Perempuan Yerisiam Gua: Dusun Sagu Ini Hidup Kami

Jubi | Portal Berita Tanah Papua No. 1,

Jayapura, Jubi – Siang itu, Mama Yuliana Akubar (52th) bertelanjang kaki memasuki Gedung DPRD Kabupaten Nabire. Dengan batik motif Papua dia tampak kedinginan karena kuyup oleh hujan sepanjang pejalanan dari Kampung Sima, DIstrik Yaur, ke Nabire.

“Sa bawa sepatu, tapi biar begini. Orang Yerisiam begini sudah.” ujarnya lirih.

Kedatangannya bersama sekitar 30 orang lainnya dari Sima, warga suku besar Yerisiam Gua, untuk hadiri dengar pendapat antara PT. Nabire Baru, masyarakat Sima, dan pemerintah, yang difasilitasi DPRD Kabupaten Nabire.

Mama Yuliana mengenang harapannya. Dia bilang, kakaknya ikut mengijinkan perusahaan masuk berbekal harapan agar taraf kehidupan orang-orang Yerisiam di Sima akan meningkat.

Sekarang perusahaan sudah semakin jauh dari janji-janjinya. “Perusahaan itu sudah diluar dari apa yang sebenarnya kami bicara awal,” ujarnya lirih.

“Mungkin Tanah Tak Ijinkan Dong Kerja”
Dorkas Numberi (47th) menjelaskan ketika pertama kali perusahaan kelapa sawit masuk orang-orang kampung diminta bekerja disana. “Ada yang masuk kerja, tetapi mungkin tanah tidak ijin. Setelah kita orang Yerisiam jadi masuk kerja kaki gatal-gatal, lalu bisul-bisul, ada yang kaki bengkak-bengkak juga,” ujarnya.

Ia bercerita kedua anaknya ikut kerja di perusahaan. Awalnya dikatakan untuk ikut menanam, ternyata bukan penanaman tapi pembibitan.  “Apa ka itu, (tanam) kecambah. Tapi langsung pulang rasa badan gatal-gatal, garuk-garuk sampe, kira gatal-gatal biasa, tapi bisul di badan ini semua.”

Lalu kedua anaknya berhenti kerja satu dua bulan, lalu sembuh. Kemudian mereka bekerja lagi dan bisul-bisul itu tumbuh lagi. Salah satu kaki anak perempuannya lalu tidak bisa dipakai jalan. Satu waktu ia jatuh terduduk lemas di tempat, tidak bisa jalan selama dua minggu.

Satu dua waktu sudah sembuh, dong dua kembali lagi masuk kerja, kerja lagi bisul-bisul itu keluar lagi, akhirnya sa punya perempuan yang satu kaki langsung dia tidak bisa jalan, langsung duduk di tempat, selama dua minggu.

Anak Mama Dorkas yang laki-laki, yang juga sempat bekerja di perusahaan, sekarang sudah meninggal. Mama percaya itu disebabkan karena dia sering keluar masuk rumah sakit untuk berobat sejak kerja di sana.

Hal ini dibenarkan Mama Yakomina Maniburi (48th). Ia bekerja di perusahaan tahun 2013.

“Kerja satu tahun, akhirnya saya katanya dapat asam urat. Ini kaki sakit-sakit terus. Saya berobat terus dengan medis dari kelapa sawit tapi ternyata tidak sembuh”. Mama Yakomina keluar dari perusahaan dan teruskan berobat hingga sekarang sudah dua tahun.

Dia bilang perusahaan tidak pernah perhatikan soal-soal pengobatan warga dan pekerja di sana. “Padahal kami pernah minta pada perusahaan untuk bantu kami pengobatan, ternyata tidak ada. Sampai saya keluar, dan buat surat pengunduran diri sudah dua tahun, sampai sekarang perusahaan tidak pernah bantu saya dengan biaya,”

Upah bekerja di perusahaan menurutnya juga tidak bisa menutupi kebutuhan hidupnya. Sebagai buruh harian lepas, perusahaan membayar sekitar 600-an ribu perdua minggu selama 6 hari kerja. “Tapi itu pertama-tama saja, sekarang tidak tahu berapa,” katanya sambil mengenang dua anak muda laki-laki Yerisiam yang dihajar Brimob karena menuntut pembayaran upah yang tertunda.

Yohana Inggeruhi, yang juga bekerja di perusahaan ketika pembibitan, membenarkan kondisi kerja yang menyebabkannya sakit. Dia menduga penyakit kulit yang diderita akibat dari pupuk atau tanah yang digunakan untuk membuat kecambah di polibek. Mereka bekerja tanpa sarung tangan, membawa peralatan sendiri.

Sambil marah bercampur heran ia bercerita bagaimana perusahaan membuang-buang buah sawit. “Mereka sekarang su tanam pohon, tapi entah kenapa sampai saat ini tu dong hanya kasi rusak kelapa (sawit) saja, buah-buah itu mereka kasi rusak, belum ada pabrik. Mereka kasi hancur, tenggelam ke laut, isi di karung terus dorang buang di Kali Wami, ada yang hambur saja dipinggir jalan kasi tinggal.”

“Ini Sawit Sudah Tra Baik”

Kampung Sima terletak di pinggir pantai. Perkebunan sawit hanya tinggal berbatas Dusun Sagu di sebelah Sima. Beberapa laki-laki Sima pandai membuat perahu, salah seorang diantara mereka bahkan sedang membuat perahu yang cukup besar untuk mengangkut log kayu.

Sambil menikmati semilir angin di pinggir pantai, anak-anak tekun memancing dan Mama-mama duduk cerita di para para pinggir pantai.

“Kita berdosa pada ciptaan Tuhan ini. Mama bilang Bapa, e Bapa bagaimana cara kita harus stop ini.” Mama Yance mulai cerita sambil mata berkaca-kaca.

“Dahulu burung yang disebelah itu, ada kaka tua raja, kaka tua putih, burung Taon Taon, semua ramai.” Sambil menunjuk arah kebun kelapa sawit Mama bilang “Sekarang lihat tu di sana sudah bersih toh, jadi mereka terbang mencari ke sebelah sini. Satu waktu Mama pergi mendayung itu. Sebelah sana bersih, dan mama lihat, kelapa sawit lagi. Lihat begini, buldoser turun, e doser su angkat sa punya kayu ini. Pinggiran sungai ini sudah mau ditanam sawit lagi. Jadi burung-burung terbang cari makan ke sini, sebelah sana tu terang seperti pandang ke laut itu!”

Sambil tersendat lirih Mama Yance dengan keras mengingat peristiwa beberapa waktu lalu. “Waktu itu Mama bilang Tete, kalau ikut kali Wami itu langsung ko pu air mata keluar. Tete bilang, ini sawit sudah tara baik, tara bikin baik hidup kitorang. Tete, ini ko pu hutan sudah tra bagus, burung, babi, rusa semua su trada, bersih. Mereka mau tinggal dimana.”

Kisah-kisah tentang hutan dan dusun yang dibongkar mengalir deras. Tidak banyak yang bisa memahami emosi tertahan Mama-Mama itu. Bagi orang-orang yang tidak dibesarkan oleh Sagu dan hutan, cerita Mama sekilas hanya sebagai kisah orang-orang yang “diabaikan pembangunan”.

Padahal cerita itu tentang eksistensi hidup sebagai orang Papua.

Terkait hal itu Mama Dorkas bilang: “makin lama tempat ini makin rusak, akhirnya burung-burung, hewan-hewan, manusia tidak bisa aman di tempat. Artinya tempat cari makan sudah tidak bisa. Kalau dulu itu kami puny ikan gabus itu bisa bawa dengan kami punya noken-noken, sekarang su tidak ada.”

Perubahan hidup Mama Mama dan masyarakat Sima, suku besar Yerisiam Gua, akibat kedatangan sawit PT. Nabire baru terasa cepat sekali. Dahulu, menurut Mama, orang Yerisiam punya adat menyanyi, dansa adat, pasang tifa, di tempat keramat Akhirtukua. Sekarang tempatnya sudah tidak ada. Padahal itu salah satu pusat kebudayaan Yerisiam dari cerita turun temurun orang-orang tua.

“Sekarang yang kerja  secara kemanusiaan sudah tidak ada. Kami keluarga yang dulunya kami bisa duduk makan pinang, minum teh, isap rokok, duduk cerita seperti biasa, sekarang sudah hampir semua jauh-jauh, semua baku beda dengan sisi kemanusiaan. Terutama kami menyesal kalau hari raya gerejani mereka keluar. Ada kematian ada duka, hari ini juga mereka keluar, ada pemakaman mereka keluar tidak bisa ikut pemakaman.”

“Ujung Jalan Orang Yerisiam”

PT. Nabire Baru pernah berjanji di depan masyarakat bahwa Dusun Sagu Jarae Manawari tidak akan dibongkar. Itulah Dusun Sagu terakhir masyarakat Yerisiam Gua. Terakhir masyarakat mendengar bahwa areal Dusun termasuk dalam konsesi HPH.

Mama Yuliana tidak terima, dia bilang: “Itu dari siapa sebenarnya, kami ingin tahu ini tapi terakhir ini ada pertemuan-pertemuan dengan Ketua Koperasi mereka tidak bisa jujur dengan kami masyarakat.”

Semua masyarakat Yerisiam di Sima, terlebih Mama Mama, menolak keras pembongkaran Dusun Sagu. Menurut mereka, Jarae yang berarti “Ujung Jalan Orang Yerisiam”, adalah pertahanan terakhir pangan sekaligus hidup.

Ketika ditanya apa pesan Mama pada orang-orang di luar sana yang mengikuti perjuangan orang-orang Yerisiam melawan PT. Nabire baru, Mama Berta Maniba (46th), sambil menahan air mata, juga berpesan: “Saya peduli terhadap dusun itu karena sejak orang tua lahir saya, hingga sudah kawin, sudah cari makan sendiri, saya tidak tahu beras, saya hidup dari menokok, dari hasil sagu yang saya sendiri kelola itu,  saya beli saya punya Loyang, saya bisa beli pakaian, anak punya kebutuhan lain-lain.”

Mata Mama Dorkas tidak lagi berair ketika dengan tegas ia menjawab: “Kalau secara khusus kami  bilang tidak mau digusur. Biar perusahaan ini dihentikan saja, kalau digusur sampai habis kami ini mau jadi apa, anak cucu mau jadi apa, kami tidak bisa layak lagi karena itu sudah diciptakan oleh Tuhan untuk kami manusia. Jadi secara khusus kami tidak mau perusahaan kerja, biar ditutup sekalian.”

Dari Sima diperoleh kabar bahwa eskavator sudah ditarik dari areal Dusun. Sementara ini, Mama mama Yerisiam Gua di Sima bisa menarik nafas sesaat untuk menyusun langkah-langkah perjuangan selanjutnya.

"Saya tidak kenal hutan, tapi saya semakin tahu betapa mengerikan hidup saat ini tanpanya. Saya tidak tumbuh dengan sagu, tetapi sepulang dari Sima, saya diberi pelajaran apa itu kebijaksanaan hidup dari berkahnya," ucap Mama Dorkas. (*)

 

Related posts

Leave a Reply