang untuk berlayar. Yayasan ini mengoperasikan enam vaka motu antara Yap dan Pohnpei, yang juga berada di Federasi Mikronesia, ditambah Palau, Kepulauan Marshall, dan Vanuatu. Okeanos juga telah membangun delapan vaka moana yang lebih besar, yang dapat digunakan mengarungi samudra terbuka.

“Saya punya impian yang besar,” kata Patai ketika ditelepon. “Saya ingin ini berkembang dari dua sampan menjadi mungkin 10 per negara. Saya ingin mereka mulai menggunakan sampan untuk transportasi laut seperti zaman dulu.”

Selama ribuan tahun, navigator di Pasifik menggunakan bintang, arus laut, dan pola angin untuk memandu kapal melintasi bentangan lautan luas. Sampan dulunya dibuat dari batang pohon dan diikat menggunakan serat yang kuat dari bahan-bahan seperti kelapa. Tetapi kolonisasi dan penyakit selama berabad-abad mengikis habis budaya berbasis sampan. Saat ini, banyak pulau terpencil seperti Yap mengandalkan kapal pengangkut berbahan bakar BBM untuk mengirimkan barang dan antar-jemput penumpang; tidak semua tempat bisa memfasilitasi pesawat terbang.

Dalam beberapa dekade terakhir, kebangkitan Kepulauan Pasifik telah berkembang sementara navigator memelihara dan mempertahankan metode pelayaran tradisional. Patai, yang berasal dari Kepulauan Cook, pertama kali belajar tentang navigasi pada 1991, setelah bekerja dengan Angkatan Laut Australia. Sejak itu ia telah mendapatkan gelar master navigator. Patai berkata dia merasa bertanggung jawab untuk meneruskan pengetahuan ini kepada generasi muda – tidak hanya untuk menghormati masa lalu, tetapi juga untuk bersiap-siap menghadapi apa yang mungkin akan terjadi di negara-negara kepulauan.

“Bagi saya, satu-satunya cara bagi kita untuk menuju ke masa depan adalah dengan mempelajari kembali masa lalu kita,” tegasnya.

Kepulauan Pasifik sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim yang saat ini mencakup kekeringan, keterbatasan air bersih, banjir air laut, dan badai yang lebih kuat. Keberadaannya terancam, termasuk ancaman hilangnya seluruh pulau, pemimpin dari negara-negara berdataran rendah ini telah memainkan peran penting dalam mengupayakan perjanjian internasional untuk merendahkan emisi gas rumah kaca.

“Negara-negara atol yang paling rentan seperti negara saya sudah mulai menghadapi kemungkinan kematian karena naiknya permukaan air laut dan gelombang badai yang kuat,” Hilda Heine, Mantan Presiden Kepulauan Marshall berkata di hadapan delegasi pada konferensi perubahan iklim PBB di Madrid, pada Desember lalu.

“Ini adalah perlawanan sampai mati bagi siapa pun yang tidak ingin melarikan diri,” tegasnya. “Sebagai negara, kita menolak untuk melarikan diri. Tetapi kita juga menolak untuk mati.”

Membangkitkan kembali budaya sampan, Heine dan yang lainnya percaya, dapat membantu Kepulauan Pasifik dalam melewati dan menghadapi perairan yang sulit ke depannya. Perahu-perahu ini mengurangi ketergantungan pulau-pulau Pasifik pada kapal yang menggunakan BBM impor, dan mereka berfungsi sebagai transportasi yang penting ketika terjadi bencana alam, membantu masyarakat bergerak lebih cepat, baik untuk melarikan diri dari badai atau membantu tetangga yang memerlukannya. Upaya serupa juga terjadi di belahan dunia lainnya, termasuk di Pasifik Barat Laut, dimana Bangsa India Quinault, Heiltsuk, dan lainnya memadukan kebangkitan budayanya dengan ketahanan iklim.

Heine telah mendesak agar vaka ditambahkan ke setiap masyarakat dari 24 komunitas pulau di negaranya, dan dapat digunakan sebagai layanan feri antar pulau. Kepulauan Marshall dan empat negara lainnya – Palau, Kiribati, Nauru, dan Federasi Mikronesia – mengharapkan bantuan hampir $ 50 juta dari Dana Perubahan Iklim (Green Climate Fund) PBB, untuk mengembangkan apa yang mereka sebut ‘ketahanan masyarakat adat’ melalui jaringan vaka di Mikronesia.

Setiap vaka motu dapat menampung kargo hingga tiga ton, atau selusin penumpang. Dengan membangun kapal, merekrut pelayar, dan memproduksi biodiesel dari kelapa, ini juga bertujuan untuk mengembangkan perekonomian lokal, khususnya di daerah-daerah yang bergantung pada pertanian dan perikanan untuk kelangsungan hidupnya.

“Vaka sendiri tidak bisa menggantikan angkutan laut trans yang mengangkut ribuan ton kargo di seluruh dunia setiap hari – untuk hal ini, kita memerlukan solusi pengiriman berkelanjutan lainnya. Namun, sampan masih merupakan bagian penting dari masa depan yang lebih tangguh untuk komunitas-komunitas terpencil,” kata kapten Iva Nancy Vunikura.

Dia mengenang pada 2015, setelah Siklon Pam, dia dan pelaut lainnya, termasuk Patai, membawa pasokan darurat berupa makanan, air, dan obat-obatan ke pulau-pulau terluar Vanuatu. Mereka juga membawa akar singkong dan kumura (ubi jalar) sehingga orang-orang bisa kembali bercocok tanam dan tidak hanya mengandalkan makanan impor yang dikemas. Vaka mengantarkan pasokan selama berbulan-bulan karena kapal diesel sedang rusak dan mengalami perbaikan.

“Kita mungkin kecil, tapi kita melakukan sesuatu yang berkontribusi pada cara kita hidup,” kata Vunikura dari rumahnya di Fiji.

Vunikura, mantan pemain rugby untuk tim perempuan nasional Fiji, berlayar untuk pertama kalinya pada 2011. Dia bekerja diatas vaka sepanjang 72 kaki milik Okeanos yang disebut Uto Ni Yalo, berkeliling ke 15 negara di Pasifik untuk mempromosikan budaya pelayaran dan konservasi laut. Sejak saat itu dia telah berlayar lebih dari 60.000 mil dengan sampan tradisional, dan sekarang bekerja dengan orang dewasa dan anak-anak di seluruh wilayah Pasifik.

Baru-baru ini, dia menghabiskan lima bulan melatih puluhan laki-laki di Yap, di mana, dia berkata, perempuan tidak umumnya berlayar. Tim Okeanos harus mendapatkan izin khusus dari seorang kepala suku terlebih dahulu agar Vunikura dapat berpartisipasi.

Salah satu tantangan terbesar untuk membangun jaringan vaka di Kepulauan Pasifik adalah menelaah perbedaan budaya antara masyarakat Polinesia, Mikronesia, dan Melanesia, kata Patai. “Kalian harus mengetahui bagaimana proses pemikiran orang,” tuturnya. Tantangan lainnya adalah membuat orang bekerja dengan vaka dalam jangka waktu panjang, bukan memperlakukannya hanya sebagai hobi.

Untuk awak dari Okeanos, mungkin akan ada banyak kesempatan untuk berlayar di tahun mendatang. Di Federasi Mikronesia, Departemen Kesehatan di Pohnpei telah menandatangani kontrak mencarternya selama 100 hari untuk membawa dokter, tenaga medis, dan pasien yang sakit antara pulau utama dan enam pulau terluar. Di Kepulauan Marshall, pemerintah memberikan subsidi tahunan untuk menutupi separuh biaya awak kapal, asuransi, dan pemeliharaan vaka di sana. Akhir bulan lalu, tim Okeanos membantu sekelompok perawat yang melakukan pemeriksaan TB di masyarakat di pulau terpencil.

Vunikura berkata dia belum tahu persis apa rencananya pada 2020. Tapi dia pasti akan kembali memimpin vaka dan mendorong transportasi laut yang berkelanjutan di Pasifik. (Majalah Grist)

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply