Penyelesaian isu kekerasan berbasis gender di Papua Nugini

Karya seni dalam rangka protes anti kekerasan berbasis gender di Papua Nugini. - East Asia Forum

Papua No.1 News Portal | Jubi

Oleh Fiona Hukula

Read More

Pembunuhan terhadap perempuan muda asal Papua Nugini (PNG) baru-baru ini, Jenelyn Kennedy yang baru berusia sembilan belas tahun, KDRT yang dialami petinju elit Debbie Kaore, dan penganiayaan terhadap empat perempuan di Provinsi Enga adalah bukti akan prevalensi kekerasan terhadap perempuan di PNG. Insiden-insiden ini hanyalah ‘puncak gunung es’ dari pengalaman sehari-hari perempuan di PNG.

Tingkat kekerasan berbasis gender (gender-based violence/GBV) di PNG sulit untuk diketahui akibat minimnya data resmi yang dapat diandalkan. Survei Demografi dan Kesehatan PNG (2016-2018) terbaru mengungkapkan bahwa 56 % perempuan berusia 15-49 tahun yang diwawancarai pernah menjadi korban kekerasan fisik sejak usia 15 tahun, dan 28 % pernah mengalami kekerasan seksual. Dari perempuan berusia 15–19 tahun responden, 38 % telah menjadi korban kekerasan fisik dalam 12 bulan sebelum survei itu dilakukan.

Kematian Jenelyn Kennedy Juni lalu kembali memicu amarah publik di negara itu. Ada banyak pihak yang mendesak agar hukuman dan sanksi bagi pelaku kekerasan berbasis gender semakin ditingkatkan, reformasi hukum untuk melindungi perempuan, serta penegakan hukum yang lebih proaktif. Masyarakat PNG yang prihatin akan permasalahan ini berkumpul bersama-sama, mendesak diakhirinya kekerasan berbasis gender dan membentuk kelompok-kelompok advokasi seperti Justice for Jenelyn, ManUP, dan End the Silence.

Secara meluas, banyak yang mengakui pentingnya suatu perubahan yang bermakna, dan bahwa perubahan ini harus melibatkan laki-laki dan perempuan, bekerja bahu-membahu. Keresahan publik dan upaya advokasi ini diharapkan akan terus berlanjut, meski pandemi Covid-19 telah mengambil alih perhatian umum. Di tingkat politik, Gubernur distrik National Capital District, Powes Parkop, telah maju dan memimpin dengan menggerakan aksi politik dalam penanganan isu kekerasan berbasis gender dengan membentuk koalisi gubernur-gubernur yang baru, mereka berkomitmen untuk mengambil tindakan apapun yang diperlukan untuk mengurangi kekerasan berbasis gender dan mempromosikan kesetaraan gender, saling menghormati, dan kerja sama.

Strategi Nasional PNG untuk Mencegah dan Menangani Kekerasan Berbasis Gender 2016-2025 menyediakan kerangka kerja nasional dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Stranas ini menyerukan adanya pengawasan dari tingkat tertinggi melalui pembentukan sebuah komite parlemen dan sekretariat nasional untuk mengawasi, mendukung, dan melakukan lobi untuk mendapatkan sumber daya yang diperlukan untuk menyokong perjuangan melawan kekerasan berbasis gender di seluruh pelosok negeri.

Rencana Aksi Nasional mengenai kekerasan terkait tuduhan sihir juga memberikan dasar untuk langkah-langkah penanganan tingkat nasional dan provinsi terhadap kekerasan terkait tuduhan sihir. Meskipun isu ini diketahui mempengaruhi laki-laki dan juga perempuan, dimana ada beberapa laki-laki juga menjadi korban kekerasan terkait tuduhan sihir, di sebagian besar daerah di PNG umumnya perempuan yang dituduh melakukan ilmu gelas kemudian disiksa, sering kali berujung fatal.

Ada tiga area yang perlu dijadikan prioritas: mendirikan Sekretariat Nasional untuk penanganan dan pencegahan kekerasan berbasis gender, membentuk alur rujukan yang lebih baik melibatkan lembaga penerima rujukan (termasuk polisi dan rumah aman), dan memajukan sebuah strategi implementasi rencana aksi nasional untuk menangani kekerasan terkait tuduhan sihir.

Tidak perlu berlarut-larut dan membuangkan banyak waktu atau tenaga – mengubah sanksi dan hukuman menjadi lebih keras bagi para pelaku pasti membantu, tetapi begitu juga memastikan bahwa penegakan hukum yang sudah ada dengan berjalan dengan lebih baik. Di kepolisian PNG, unit khusus untuk menangani kekerasan keluarga dan seksual sudah ada, namun unit ini belum dipadukan sebagai bagian dari struktur Kepolisian nasional PNG, Royal Papua New Guinea Constabulary. Penanganan pihak kepolisian juga terhambat oleh rendahnya rasio antara anggota polisi dan masyarakat, ketakutan masyarakat akan polisi, dan rendahnya kepercayaan masyarakat akibat kekerasan yang sering dilakukan oleh polisi. Dalam kasus-kasus kekerasan terkait tuduhan sihir, polisi di daerah-daerah umumnya dipersulit oleh lokasi yang terpencil dan medan yang terjal, kelangkaan bahan bakar, dan mereka sering kali kalah banyak dalam hal jumlah anggota atau persenjataan.

Kekerasan berbasis gender harus dipandang, tidak hanya sebagai masalah hukum dan ketertiban, tetapi juga sebagai masalah kesehatan dan ekonomi, dimana diperlukan dukungan dari semua lapisan masyarakat. Diperlukan investasi yang lebih besar dalam penyediaan layanan-layanan psikososial, baik untuk penyintas maupun pelaku.

Dukungan juga harus diberikan kepada inisiatif-inisiatif lokal yang menjanjikan. Terlepas dari banyaknya tantangan dalam menghadapi isu ini, ada kisah-kisah yang membawa harapan berkat pekerjaan organisasi-organisasi berbasis masyarakat yang berkomitmen seperti Voices for Change, Highlands Human Rights Defenders, Asosiasi Perempuan Kafe, PNG Human Rights Defenders Association, dan yayasan Tribal Foundation. Organisasi-organisasi ini bekerja tanpa kenal lelah untuk menangani kekerasan berbasis gender dalam komunitas mereka.

Di Provinsi Jiwaka, organisasi Voice for Change telah bekerja dengan pemimpin-pemimpin dan masyarakat lokal untuk mengambil alih penyelesaian isu kekerasan berbasis gender, dan masalah-masalah pelanggaran hukum dan ketertiban lainnya secara umum, dengan memformulasikan peraturan-peraturan berbasis masyarakat. Inisiatif-inisiatif lokal seperti ini layak untuk dikawal dan didukung karena dapat menjadi katalisator perubahan dan bisa memberikan contoh kepemimpinan masyarakat lokal atas masalah sosial yang sensitif namun berkelanjutan seperti isu kekerasan.

Para aktivis lokal sudah lama didukung oleh komunitas internasional. Perumusan kebijakan resmi, seperti Strategi Nasional PNG untuk Mencegah dan Menangani Kekerasan Berbasis Gender tadi, juga menerima dukungan dari mitra-mitra internasional. Lembaga penerima alur rujukan, seperti polisi dan rumah aman, juga telah mendapat dukungan dari organisasi-organisasi internasional. Tetapi organisasi-organisasi internasional, mitra pembangunan, dan donor juga harus mempertimbangkan jumlah dan jenis dukungan dan bantuan yang mereka berikan, memastikan bahwa ada keahlian dan kepemimpinan lokal itu tertanam kuat sehingga kemajuan yang baik ini tetap berkesinambungan. (East Asia Forum)

Fiona Hukula adalah seorang peneliti senior di lembaga riset nasional Papua Nugini, PNG NRI.

 

Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply