Pengacara internasional serukan pembebasan tahanan politik Papua

Ilustrasi tahanan-tahanan politik Papua yang dikenakan pasal makar - IST/Suara Papua
Ilustrasi tahanan-tahanan politik Papua yang dikenakan pasal makar – IST/Suara Papua

Papua No. 1 News Portal | Jubi

Moanemani, Jubi – International Lawyers for West Papua (ILWP) atau Pengacara Internasional untuk West Papua menyerukan agar Indonesia membebaskan tahanan politik West Papua yang ditangkap karena mengekspresikan pandangan politiknya secara damai.
ILWP, seperti dilansir RNZI belum lama ini, juga meminta perhatian publik internasional atas pengadilan makar terhadap enam orang aktivis pro kemerdekaan Papua yang penahanan dan proses persidangannya sudah dipindahkan ke Kalimantan Timur.
Para aktivis itu, diantaranya termasuk aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB), United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), dan aktivis mahasiswa. Mereka ditahan atas tuduhan makar seiring rangkaian demo antirasisme meluas di Papua bulan Agustus – September lalu.
Dua aktivis KNPB yang dimaksud adalah Agus Kossay dan Steven Itlay, sementara aktivis ULMWP yang ditahan adalah Buchtar Tabuni.
Polisi mengatakan kepindahan para tahanan politik, yang persidangannya direncanakan bulan Desember nanti, ke Kalimantan Timur demi alasan keamanan,  namun ILWP membantahnya. Menurut mereka perpindahan itu bertujuan untuk menghambat bantuan dan akses para tapol ke keluarganya serta berpotensi memengaruhi keadilan di persidangan.
Jaringan pengacara internasional yang berdiri untuk membantu masyarakat asli West Papua mendapatkan hak penentuan nasibnya sendiri sesuai hukum internasional itu meminta agar keenam tapol dikembalikan ke Papua.
Mereka juga menekankan rakyat West Papua yang mengekspresikan pandangan politiknya secara damai seharusnya dibebaskan, termasuk mereka yang dikenakan hukuman yang diakui hukum internasional, berhak atas peradilan yang adil.
“Mereka seharusnya sebelum dibawa ke hadapan pengadilan, terlebih dahulu dikenakan tuduhan yang diakui oleh hukum internasional,” ujar ILWP dalam pernyataannya.
Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik tiga belas tahun lalu.
ILWP mengingatkan Indonesia agar tunduk pada pengakuan konvenan terkait kebebasan berpendapat dan kebebasan berkumpul, serta hak atas pengadilan yang adil dan tidak melakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang.
Padahal, lanjut ILWP, perlakuan adil terhadap tahanan politik dan para aktivis akan membantu mengurangi tensi konflik di wilayah Papua.
Penggunaan pasal makar untuk menjerat para aktivis politik dan pro kemerdekaan di Papua semakin meningkat di era Presiden Jokowi. Padahal, Jokowi juga yang memberikan remisi dan membebaskan tahanan dan narapidana politik Papua di periode awal pemerintahannya bersama Jusuf Kalla.
Padahal, menurut Amnesty Internasional Indonesia definisi makar sebenarnya masih diperdebatkan diantara akademisi hukum di Indonesia.
“Makar” secara literal berarti pengkhianatan terhadap negara (treason), KUHP juga memiliki ketentuan-ketentuan lain yang memidanakan tindakan-tindakan lain yang mengkhianati negara seperti pemberontakan. “Para ahli telah berargumentasi bahwa pasal 106 diterjemahkan secara langsung dari KUHP di masa penjajahan Belanda dan kata “makar”digunakan secara keliru dalam menerjemahkan kata “aanslag,” yang mengandung arti serangan fisik,” tulis Amnesty dalam surat terbukanya kepada Presiden Indonesia, Joko Widodo 2 Oktober lalu.
Amnesty Internasional menyebut istilah “Prisoner of Conscience” atau tahanan hati nurani bagi tapol/napol yang dijerat makar karena mengekspresikan pandangan politiknya secara damai.
Amnesty juga tuntut pembebasan tapol
Dalam surat terbuka Amnesty International Indonesia kepada Joko Widodo (2/10/2019), setidaknya 22 aktivis Papua di Jakarta dan Papua pada minggu-minggu terakhir hingga awal Oktober 2019 selama beberapa minggu terakhir dikarenakan penerapan telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan berdasarkan Pasal 106 dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Amnesty International menganggap ke 22 aktivis Papua yang menghadapi penuntutan pidana tersebut sebagai tahanan hati nurani yang dipenjara hanya karena mengungkapkan pendapat mereka dengan damai. Oleh karenanya mereka harus segera dibebaskan dengan tanpa syarat.
Amnesty memandang pembatasan hak atas kebebasan berekspresi yang dikenakan Pasal 106 dan 110 KUHP melampaui pembatasan yang diizinkan dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia. Penetapan tersangka dan penuntutan para aktivis Papua atas tuduhan makar juga melanggar komitmen Presiden Jokowi sendiri untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di Papua.
Menurut Amnesty, penahanan yang tidak sah di propinsi Papua dan Papua Barat, nampaknya dilakukan guna menimbulkan efek gentar terhadap aktivisme politik dan menekan pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai.
“Hal ini justru menunjukkan menegaskan kegagalan pemerintah Indonesia dalam membedakan perlakuan terhadap aktivis yang damai yang mendukung kemerdekaan Papua melalui ekspresi pendapat yang damai dan mereka yang mengejar tujuannya melalui penggunaan atau ancaman kekerasan,” mengutip Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dalam surat tersebut.
Berikut empat pernyataan sikap Amnesty terkait 22 tahanan politik di Papua:
Pertama, agar segera mencabut status tersangka atas tuduhah makar dibawah Pasal 106 dan 110 KUHP yang dikenakan pada 22 aktivis politik Papua yang mengekspresikan pendapat politik atau megadvokasikan kemerdekaan atau solusi politik lainnya di Papua secara damai dan tidak melibatkan hasutan untuk melakukan diskriminasi, tindakan peperangan (hostility) atau kekerasan, dan dengan segera dan tanpa syarat;
Kedua, memastikan bahwa para aktivis dalam tahanan tidak disiksa ataupun diperlakukan dengan buruk dan memiliki akses reguler kepada anggota keluarga dan pengacara pilihan mereka. Mereka harus dibantu oleh pengacara mereka di tiap tahapan proses hukum, sesuai dengan hak atas peradilan yang adil;
Ketiga,  bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mencabut atau secara substantif mengamandemen Pasal 106 dan 110 KUHP, dan memastikan bahwa ketentuan-ketentuan ini tidak dapat lagi digunakan untuk memidana kebebasan berekspresi melampaui batasan-batasan yang diperbolehkan dalam hukum dan standar hak asasi manusia internasional yang berlaku;
Keempat, bersama dengan DPR RI menghapuskan pasal makar dari RKUHP dan rancangan undang-undang lainnya.(*)

Related posts

Leave a Reply