Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Ketua Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Unversitas Cendrawasih, Avelinus Lefaan mengatakan pemahaman utuh tentang kondisi masyarakat Papua hanya bisa dicapai dengan pengertian teoritis yang diimbangi dengan pengetahuan empiris. Perguruan tinggi bisa membuka diri terhadap pihak atau lembaga yang rutin melakukan kajian empiris.
Hal itu disampaikan Avelinus Lefaan dalam seminar “Peran Pers dalam Pengisi Pembangunan di Tanah Papua” yang digelar Komunitas Sastra Papua (Kosapa) bersama Laboratorium Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Cenderawasih (FISIP Uncen) di Jayapura, Selasa (11/2/2020). Lefaan berharap Universitas Cenderawasih dapat memperluas kerjasama dengan komunitas seperti Kosapa yang rutin melakukan observasi lapangan atas kondisi masyarakat Papua.
“Pimpinan fakultas, jurusan, [dan] program studi [dapat] mendukung kegiatan seperti [seminar] itu. Selama ini, mahasiswa di kampus ini menekuni soal kajian [teoritis]. [Akan tetapi, pengetahuan tentang] hal-hal bersifat praktis [dan] empiris [yang terjadi] di lapangan sangat kurang,” kata Lefaan.
Lefaan mengatakan kerja Kosapa bisa membantu membuka cakrawala para mahasiswa maupun akademisi ilmu sosial. Apalagi kenyataan di lapangan bisa bertolak belakang dengan teori yang dipelajari di perguruan tinggi. Keseimbangan pengertian teoritis dan pengetahuan empiris itu akan menambah dinamika dalam proses belajar setiap mahasiswa yang sedang mempelajari ilmu sosial.
“[Pengetahuan atas hasil kajian empiris penting] agar mahasiswa tidak hanya kuat dalam teori. Informasi dari luar, [seperti kajian] Kosapa [misalnya], memberikan informasi mengenai berbagai kegiatan pembangunan yang tidak [didapatkan dari perkuliahan] di kampus. Itu akan memperkaya dia saat menulis isu-isu dominan dalam pembangunan di Papua. Apakah [itu isu] sosial, budaya, ekonomi atau lainnya,”katanya.
Lefaan mengatakan perjumpaan kalangan mahasiswa/akademisi dengan komunitas seperti Kosapa akan menjadi ajang pertukaran informasi. Masing-masing pihak juga bisa membandingkan antara apa yang dipelajari dalam teori dan praktik yang terjadi di lapangan. Dengan demikian, mahasiswa dan akademisi Uncen tidak akan dianggap jago kandang.
“[Tantangannya adalah] bagaimana memahami teori, dan menghubungkan [hasil kajian empirik] dengan teori yang ada. [Dengan demikian], mahasiswa bisa memahami persoalan yang terjadi di luar kampus. Dan mereka menuliskannya, tanpa harus memalang kampus,” katanya.
Lefaan mengatakan perlu ada pertemuan yang berkesinambungan antara para akademisi di perguruan tinggi dan komunitas seperti Kosapa. Lefaan mengatakan akademisi di perguruan tinggi juga harus aktif menjadi pelantang bagi masyarakat, dan tidak sekadar melakuan kajian teoritis semata.
“Paling tidak, [akademisi harus] bisa mendapat masukan dari luar kampus. [Masukan itu] dikaji di kampus, sehingga apa yang ditulis itu tepat [seperti] apa yang terjadi di luar, dan [diulas] berdasarkan teori yang didapatkannya,” katanya.
Sekertaris Kosapa, Alexander Giyai mengatakan kampanye menulis merupakan agenda prioritas Kosapa. “Apabila pihak kampus membuka diri, kami akan memfasilitasi pelatihan menulis hingga terbentuk pers kampus,” katanya.
Giyai mengatakan, pihaknya sudah melakukan pelatihan menulis hampir di seluruh Tanah Papua. “Jadi kami mulai dari asramake asrama. [Kami melatih] mahasiswa, pemuda gereja, pelajar, dan pemuda di Manokwari, Nabire, Merauke, dan tempat lainnya,” katanya.(*)
Editor: Aryo Wisanggeni G