Perempuan pantang tunduk pada keramik Endang Lestari

Miopmic Papua
“Miopmic Series” karya Endang Lestari. Foto. Jubi/Syam Terrajana
Papua No. 1 News Portal | Jubi

Yogyakarta, Jubi – Tangguh. Itu kesan yang tertangkap kala melihat pose kepala perempuan-perempuan. Beberapa di antara patung-patung, beranatomi perempuan Melanesia. Patung-patung kepala dengan ragam gestur itu terbuat dari tanah liat. Mereka diletakkan dalam 9 panel bingkai kayu berwarna kelabu, dilatari ragam gambar.

Pada beberapa patung terkesan retak. Tak halus-halus amat. Justru disana kian kuat rasa dan kesan tangguh. Mungkin karena pembuatnya, Endang Lestari, lahir besar di Tanah Rencong. Aceh.

Read More

Karya berjudul “Miopmic Series” itu jadi bagian dari pameran tunggal Endang Lestari. Digelar di Soboman 219 Art Space Yogyakarta, 18 Juli -27 Agustus 2021. Total ada 13 karya keramik dan drawing dia pamerkan.

Endang mengaku tak sengaja membuat anatomi patung perempuan Melanesia itu. Semua terjadi naluriah saja. Ikut mau jemari tangannya saat memahat tanah liat. Sebelum dibakar jadi keramik. Tapi tentu saja dia punya maksud.

Papua
Milker Stone, salah satu karya Endang Lestari yang berbicara tentang spritiualitas. Foto. Jubi/Syam Terrajana

Lewat karya itu, Endang ingin menampilkan sosok-sosok perempuan tangguh dan terpinggirkan. Siapapun dan dimana saja dia berada. “Mungkin karena aku tipe yang agak pendiam juga introvert. Jadi dalam keseharianku aku mengagumi perempuan yang lebih banyak tindak nyata. Bertindak dalam senyap. Berontak dalam diam. Diam bukan karena dibekap tapi karena sikap,” ujarnya kepada Jubi pada pembukaan pamerannya, Minggu, 18 Juli 2021.

Pengalamannya mengunjungi beberapa tempat di Indonesia, dia melihat banyak perempuan lebih bekerja keras dari lelaki. “Di Aceh kulihat lelaki lebih banyak di warung kopi, sementara perempuan melakukan banyak hal untuk keluarga dan kelangsungan hidup,” ujarnya.

Di Papua sendiri, situasinya sebelas-dua belas. Di tengah kungkungan budaya patriarkhi, perempuan Papua dikenal tangguh dan ulet; menokok sagu, mengangkut air di kepala pakai Noken. Siapa yang tak tahu kokohnya jiwa mama-mama Papua penjual ubi, noken dan pinang di sepanjang jalan?

Di Kampung Enggros, Teluk Youtefa, Kota Jayapura, ada tempat istimewa bernama hutan perempuan.  Di sana, seluruh wilayah hutan mangrove diperuntukkan untuk perempuan mencari nafkah. Sedangkan laki-laki punya di wilayah laut.

Asrida Elisabeth lewat artikelnya “Nasib Hutan Perempuan Kampung Enggros”
(mongabay.co.id  22 December 2019) menulis di sana, para perempuan biasa mencari kerang, ikan maupun kepiting. Kerang yang terkenal paling enak dari tempat ini disebut kerang noor atau biasa disebut bia noor.

Sayang, di dalam hutan perempuan itu banyak sekali ditemui sampah kiriman dari kota.  “Di antara akar-akar bakau, tampak tumpukan kulkas dan mesin cuci bekas, bantal, tikar hingga pemasak nasi,” tulis Asrida

Padahal keberadaan mangrove penting dalam menjaga kawasan teluk dari ancaman gelombang. Apalagi, teluk langsung berhadapan dengan Samudra Pasifik. Pencemaran juga berbahaya bagi warga dan ekosistem.

Papua
Endang Lestari. Foto dok pribadi

Kembali ke pameran Endang Lestari. Pada pameran tunggalnya yang ketujuh ini, Endang mengusung tema ‘Endless’, sebuah tema bermakna akronim dari namanya. Sekaligus bermakna tak terbatas; tak berujung. Tema ini sekaligus menjelaskan makna eksplorasi karyanya yang secara istimewa menampilkan material objek berbahan keramik yang ditampilkan dalam bentuk patung, objek dan instalasi, serta media campur dalam rupa dua dan tiga dimensi. Terdapat puluhan objek keramik yang dapat dibunyikan, dinikmati secara visual, dalam tata pajang di atas vustek, di dinding, digantung, di atas rak, di dalam pigura yang menampilkan objek abstrak hingga objek figuratif manusia.

Pameran ini, merupakan rangkaian dari program ‘Road to Liechtenstein’ Yakni sebuah program pertukaran seni antara Liechtenstein, negara mungil di Eropa dan Yogyakarta (Indonesia). Secara khusus, pameran “Endless” terkait dengan proyek seni rupa ‘Me and Others’ dari perupa Fauzi As’ad yang diundang pada acara prestisius ‘Liechtenstein Triennale’ 2021.

Bagi Endang Lestari, karya ini merupakan caranya untuk merefleksikan refleksi dan pemikirannya atas bahasa dan metafora material tanah terutama disaat pandemi global sekarang ini, dimana manusia membutuhkan keheningan dan kontemplasi untuk melihat dirinya secara mendalam.

Endang Lestari merupakan alumnus program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dia merupakan seniman yang banyak bekerja dengan berbagai jenis media dan keramik. Ia aktif berpartisipasi dalam berbagai pameran lokal, nasional dan internasional dan pernah mendapat program residensi di The Shigaraki Ceramic Cultural Park, Jepang.

Endang juga pernah menjadi dosen tamu di ISI Yogyakarta dan Universiti Malaysia Sarawak (UNIMAS) dan saat ini mengelola program dan bekerja di ArsKala Studio, Kalasan, Yogyakarta. (*)

Editor: Angela Flassy

Related posts

Leave a Reply