Penyalahgunaan kokain dan sabu-sabu Fiji: masalah kesehatan jiwa

Amani Waqetia, pekerja sosial dari Salvation Army, saat berada di rumahnya di Nakasi, di mana ia menampung anak-anak jalanan. - Rob Rickman/The Guardian
Amani Waqetia, pekerja sosial dari Salvation Army, saat berada di rumahnya di Nakasi, di mana ia menampung anak-anak jalanan. – Rob Rickman/The Guardian

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Oleh Kate Lyons

Read More

Dini hari Sabtu di Kota Nadi, di pantai barat pulau utama di Fiji, Isaiah* duduk di restoran cepat saji Burger King, menyeruput Fanta dengan sedotan seraya menjelaskan bagaimana ia bisa menjadi pengedar narkoba.

Dia mulai lima tahun lalu, saat berusia 13 tahun, dengan menjual rokok dan ganja. Sekarang, ia menjual kokain dan metamfetamina atau sabu-sabu.

“Keluarga saya semuanya penjual narkoba di Suva,” tuturnya. “Mereka berkata akan ada waktunya saya dan sepupu-sepupu saya akan mengambil alih. Kami sudah mulai latihan.”

Rute narkoba yang tersembunyi

Jalur ini banyak digunakan oleh penyelundup obat-obatan yang menggunakan kapal yacht, untuk membawa kokain dan sabu-sabu dari Amerika Serikat dan Amerika Latin ke Australia dan Selandia Baru, dua negara di mana pengguna narkoba membayar harga per gram termahal (sekitar AU$ 300), dan angka pemakai kokain tertinggi per kapita di seluruh dunia.

Bagi Isaiah, narkoba telah menjadi caranya hidup. Setelah keluarganya berpisah ketika ia baru berusia 10 tahun, dia menghabiskan enam tahun tidur di jalanan ibu kota negara itu, Suva, di mana dia mulai bergabung dengan sebuah geng. Sekarang, dialah yang tugasnya melatih, mengajar anak laki-laki berusia mulai dari 11 tahun, tentang bagaimana mengedarkan narkoba.

“Saya pengedar termuda di Fiji, yang paling muda dan paling kuat,” katanya membusungkan dada. “Saya tidak khawatir akan dipenjara, saya tidak takut pada siapa pun,“ katanya.

Dia mengungkapkan kepada Guardian bahwa saat ini dia bisa mendapatkan FJD $ 5.000 sampai $ 10.000 dalam satu hari, di negara di mana upah minimum adalah FJD $ 2,86.

Di seberang meja, Lisa*, 26, yang dijuluki Isaiah sebagai ibu tiri surogasinya, menerangkan bahwa ia menggunakan obat-obatan bukan hanya untuk kesenangan belaka, tetapi untuk bertahan hidup. Lisa menjelaskan bahwa dia menggunakan met dan kokain untuk membantu dia mengatasi berbagai masalah kesehatan, termasuk sakit punggung dan serangan panik.

Lisa punya dua anak, yang termuda berusia dua tahun. Lisa juga seorang pekerja seks, pekerjaan yang ilegal di Fiji.

“Kokain membantu saya untuk menghilangkan rasa sakit; saya sering serangan panik dan sakit punggung,” jelasnya.

Persoalan kokain dan sabu-sabu di Fiji berubah

Sitiveni Qiliho, komisaris polisi di Fiji, bertugas untuk menyelesaikan persoalan narkoba di negara ini, yang menurutnya telah berubah dalam beberapa tahun terakhir. Bertahun-tahun yang lalu, penyalahgunaan narkoba terbatas di lingkungan yang lebih berada, katanya, tetapi saat ini berbeda.

“Fiji dikenal sebagai tempat transit bagi menyelundupkan narkoba ke Australia dan Selandia Baru… tetapi sekarang banyak juga pemakai lokal,” kata Qiliho.

Penangkapan atas kejahatan narkoba di Fiji meningkat, dari 685 pada 2017 menjadi 1.061 pada 2018.

Tidak ada fasilitas pendukung bagi pecandu narkoba

Dampak dari penyalahgunaan narkoba yang semakin genting dapat dilihat di jalan-jalan kota-kota di Fiji, menurut Collingwood.

Sementara berbicara, sebuah mobil perak berhenti, membunyikan klaksonnya dua kali. Sopir itu memperingatkan Collingwood kalau pengedar narkoba yang sedang mencari Collingwood sedang mendekat. Collingwood meminta kita untuk pindah ke dalam kafe, tersembunyi dari tepi jalan.

Ditanyai ke mana para pecandu narkoba itu bisa pergi jika mereka ingin berhenti, Collingwood mengangkat bahu. Tidak ada pusat rehabilitasi di Fiji, tidak ada klinik methadone, tidak ada praktisi kesehatan spesialis kecanduan, bahkan pertemuan Narcotics Anonymous pun tidak ada .

“Pola pikirnya masih sangat keras, itu adalah tindak kejahatan, diselesaikan secara kriminal, belum ada pertimbangan bahwa itu sebenarnya adalah masalah kesehatan jiwa,” tuturnya.

Lisa setuju, Fiji bukanlah tempat yang baik untuk seorang pengguna narkoba. Tidak ada badan khusus yang bekerja untuk rehabilitasi narkoba di Fiji. Gereja Salvation Army, yang hingga Desember lalu memiliki pusat kecanduan kecil, harus tutup ketika dua stafnya pindah ke Selandia Baru.

Organisasi amal itu berharap bisa kembali buka akhir tahun ini, dan sementara itu, pekerja sosial, Amani Waqetia, menjalankan program narkobanya sendiri.

Waqetia dan istrinya menampung hingga 15 anak lelaki, berusia delapan hingga 19 tahun, di rumah kecil mereka di Nakasi, pinggiran Kota Suva. Anak-anak itu, yang sebagian besar berasal dari keluarga-keluarga berantakan, atau yang terbuang dari keluarga mereka, kebanyakan menghirup lem, merokok ganja, atau minum mabuk.

Waqetia tidak bermimpi tentang apa yang dapat ia capai dengan bekerja sendirian, ia percaya masalah penyalahgunaan narkoba di Fiji memerlukan respons yang terorganisasi secara nasional. Tujuan Waqetia sendiri adalah untuk menjaga anak-anak itu tetap bersekolah, dan menghubungkan kembali mereka dengan keluarga mereka, sehingga mereka tidak lagi tertarik untuk bergabung dengan geng seperti geng Isaiah.

Kembali lagi ke Nadi, saat malam semakin larut, Isaiah kembali memulai pekerjaannya. (The Guardian)

*Nama-nama telah diubah untuk melindungi identitas narasumber


Editor: Kristianto Galuwo

Related posts

Leave a Reply