Jakarta, Jubi/Antara – Pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, berpendapat egaduhan yang terjadi pada sektor energi dan sumber daya mineral justru lebih menguntungkan PT Freeport Indonesia.
“Kalau dari sisi komunikasi politik, Freeport yang ‘tertawa paling keras’, karena semua orang justru terpusatkan pada dua oknum yang berseteru, bukan pada esensi kontrak perpanjangan tambangnya,” kata Hendri, di Jakarta, Selasa.
Hendri mengingatkan bahwa bangsa Indonesia terlalu besar dibandingkan dengan hanya urusan Freeport, masih banyak hal yang seharusnya layak menjadi perhatian, seperti KTT G20, dan kebijakan-kebijakan yang belum terealisasi.
Namun, Hendri tetap mengingatkan sebaiknya kasus pencatutan nama presiden dan wakil presiden tersebut tetap dibawa ke ranah hukum karena Indonesia adalah negara hukum.
“Kenapa faktanya hanya dibuka setengah-setengah? Kalau ingin membuktikan, harus dibuka semuanya di hadapan hukum, karena akan menghilang begitu saja jika terus dibawa pada isu politik,” ucapnya.
Ia juga menyayangkan kalau kegaduhan tersebut justru membuat masyarakat sekitar dirugikan terkait kontrak Freeport yang menjadi polemik.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Mimika, Selasa (24/11), belum pernah dilibatkan pemerintah pusat untuk membicarakan kelanjutan izin operasi pertambangan PT Freeport Indonesia setelah berakhirnya kontrak karya tahap dua 2021.
Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Perumahan Rakyat Mimika, Dionisius Mameyau, mengatakan pemerintah pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral selama ini hanya mengundang PT Freeport Indonesia.
“Pemerintah Kabupaten Mimika hingga sekarang belum pernah diundang pemerintah pusat. Kami tidak tahu dengan Pemprov Papua apakah pernah diundang atau tidak?” kata Dionisius.
Ia mendukung penegasan Presiden RI Joko Widodo bahwa pembicaraan menyangkut kelanjutan operasi pertambangan PT Freeport di Kabupaten Mimika baru akan dimulai pada tahun 2019 atau dua tahun sebelum berakhirnya masa kontrak karya Tahap II Freeport tahun 2021.
“Yang kami lihat selama ini tidak konsisten dengan UU Minerba (UU Nomor 4 Tahun 2009) sehingga menimbulkan polemik berkepanjangan. Seharusnya, hal ini baru dibicarakan pada tahun 2019. Akan tetapi, kita sudah mulai start sejak sekarang,” kata Dionisius, yang merupakan putra Suku Kamoro, salah satu dari dua suku asli di Kabupaten Mimika.
Dionisius mengingatkan pejabat-pejabat teras Jakarta untuk memperhatikan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tatkala membahas kelanjutan kontrak pertambangan Freeport di Mimika. (*)